HUBUNGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Aang Kunaepi, M.Ag.
Disusun Oleh;
Aeni Rahmawati
(133111002)
Shofatun
Rokhmah (133111005)
Alam Rezki
(133111030)
Diedit oleh;
Baihaqi (133111013)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Agama dan kebudayaan adalah dua hal
yang sangat dekat di masyarakat. Bahkan banyak yang salah mengartikan bahwa
agama dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah, sebenarnya
agama dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat
disatukan, karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
kebudayaan. Namun keduanya mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan
masyarakat. Geertz mengakatan bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis
dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana
individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi
juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk
seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang
digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang
diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh
konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi
yang objektif. Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agama
sekaligus memberi pengertian, disini akan diulas mengenai Apa itu Agama dan Apa
itu Budaya, yang tersusun dalam bentuk makalah dengan judul “Hubungan Agama dan
Budaya”.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian agama dan kebudayaan?
2.
Mengapa agama-bukan wahyu bisa disebut
bagian dari kebudayaan?
3.
Mengapa agama samawi tidak bisa
dikatakan bagian dari kebudayaan?
4.
Bagaimana hubungan antara agama dengan
kebudayaan?
III. TUJUAN
1. Dapat
memahami pengertian agama dan kebudayaan.
2. Dapat
menjelaskan alasan agama-bukan wahyu bisa disebut bagian dari kebudayaan.
3. Dapat
menjelaskan lasan agama samawi tidak bisa dikatakan bagian dari kebudayaan.
4. Dapat
mengetahui hubungan agama dengan budaya.
IV.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Agama dan Kebudayaan
Kata
agama berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari kata a (tidak)
dan gama (kacau), yang bila digabungkan
menjadi sesuatu yang tidak kacau. Dan agama ini bertujuan untuk
memelihara atau mengatur hubungan seseorang atau sekelompok orang terhadap
realitas tertinggi yaitu Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata agama berarti prinsip kepercayaan kepada Tuhan.[1] Agama
diucapkan oleh orang barat dengan religios
(bahasa latin), religion ( bahasa Inggris, Perancis, Jerman ) dan religie
( bahasa Belanda ). Istilah ini bukanya tidak mengandung arti yang dalam
melainkan mempunyai latarbelakang pengertian yang mendalam daripada pengertian
“Agama” yang telah disebutkan diatas. Berikut ini adalah penjelasan dari nama-nama lain dari agama yang
ada di atas :[2]
a. Religie
(religion) menurut pujangga kristen, Saint Augustinus, berasal dari kata re
dan eligare yang berarti memilih kembali dari jalan yang sesat ke jalan
Tuhan.
b. Religie,
menurut Lactantius, berasal dari kata re dan ligare yang artinya
menghubungkan kembali sesuatu yang telah putus. Yang dimaksud ialah
menghubungkan diantara Tuhan dan manusia yang telah terputus karena
dosa-dosanya.
c. Religie
berasal dari re dan ligere yang berarti membaca berulang-ulang
bacaan-bacaan suci, dengan maksud agar jiwa si pembaca terpengaruh oleh
kesuciannya. Demikian pendapat dari Cicero.
Agama ini muncul dari perasaan
ketakjuban manusia terhadap realitas alam yang ada. Seperti air yang bisa
melepaskan dahaga seseorang, namun terkadang bisa membawa malapetaka seperti
banjir, angin yang memberikan kesejukan, namun terkadang mendatangkan kerusakan
seperti angin topan atau tornado,
kemudian mereka percaya bahwa ada suatu kekuatan tertentu. Mereka
mencoba untuk mencari keselamatan dari ketidakseimbangan yang mereka rasakan,
yang dapat mendatangkan keselamatan bagi mereka. Jadi, secara umum, agama
adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat
memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia.
Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritual secara pribadi dan bersama yang
ditujukan kepada kekuatan besar yang mereka percayai sebagai Tuhan.
Kemudian mengenai pengertian budaya
atau kebudayaan menurut Koentjara Ningrat[3] ialah
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan.
