ILMU
NASIKH DAN MANSUKH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Qur’an
Yang
Diampu Oleh: Mufidah M.Pd.
Disusun
Oleh,
Izza Firdiana Rizky (133111012)
Baihaqi (133111013)
Rizki Ainun Hayati (133111014)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Al Qur’an
merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti.
Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah
ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup
panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli
dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham
kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.
Perbedaan-pendapat
Ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam
Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontra bila
dililhat dari lahirnya. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut,
ada yang tidak bisa dikompromikan, dan ada juga yang keseluruhan ayatnya bisa
dikompromikan. Oleh karena itu, para Ulama’ menerima teori nasikh (penghapusan)
dalam Al-Qur’an.
Di samping itu,
tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa
yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa
lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan
hukum syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan
pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah pengertian Nasikh dan Mansukh ?
B.
Apa saja syarat-syarat terjadinya Nasikh dan
Mansukh ?
C.
Bagaimana perbandingan antara Nasakh dengan
Takhsis ?
D.
Sebutkan Macam-macam Naskh beserta contohnya ?
E.
Bagaimana cara mengetahui adanya Nasakh ?
F. Bagaimana pendapat para Ulama’ tentang Nasakh ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa mempunyai beberapa makna
yaitu : Menghapus, merubah, membatalkan atau menggantikan hukum syara’ dengan
yang lainnya. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ ada empat (4) yaitu :[2]
1.
Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat
berikut :
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ wur @cÓÉ<tR HwÎ) #sÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
Artinya :
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia
mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap
keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj
: 52)
2.
Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut
:
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Artinya :
“Dan Apabila
kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu
adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada
mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)
3.
Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh
Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.
Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat
yang lain)
seperti
nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut
lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempat ini, dengan alasan
bahwa si-nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi
hanya mendatangkan lafazh lain.[3]
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu
yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil.
Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari
dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan
hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa
ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru,
karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan
penggantian hukum tadi.[4]
B.
Syarat-syarat terjadinya Nasikh dan Mansukh
1.
Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara (ketentuan Allah & sunnah Rasulullah), bukan sesuatu yang dzatnya memang diwajibkan.[5] Seperti wajib iman kepada Allah, dan juga bukan sesuatu yang
diharamkan karena dzatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah
dan larangan kufur itu tidak akan dinaskh.
2.
Yang menghapus (Nasikh) harus dalil-dalil syara, kalau bukan dalil
syara tidak dapat disebut nasakh.
3.
Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah
selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.
Nasikh, harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya
sama, jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan
yang kuat. Karena itu hadits mutawatir dapat menaskh (menghapus) hadits ahad,
tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
5.
Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya
terkemudian dari mansukhnya, sebab kalau berturut-turut seperti, sifat dan
istisna tentu bukan naskh, tetapi takhsis.[6]
6.
Antara
dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil yang pertama dan dalil yang ke
dua ada pertentangan, sehingga tidak dapat dikompromikan.[7]
C.
Perbandingan antara Nasikh dengan Takhsis
Ulama berpendapat bahwa ada perbedaan
yang tipis antara term takhshish dengan naskh. Untuk term yang di sebutkan
terakhir (naskh) dapat di definisikan sebagai ‘menghapus hukum syara’ dengan
dzalil syara’ yang datang kemudian’. sedangkan untuk term yang di sebutkan
pertama (takhshis) dapat di definisikan sebagai ‘membatasi keumuman suatu
lafadz hanya pada bagian-bagiannya’.
Menurut Dr.Subhi al-Shalih bahwa perbedaan
antara kedua term tersebut dapat di
lihat dari beberapa hal, di antaranya:
1.
Dzalil-dzalil yang melandasi pengkhususan
(takhsis) dapat berupa fikiran, perasaan, di samping kitab Allah dan sunah Rasul.
Sedangkan naskh dzalilnya adalah syar’iy dan hanya mengenai kitab Allah dan
sunah Rasul. Oleh karena itu hukum syara tidak dapat di batalkan dengan dzalil
aqli atau rasional.
2.
Nasakh adalah menghapuskan seluruh satuan hukum
dari yang tercakup dalam dalil Mansukh, sedangkan Takhsis merupakan hukum dari
sebagian yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.
Nasakh hanya terjadi pada dalil yang datang
kemudian, sedangkan Takhsis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian
maupun menyertai dan mendahuluinya.
Konsekuensi logis dari perbedaan keduanya
adalah setelah bagian yang bersifat umum di khususkan, maka yang tinggal tetap
berlaku dan tidak dapat di batalkan dengan alasan umum, sedangkan bagian naskh
yang di naskh (mansukh) yang hukumnya telah di cabut, membatalkan semua bentuk
alasan untuk mempertahankannya atau untuk mengamalkan.[8]
D.
