‘Mahasiswa UIN iku Kudu Ndunungno sing ra Dunung’ (Mahasiswa
UIN itu harus mampu memahamkan orang yang tidak paham), begitulah pesan yang
disampaikan KH. Mustofa Bisri dalam acara Pengajian yang digelar oleh UKM Jam’iyyatul
Quro’ wal Huffadz (JQH), Fakultas Syariah, UIN Walisongo Semarang, Senin
(30/3).
Gus Mus, sapaan akrabnya, menuturkan, dewasa ini banyak orang
yang tidak paham tentang suatu hal, namun tetap bergaya seperti halnya orang
yang paham. Hal tersebut salah satunya berawal dari ketidakpahaman seseorang
dalam mengartikan suatu kata. Sebagaimana diketahui, kata serapan dalam Bahasa
Indonesia sangatlah banyak. Kata yang merupakan serapan dari Bahasa Arab saja kini
hampir mencapai 4000 kata. Ironisnya, makna yang dimaksud dalam kata serapan
tersebut sudah berbeda jauh dari makna aslinya.
Misalnya saja kata Ustaz, di negara Arab berarti orang yang
pandai dan taat beragama, atau gelar untuk orang setingkat profesor jika di
perguruan tinggi. Namun di Indonesia, cukup untuk mereka yang pernah tampil berceramah
di televisi, sudah bisa dipanggil Ustaz. ”Maka sekarang ini memang telah
terjadi distorsi makna kata,” ungkapnya.
Lanjut Gus Mus, maka tidak heran jika dewasa ini banyak
orang pintar tiba-tiba (dadakan). Mereka yang berlagak seperti Ustaz kerap
mendaungkan dalil-dalil agama, meskipun hanya bermodal satu dalil, bisa untuk
dipakai dimana dan kapan saja. Selain itu, ciri-ciri orang pintar dadakan,
biasanya ditanya apa saja bisa, walaupun sebenarnya hanya berlagak bisa. ”Maka
jika ada orang yang mengaku tau tentang segalanya, itulah orang yang goblog (bodoh),” tegasnya.
Tambahnya, disinilah tugas mahasiswa yang memiliki tanggung
jawab sosial lebih tinggi, karena mahasiswa UIN inilah yang biasa belajar
tentang sesuatu yang benar. ”Mahasiswa UIN iku Kudu Ndunungno sing ra Dunung
(Mahasiswa UIN itu harus mampu memahamkan orang yang tidak paham),” tandasnya.
Gus Mus juga menyinggung terkait ketidakpahaman seseorang
yang sudah bercampur dengan isu agama. Banyak ditemukan orang yang
mengaku-ngaku paling benar sendiri karena berlagak sepertihalnya Nabi Muhammad.
”Kesehariannya memakai jubah, berjenggot, celananya cingklang. Mereka pikir jika seperti itu berarti telah meniru
sunnah-sunnah Rasulullah, padahal Abu Jahalpun juga demikian,” kesalnya.
”Yang harus diperhatikan sekarang adalah bagaimana raut muka
orang yang bergaya ala Rasulullah tersebut, apakan murah senyum atau muka garam
dan sering marah,” imbuhnya. Hal inilah yang dapat dijadikan tolok ukur bagi
orang yang mengikuti sunnah-sunnah Nabi atau justru mengikuti Abu Jahal, Abu
Lahab dan lainnya. ”Rasullullah itu Pengasih dan Penyayang, sedangkan mereka
(Abu Jahal dkk) pembenci dan pendengki,” pungkasnya.
tulisan ini pernah dimuat di lpmedukasi.com
0 komentar:
Post a Comment