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: “budaya“ adalah
pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan
dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan
adat istiadat.[4] Ahli
sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak,
kesenian, ilmu, dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai
warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata
hidup, way of life, dan kelakuan.
Menurut
Ki Hadjar Dewantoro Kebudayaan adalah "sesuatu" yang berkembang
secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif. Jadi dapat dikatakan secara singkat bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa manusia yang dilakukan dalam keseharian.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif. Jadi dapat dikatakan secara singkat bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa manusia yang dilakukan dalam keseharian.
2.
Alasan
Agama-Bukan Wahyu Merupakan Bagian dari Kebudayaan
Agama
budaya atau bisa disebut dengan agama ardhi (bumi) adalah produk akal.
Ajaran-ajaranya dihasilkan oleh pemikiran akal. Sumber dalam agama budaya ini
adalah masyarakat,ia tidak memiliki kitab suci, yang mengandung dan mengajarkan
doktrin. Tetapi sekalipun agama memiliki kitab suci, yang ditulis oleh orang
yang dipandang dan menganggap dirinya berwenanang atas agama itu, kitab suci
itu mengalami perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
Adapun ciri-cirinya yaitu
1)
Tumbuh secara evolusi dalam masyarakat
penganutnya, tidak dipasstikan waktu tertentu kelahiranya.
2)
Tidak
disampaikan oleh utusan Tuhan, tetapi oleh pendeta atau mungkin oleh
para filosof.
3)
Umumya tidak memiliki kitab suci,
kalaupun ada, kitabnya mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah agama.
4)
Ajaranya berubah dengan perubahan akal
masyarakat yang menganut, atau oleh filosofinya.
5)
Konsep ketuhananya: dinamisme, animisme,
poiteisme, paling tinggi monoteisme nisbi.
6)
Kebeneran prinsip-prinsip ajaranya tidak
universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.[5]
Dari pengertian diatas kemudian
kita akan menjelaskan mengapa agama yang bukan wahyu merupakan bagian dari
kebudayaan dan sebaliknya.
Dengan akalnya, manusia berkelana
dan berpetualang mencari tuhannya. Dalam perjalanan itulah akal menemukan
dinamo (yang membentuk kepercayaan dinamisme), menemukan anime (yang membentuk
kepercayaan animisme). Dari animisme akal melanjutkan jalanya kepada
politeisme. Politeisme masih tidak memuaskanya. Melalui henoteisme, akal
mengarah dengan tenaganya sendiri kepada monoteisme.
Konsep dinamisme, animisme,
politeisme, adalah kufur, yaitu mengingkari Tuhan yang maha Esa. Usaha akal
mencari konsep ketuhanan diberi petunjuk oleh wahyu melalui nabi dan rosul,
sehingga membawa akal kepada monoteisme.
Tetapi konsepsi-konsepsi ketuhanan yang satu yang diajarkan oleh nabi dan rosul
itu, dipembelakanganya, oleh turunan berikutnya dirusakan oleh pemikiran akal,
sehingga terjadilah syirik.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan ada dua macam evolusi konsepsi ketuhanan, yang membawa dua jenis
sejarah agama. Yang pertama konsepsi akal, yang kedua naqal. Konsepsi akal
membentuk agama, yang diistilahkan dengan agama budaya, sedangkan konsep naqal
diistilahkan dengan agama langit.[6]
Agama budaya menggunakan konsepsi
akal karena agama itu tumbuh dalam kehidupan manusia. Dan cara berpikir
masyarakat menghadapi kehidupan melahirkan cara berlaku dan berbuat dalam kehidupan yang luas ini,
cara berlaku dan berbuat itu meliputi:
1)
Hubungan manusia dengan manusia, antara
manusia dan masyarakat (sosial).
2)
Hubungan manusia dengan benda (ekonomi).
3)
Hubungan manusia dengan kekuasaan
(politik).
4)
Hubungan manusia dengan alam kerja (ilmu
dan teknik).
5)
Hubungan manusia dengan ciptaan
bentuk-bentuk yang menyenangkan (seni).
