Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Pendidikan Islam
Diedit Oleh,
Baihaqi An Nizar (133111013)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEMARANG
2013
I. PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Akhir-akhir
ini dunia pendidikan mulai dilirik banyak orang. Jika dilihat melalui kaca mata
mahasiswa, maka jurusan pendidikan telah menjadi daya serapan terbesar suatu
kampus. Pemerintah sendiri juga telah merumat pendidikan di Indonesia.
Dalam APBN (Anggaran Pendapata Belanja Negara) pundi-pundi rupiah telah
dialirkan untuk menyukseskan dunia pendidikan.
Kemajuan
yang digapai bangsa Indonesia khususnya pendidikan tidak lepas dari sejarah
bangsa ini. Berbagai organisasi-organisasi pada zaman dahulu bahkan sebelum
kemerdekaan telah berdiri untuk membangun mutu pendidikan. Salah satu
organisasi tersebut adalah Persyerikatan Ulama yang akan kami paparkan dalam
makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Biografi
Pendiri Persyerikatan Ulama ?
B.
Bagaimana Awal Mula Persyerikatan
Ulama ?
C.
Bagaimana Pengaruh
didirikannya Persyerikatan Ulama terhadap Sistem Pendidikan ?
III. PEMBAHASAN
A.
Biografi Pendiri
Persyerikaan Ulama
Pendiri organisasi Persyerikatan Ulama
adalah KH. Abdul Halim. Beliau lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi,
Majalengka, Jawa Barat pada tanggal 4 Syawal 1304 H/26 Juni 1887 M. Beliau
merupakan ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang
pendidikan dan kemasyarakatan, yang memiliki corak khas dimassanya. Nama
aslinya adalah Otong Syatori. Kemudian setelah menunaikan ibadah haji ia
berganti nama menjadi Abdul Halim. Beliau dilahirkan dari hasil pernikahan
kedua orang tuanya, ayahnya bernama KH. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan
Jatiwangi, dan ibunya bernama Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul
Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti
Murbiyah, putri KH. Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka
(sebanding dengan kepala KANMENAG Kapubaten sekarang).
Ia mendapat pendidikan agama sejak
kecil. Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca Al-Qur’an, kemudian menjadi
santri pada beberapa orang Kyai diberbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah
sampai mencapai usia 22 tahun. Kyai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar
di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, kemudian berpindah-pindah dari
satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1
sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa Kyai yang menjadi gurunya, antara
lain:
1.
KH. Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Panjalin, Kecamatan
Leuwimunding, Majalengka.
2.
KH. Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon.
3.
KH. Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan.
4.
KH. Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Di sela-sela kehidupan pesantren, Abdul Halim menyempatkan
diri berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab
pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak
dalam upaya memperbaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi.[1]
Kemudian pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana
selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mempelajari tulisan-tulisan
Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami
pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, Syeikh Ahmad
Khayyat dan imam serta khatib Masjidil Haram. Kemudian ketika di sana pula ia
bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul
Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/ 1911 M ia kembali ke
Indonesia.[2]
Di samping menguasai bahasa Arab, ia
juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending
Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah.
Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik
di luar maupun dalam negeri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam
prinsip. Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya
ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.
Selain aktivitasnya
membina organisasi, ia juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik
menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912, ia menjadi pimpinan Sarekat
Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis
Ulama yang didirikan oleh Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin
dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota
pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di
Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro
Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk
salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ( BPUPKI / Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai ) pada tahun 1945, anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun
1955. Dikalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana,
pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada
melalui kekerasan.
Pada tahun 1940, ia
bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper,
di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat
Islam. Ketika terjadi agresi militer Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat
dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia
juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948
oleh Belanda.
Pada masa perang
kemerdekaan, K.H. Abdul Halim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan
kemerdekaan dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. K.H. Abdul Halim langsung
memimpin anak buahnya menghadang gerakan militer Belanda (NICA). Pada waktu
itulah ia diangkat menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka dan
memimpin rakyat melawan NICA. Lokasi Santri Asromo, dianggap NICA sebagai pusat
pertahanan TNI dan lasykar sehingga sebagian hancur karena dibom NICA. K.H.
Abdul Halim ditangkap Belanda, juga anak dan menantunya. Namun K.H. Abdul Halim
tidak mau menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan berhasil lepas. K.H. Abdul
Halim juga menentang gerakan Haji Sarip yang mendukung Belanda. K.H. Abdul
Halim yang anti gerakan separatis dari NKRI, kemudian diangkat menjadi panitia
penggempuran Negara Pasundan hasil rekayasa Van Mook.
Setelah perang kemerdekaan
usai, dan negara aman dan perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan
kembali. Pada tahun 1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan
Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), meskipun K.H. Ahmad Sanusi, sahabatnya,
sudah wafat waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada 5 April 1952, di Bogor. Hasil
fusi lahirlah Persatuan Umat Islam (PUI) dan K.H. Abdul Halim terpilih sebagai
Ketua.
Sejak 1951, K.H.