Macam-macam Naskh beserta contohnya
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh
dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu:
1.
Naskh Sharih
Yaitu ayat yang
secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat
tentang perang pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim
melawan sepuluh orang kafir :
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% w cqßgs)øÿt ÇÏÎÈ
Artinya :
“Hai Nabi,
korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang
yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak
mengerti.“ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut
jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama
:
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øót Èû÷üxÿø9r& ÈbøÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ
Artinya :
“ Sekarang
Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.
Naskh dhimmy
Yaitu jika
terdapat dua naskh yang saling bertentangan, tidak bisa dikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu
turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang
dianggapmansukh oleh ayat waris.
3.
Naskh kully
Yaitu menghapus
hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh
hari pada surat Al-Baqarah: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari..”,[9]
di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 “dan orang-orang
yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...”, dalam surat
yang sama.
4.
Naskh juz’i
Yaitu menghapus
hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku
bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum
yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang
wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4: “ dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”, dihapus oleh
ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami
yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama “
dan orang-orang
yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang
yang benar.
Berdasarkan jenis
penghapusannya, maka dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1.
Al-qur’an menasakhkan Al-qur’an.
Contoh:
QS al-anfal: 65 yang dinasakhkan oleh ayat berikutnya 66.
2.
Al-qur’an menasakhkan As-sunah.
Contoh:
Perbuatan nabi dan para sahabat menghadap Baitul Maqdis dalam shalat
dinasakhkan oleh ayat QS: al-baqarah:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya...”.[10]
3.
As-sunnah menasakhkan As-sunnah.
Contoh:
“aku telah melarangmu menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah
4.
As-sunnah menasakhkan Al-qur’an
(imam Syafi’i menolak).
Contoh:
QS al-Baqarah: 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
dinasakhkan
dengan hadits mutawatir “ketahuilah, tidak ada wasiat untuk ahli waris”
E.
Cara mengetahui adanya Nasakh
Ulama dalam membahas masalah Nasikh dan Mansukh
membagi Naskh kedalam tiga kategori utama, yaitu:
1.
Wahyu yang terhapus, baik hukum maupun teksnya
di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah jami’an) Contohnya adalah riwayat
yang datang dari aisyah tentang terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan,
kemudian di naskh dengan lima kali susuan.
“Aisyah
berkata: di antara yang di turunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang di
ketahui (ma’lum) itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan)
ini di
naskh oleh lima susuan yang di ketahui (ma’lum). Maka ketika Rasulullah SAW. meninggal
dunia, lima susuan ini (hukum yang terakhir) tetap di baca sebagai bagian dari
teks Al-Qur’an.”
Kata-kata aisyah ‘lima susuan ini termasuk
ayat al-qur’an yang di baca’ secara dzahir dapat di pahami bahwa tilawahnya
masih tetap, padahal tidak demikian, sebab teks tersebut tidak terdapat di
dalam mushaf resmi usmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah di
naskh. Hal ini baru di ketahui masyarakat setelah meninggalnya rasulullah saw,
sementara sebagian mereka masih membacanya.
2.
Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi
hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm).
Contoh yang
sering muncul adalah ayat rajam, ayat yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam
bagi orang yang berzina. Dalam beberapa riwayat di nyatakan bahwa Umar bin
Khatab memandangnya sebagai bagian dari teks alqur’an. Adapun ayat al-rajm
tersebut berbunyi sebagai berikut:
ﺍﻠﺸﺦ
ﻮﺍﻠﺸﻴﺨﻪ ﺍﺬﺍ ﺯﻨﻴﺎ ﻔﺎﺭ ﺟﻤﻮﻫﻣﺎ ﺍﻟﺒﺔ ﻧﻛﺎﻻ
ﻤﻥﷲ ﻮﷲ ﻋﻟﻴﻢ ﺤﻜﻴﻢ
Apabila seorang
laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya,
itulah kepastian hukum dari Allah dan Allah maha kuasa lagi maha bijaksana
3.
Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara
teks atau bacaanya masih terdapat dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah)
Contoh: al-baqoroh 240 ,lalu diganti dengan al-baqoroh:
234.
Imam al-suyuti
dengan mengutip perkataan al qadhi abu bakar al-arabi menjelaskan bahwa
sedikitnya ada dua hikmah terhadap ayat yang di naskh hukumnya tetapi teks atau
bacaanya tetap terekam dalam mushaf. Pertama, bahwa Al-Qur’an di samping di
baca untuk di ketahui hukumnya dan di amalkan, juga di baca karena ia kalam
Allah yang dengan membacanya akan mendapat pahala maka di biarkannya bacaan (tilawah)
tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa naskh pada ghalibnya adalah untuk
meringankan, maka di biarkanya tilawah tersebut untuk mengingatkan nikmat yang
di berikan.