6)
Hubungan manusia dengan hakikat dan
nilai-nilai (filsafat).
7)
Hubungan manusia dengan yang kudus
khususnya (khususnya yang diistilahkan agama).
Agama itu tumbuh dalam kehidupan
manusia. Kehidupan diisi oleh kebudayaan. Maka agama adalah sebagian dari pada
kebudayaan, seperi pula sosial, ekonomi,
politik, ilmu dan teknik, seni dan filsafat. Agama ini disebut oleh ilmu :
natural religion, agama alam.
Berdasarkan data-data yang dapat di
teliti atau diamati, agama itu timbul dalam kebudayaan maka antropologi
memasukan agama kedalam kebudayaan sebagai salah satu curtural universalnya.[7]
Menurut Clifford Geertz seorang
tokoh terkemuka didalam antropologi Inggris, mengatakan bahwa agama adalah
sistem budaya. Apa artinya Geerts mengatakan seperti itu? Geerts memberikan
jawabanya didalam suatu kalimat tunggal yang penuh berisi. Agama adalah:
1). Sebuah sistem simbol yang berperan; 2). Membangun
suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama didalam diri
manusia dengan cara; 3). Merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum; dan
4). Membungkus konsepsi konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu
sehingga 5) suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik.[8]
Yang pertama dimaksud oleh Geerts
dengan “sistem simbol” adalah segala
sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang: suatu objek
seperti roda dua orang budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, suatu ritual
seperti bar mitzwah, atau sekedar tindakan tapa kata, seperti gerak isyarat
kasihan atau kerendahan hati.
Kedua, ketika dikatakan bahwa
simbol-simbol ini “Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan
tahan lama”. Motivasi memiliki tujuan, dan ia di bimbing oleh serangkaian nilai
yang abadi apa yang memiliki arti bagi orang, apa yang mereka anggap baik dan
benar. Disini motivasinya adalah peran moral, perkara memilih yang baik diatas
yang jahat bagi dirinya. Orang-orang Yahudi ingin melihat Jerusalem dan kaum
Muslimin pergi ke Mekkah, semua ini juga menetapkan sesuatu agar dapat mencapai
tujuan mereka, yakni untuk mendapatkan
pengalaman yang secara moral di dalam suatu tempat yang sakral didalam
tradisi mereka.
Ketiga, konsep tentang tatanan
kehidupan yang umum, Geertz sekedar bermaksud bahwa agama mencoba untuk memberi
penjelasan yang puncak tentang dunia. Maksudnya adalah untuk memberi suatu arti
yang mutlak, suatu tujuan peranan yang besar pada dunia.
Keempat dan
kelima “membungkus konsepsi-konsepsi ini dengann suatu aura faktualitas semacam
itu sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik”. [9]
3.
Alasan
Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian dari Kebudayaan
Agama
samawi ialah ajaran Allah yang disampaikan kepada para Rasul-nya, yaitu agama
Islam. Agama Samawi atau Sama’i, ialah agama Wahyu, dan wahyu yang Allah
turunkan itu tidak lansung diturunkan kepada masyarakat, akan tetapi melalui
Rasul atau utusan Allah.
Adapun
ciri-cirinya yaitu:
1)
Secara pasti dapat ditentukan lahirnya,
dan bukan tumbuh dari masyarakat, melinkan diturunkan kepada masyarakat.
2)
Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah
sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan
menyampaikanya.
3)
Memiliki kitab suci yang bersih dari
campur tangan manusia.
4)
Ajaranya serba tetap, walaupun tafsiranya dapat berubah sesuai dengan
kecerdasan dan kepekaan manusia.
5)
Konsep ketuhananya adalah: Monotheisme
mutlak (Tauhid).
6)
Kebeneranya adalah universal yaitu
berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.[10]
Dari
ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa agama samawi bukanlah hasil pemikiran
ataupun diambil dari kebudayaan manusia, melainkan murni ajaran dari Tuhan yang
bersifat mutlak. Oleh karenanya lingkup kebudayaan ataupun yang lain tidak
boleh mengatasnamakan bahwa ajaran samawi itu berasal dari mereka.