Abdul Halim terpilih sebagai Anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan tahun 1956
diangkat menjadi Anggota Konstituante. K.H. Abdul Halim juga aktif sebagai wartawan
pula dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara
P.O., majalah As-Sjuro, majalah Pelita serta mengisi kolom "Roeangan
Hadis" di majalah Soeara MIAI. Selain itu, ia menulis sembilan buku. Dalam
buku-bukunya, K.H. Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh
toleransi, menganjurkan menjunjung tinggi akidah dan ahlak masyarakat dan tidak
menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat . Pada tahun-tahun
berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan K.H. Abdul
Halim semakin menurun, dan pada tanggal 17 Mei 1962, ia meninggal dunia di
Santi Asromo.
Mengenai pemikiran
dan karyanya, Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang
penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan.
Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama
dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah
terbakar sewaktu agresi militer Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah :
1.
Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia.
2.
Ekonomi dan Koperasi dalam Islam.
3.
Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan
Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
4.
Daawatul Amal.
5.
Tarikh Islam.
6.
Neraca Hidup.
7.
Risalah.
8.
Ijtimaiyah Wailajuha.
9.
Kitab Tafsir Tabarok.
10. Kitab 262 Hadits
Indonesia.
11. Babul Rizqi.
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih
tersisa tinggal 3 yaitu :
1.
Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia.
2.
Ekonomi dan Koperasi dalam Islam.
3.
Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan
Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam
beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan
Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara
MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan di situ, ia menjadi pengisi artikel
Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam
bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan
Ulama.
Di dalam tulisan-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran
Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meskipun uraiannya dihubungkan
dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari
interpretasi yang dikemukakannya. Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran
Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Karena
menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk
membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia dan memperoleh
kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut
al-Salam.
Berdasarkan pengertian ini, Abdul Halim melihat bahwa
kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan hidup di dunia,
karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu
manusia harus hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan
agama.[3]
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran ini, membawa Abdul Halim
kepada 3 kesimpulan, yang kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Baik mengenai
konsep keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan yaitu; Konsep al-Salam, Konsep
Santi Asromo dan Konsep Santri Lucu (santri yang terampil).
B.
Awal Mula
Persyerikatan Ulama
Dengan berbekal semangat juang dan
tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, KH. Abdul Halim mulai melakukan
perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan
dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya
melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk
pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat
pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang
terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia memberikan pengetahuan agama kepada para
santrinya. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan
masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan
berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang
dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya
pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul
Qulub”. Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan
dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial. Dalam
persaingan itu, seringkali terjadi perang mulut dan perkelahian fisik antara
anggota Hayatul Qulub dengan pedagang Cina. Melalui lembaga ini ia
mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosial, ekonomi
dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat,
santri, pedagang dan petani.
Salah satu pemikiran penting K.H. Abdul
Halim dalam kapasitasnya sebagai ulama adalah bagaimana membina keselamatan dan
kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan “Islah
as-Samaniyah”, yaitu :
1.
Islah al-Aqidah (perbaikan bidang aqidah).
2.
Islah al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah).
3.
Islah at-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan).
4.
Islah al-Ailah (perbaikan bidang keluarga).
5.
Islah al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan).
6.
Islah al-Mujtama (perbaikan masyarakat).
7.
Islah al-Iqtisad (perbaikan bidang perekonomian).
8.
Islah al-Ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan
tolong-menolong).
Secara bertahap, organisasi yang
dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil.
Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda
mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi
rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi
pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915
organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah
sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan
Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya terus
berjalan.
Kemudian pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul
Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus
mengembangkan bidang pendidikan. Sistem pendidikan berkelas dengan lama belajar
lima tahun. Sekolah ini mula-mula mendapat kritikan dari ulama setempat namun
kemudian mendapat sambutan baik. Murid-murid datang bukan hanya dari Majalengka
tetapi juga dari Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Tegal. Lulusannya kemudian
mendirikan madrasah di tempat asalnya.
Untuk menjaga mutu pendidikan, K.H.
Abdul Halim mengadakan hubungan dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta.
Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat
merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan.
Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam
pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan “Persyarikatan Ulama”.
Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21
Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh
Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama
pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian
dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan
pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa
perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung
lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan
yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.[4]
Abdul Halim juga memandang perlu
memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa
harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini
direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren bernama “Santi Asromo” pada
bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji,
Majalengka. Pelopor pesantren modern yang mencetak santri plus, yang saat itu
belum terpikirkan orang. Nama santi asromo diambil dari bahasa Kawi (Jawa Kuno)
yang artinya tempat yang sunyi, dan damai. Pesantren ini merupakan tindak lanjut
dari hasil Kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka yang dilatarbelakangi oleh
ketidakpuasan Abdul Halim terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu. Di
samping itu, pendirian pesantren ini pun didorong oleh kenyataan banyaknya
orang pribumi yang sulit mengecap pendidikan di sekolah-sekolah. Pesantren
Santi Asromo termasuk pembaharu kurikulum pesantren, karena sejak didirikan,
telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan
pelajaran agama.