F.
Pendapat Ulama’ tentang adanya Nasakh
Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan
mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82
xsùr& tbrã/ytFt tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã Îöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZÏW2 ÇÑËÈ
Artinya
:
“Maka Apakah
mereka tidak
memperhatikan Al
Quran kalau kiranya
Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.”
Berikut adalah sikap pro dan kontra dari para
ulama tentang masalah Nasikh dan Mansukh :
1.
Ulama-ulama yang mendukung teori nasikh-mansukh
diantaranya adalah Imam Syafi’i, An Nahas, As Suyuti dan Asy Syukani. Dasar
teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain :
a.
Surat Al-Baqarah ayat 106 :
Artinya :“Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah
kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
b.
Surat An-Nahl ayat 101 :
Artinya :
" Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."
c.
Adanya kenyataan bahwa
beberapa ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi.
Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan
dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100 ayat, menurutnya realitas
mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh
sesudahnya As
Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H),
bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.
2.
Ulama-ulama yang menolak adanya teori
nasikh-mansukh antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur
Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla
(1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara
lain :
a. Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan
sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran
ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran
antara lain dalam surat Al-Fussilat ayat 42 :
Artinya
: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
b. Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.
c. Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah
bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara
ijmaly bukan secara khas.
d. Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya
naskh ayat al-Quran.
e. Adanya ayat-ayat yang sepintas nampak kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.
IV.
KESIMPULAN
Naskh adalah
menghapus atau menghilangkan suatu perkara dengan perkara lain, didalam naskh ada
dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan perkara lain,
sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara lain, dan
diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan
hadist, hadist dengan hadist, dan hadist dengan Al-qur’an.
Hukum Tuhan maupun hukum manusia pada dasarnya mewajibkan
kemaslahatan manusia. Kemaslahatan kadang-kadang berubah dengan berubahnya
keadaan. Diantara hikmahnya dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba
agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam suasana keadaan dan di
sepanjang zaman.
2.
Untuk menjaga agar perkembagan
hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi
umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna.
3.
Untuk menguji orang mukallaf,
apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari naskh itu
mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan
begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.[11]
V.
PENUTUP
Syari’at Allah adalah perwujudan dan
rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Demikian
makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Semoga
dengan adanya makalah tentang Nasikh Mansukh ini akan menambah atau memperdalam
wawasan dan pengetahuan kita tentang agama. Tidak kalah pentingnya, harapan
dari pemakalah, semoga dari berbagai uraian permasalahan diatas bisa di jadikan
landasan kita dalam mengambil sikap tentang adanya Nasikh Mansukh tersebut.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab,
Quraish, 1992, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
http://scarmakalah.blogspot.com/2012/07/nasikh-mansukh-studi-al-quran.html.14 Oktober 2013 Pukul 15:12.
http://nactavyanawa.blogspot.com/2013/05/makalah-ulumul-quran-tentang-nasikh-wal.html 11 Oktober 2013 Pukul 10:42.
http://alislamu.com/kisah-tabiin/6278-nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html 16 Oktober 2013 Pukul 06:40.
http://bulletinalqalam.blogspot.com/2010/04/kedudukan-naskh-masalah-naskh-bukanlah.html. 14 Oktober 2013 Pukul 21:35.
http://www.slideshare.net/kinantiwening/nasakh-nasikh-mansukh 16 Oktober 2013 Pukul 07:46.
Mohamad Nor Ichwan,
2008, Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner, Jakarta: Rasail Media
Group.
http://www.slideshare.net/kinantiwening/nasakh-nasikh-mansukh 16 Oktober 2013 Pukul 11:20.
[1] http://scarmakalah.blogspot.com/2012/07/nasikh-mansukh-studi-al-quran.html.14 Oktober
2013 Pukul 15:12.
[4] http://nactavyanawa.blogspot.com/2013/05/makalah-ulumul-quran-tentang-nasikh-wal.html 11 Oktober
2013 Pukul 10:42.
[5] http://alislamu.com/kisah-tabiin/6278-nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran.html 16 Oktober
2013 Pukul 06:40.
[6] http://bulletinalqalam.blogspot.com/2010/04/kedudukan-naskh-masalah-naskh-bukanlah.html. 14 Oktober
2013 Pukul 21:35.
[8] Mohamad Nor
Ichwan, Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner, (Jakarta:
Rasail Media Group, 2008), hlm.109.
[9] Lihat
QS.Al-Baqarah: 234.
[10] Lihat QS.Al-Baqarah: 144.
0 komentar:
Post a Comment