Inilah pucak pemikiran K.H. Abdul Halim
di bidang pendidikan. Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari
keramaian Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga
diberi pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok
tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib
tinggal di asrama selama 5 sampai 10 tahun. Pendidikan yang menekankan tiga
unsur yaitu akhlak, sosial, dan ekonomi ini ternyata banyak menarik minat
masyarakat. Para dermawan pun mengalir memberi dukungan. Santri yang dihasilkan
adalah santri lengkap yang memiliki bekal agama, ilmu pengetahuan, dan
keterampilan. Pada tahun 1932, nama sekolah diubah menjadi Madrasah Darul Ulum.
Di samping mengembangkan bidang
pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin
hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan
Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di
Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan Ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam)
dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir
penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah
waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah.[5]
Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan
Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan
fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat
Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung. Dengan tujuan PUI adalah
terlaksananya syari’at Islam menurut madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Usaha
untuk mencapai tujuan itu maka PUI berusaha :
1.
Menunaikan peribadatan dan menggembirakan umat Islam dalam
berbakti pada Allah SWT.
2.
Memajukan pelajaran dan pendidikan Islam dalam arti yang
seluas-luasnya.
3.
Menyelenggarakan dan mengadakan dakwah Islam.
4.
Berikhtiyar terlaksananya kebahagiaan hidup umat Islam.
5.
Melaksanakan sosial Islam.
6.
Membangunkan semangat untuk terlaksananya peraturan dalam
kalangan umat Islam.
7.
Kerja sama dengan lain-lain perkumpulan dan badan dalam
memajukan keislaman.[6]
C.
Pengaruh didirikannya
Persyerikatan Ulama terhadap Sistem Pendidikan
Dengan
didirikanya “Persyerikatan Ulama” di Indonesia, telah memberikan dampak yang
besar bagi dunia pendidikan khususnya. Dengan pengalaman yang telah dimiliki H.
A. Halim dalam mencari wawasan ilmu, maka tidak heran bila daya pikir beliau
dalam mengembangkan sistem di Indonesia begitu besar.
Memulai
merintis perubahan pembaharuan sistem pendidikan, dengan mendirikan banyak
organisasi yang mana pada saat itu juga harus melawan keadaan atas koloni.
Dengan pembaharuannya yang beliau terapkan dalam organisasi seperti,
penghapusan sistem halaqoh, pengelompokan belajar (kelas), tidak hanya
mendapat ilmu agama namun juga ilmu lainnya, pengajaran keterampilan ini sangat
berdampak pagi perkembangan pedidikan itu sendiri.
Kalau
kita amati sekarang ini, banyak sekali organisasi pendidikan yang meniru
metode-metode yang digunakan A. Halim pada waktu itu. Madrasah-madrasah saat
ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam kurikulumnya, tapi juga ilmu
sosial, ilmu hitung dan ilmu bahasa juga didapatkan.
Kemudian
mengenai pengajaran keterampilan bagi para santri waktu itu, juga sangat
bermanfaat bagi santri setelah lulus karena tidak bingung akan dunia pekerjaan.
Ini akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Sekarang ini banyak
sekolah yang mengadakan program Full Day School dimana didalamnya
terdapat materi keterampilan khusus.
D.
KESIMPULAN
Persyerikatan
Ulama didirikan oleh KH. Abdul Halim yang dirintis mulai tahun 1911 M. Dimulai
sejak beliau pulang seusai ibadah haji dan mencari ilmu di Makkah. Ilmu-ilmu
yang didapatkan dari pembelajarannya melalui guru-guru besar di Mekkah beliau
terapkan di kampung halaman guna mencanangkan pembaharuan.
Dengan
jerih payah usaha keras beliau, dapat merubah sistem-sistem di Majalengka
khususnya pendidikan. Dengan diterapkanya sistem perkelasan, kurikulum baru
dengan adanya keterampilan dan tidak hanya diberi ilmu-ilmu agama saja.
Kemudian beliau juga menerapkan sistem tanam saham untuk menampung sumber dana
guna menghidupi organisasi-orgaisasi yang dinaunginya.
Perpaduan
antara aqidah, akhlak dan ekonomi ini menjadi dasar pemikiran KH. Abdul Halim
dalam organisasi. Hingga saat ini banyak madrasah-madrasah yang bisa dibilang
meniru gaya Abdul Halim ini. Karna kiprahnya pada saat itu begitu maju, tidak
heran bila banyak orang yang mencontoh pemikiran-pemikiran beliau.
E.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat
tentang Sitem
Pendidikan Islam pada Persyerikatan Ulama. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun
jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami
harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita. Amiinn
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
[1] http://opsi-2.blogspot.com/2011/01/kh-abdul-halim.html
diakses pada tanggal 30 November 2013 jam 17.15 WIB
[2] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi
Aksara, 2010), hlm 167-171.
[3] Pendapat M. Abdul Halim tahun 1938.
[4] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi
Aksara, 2010), hlm 167-171.
[5] Mansur, dkk. Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
( Jakarta : Deparemen Agama RI, 2005). Hlm 68-70.
[6] Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995 ). Hlm 290-291.
0 komentar:
Post a Comment