4. Hubungan
Antara Agama dengan Kebudayaan
Seperti halnya kebudayaan, agama
sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama
bahkan sulit dipahami kalau perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari
pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya
didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu
pengetahuan, moralita, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan,
agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi sistem
kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebaliknya kebudayaan pun dapat
mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama diinterprestasikan atau
bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas
budaya dan apa yang disebut Sang –Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi
yang tegas tanpa mediasi budaya, dalam masyarakat Indonesia saling mempengarui
antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara
keagamaan hampir umum dalam semua agama.
Agama yang digerakkan budaya timbul
dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya
kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya,
yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Budaya agama
tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak
saling merusak, kuduanya justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma
yang mengatakan bahwa ” Manusia yang beragma pasti berbudaya tetapi manusia
yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi
agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan
bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman.
Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan
peradaban dunia.
V.
KESIMPULAN
Masyarakat, agama dan kebudayaan
sangat erat berkaitan satu sama lain. Saat budaya atau agama diartikan sesuatu
yang terlahir di dunia yang manusia mau tidak mau harus menerima warisan
tersebut. Berbeda ketika sebuah kebudayaan dan agama dinilai sebagai
sebuah proses tentunya akan bergerak kedepan menjadi sebuah pegangan, merubah
suatu keadaan yang sebelumnya menjadi lebih baik.
Ketika agama dilihat dengan
kacamata agama maka agama akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama
(islam) telah mengatur segala masalah dari yang paling kecil contohnya
buang hajat hingga masalah yang ruwet yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga
disini diperlukan sebuah kebudayaan agar agama (islam) akan tercemin dengan
kebiasaan masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang beragama, berkeinginan
kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan yang sakral yang membedakan dengan
masyarakat lainnya yang tidak menjadikan agama untuk dibiasakan dalam setiap
kegiatan sehari-hari atau diamalkan sehingga akan menjadi akhlak yang baik dan
menjadi kebudayaan masyarakat tersebut.
Sedangkan
jika agama dilihat dari kebudayaan maka kita lihat agama sebagai keyakinan yang
hidup yang ada dalam masyarakat manusia dan bukan agama yang suci dalam
(Al-Qur’an dan Hadits) Sebuah keyakinan hidup dalam masyarakat maka agama akan
bercorak local, yaitu local sesuai dengan kebudayaan masyarakat tersebut.
VI. PENUTUP
Demikian
pembahasan makalah kami dengan topik “Hubungan Agama dengan Kebudayaan”, untuk
menyempurnakan tulisan ini maka saran dan kritik yang membangun kami harapkan.
Semoga materi yang kami sampaikan ini bermanfaat dan dapat kita terapkan dalam
kehidupan kita. Amiinn.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Ahmadi, Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008.
Gazalba,
Sidi, Asas Agama Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1985.
l. pals,
Daniel, Seven Theoris of Religion, Yogyakarta, 2001.
Prijono,
Prasaran Mengenai Kebudayaan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2008.
Suharso,
Kamus Besar Bahasa Indonesa, Semarang: Widya Karya, 2005.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 1999. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1] Suharso, Kamus
Besar Bahasa Indonesa, (Semarang: Widya Karya, 2005), Hal 19.
[2] Abu Ahmadi,
Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2008), Hal 3.
[3] Prijono, Prasaran
Mengenai Kebudayaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal 1.
[4] Suharso, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Semarang:
Widya Karya, 2005), Hal 94.
[5] Sidi Gazalba, Asas
Agama Islam. (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1985), Hal 40.
[6] Ibid,
Hal. 42.
[7] Ibid,
Hal. 47.
[8] Daniel l. pals.,
Seven Theoris of Religion, (Yogyakarta, 2001), Hal. 414.
[9] Ibid, Hal.
417.
[10] Abu Ahmadi,
Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), Hal. 6.
6 komentar:
Ijin kopy, buat tugas sekolah. Sangat bermanfaat, terimakasih
ijin copy buat tuags sekolah
Mohon maaf saya ingin meminta izin meng copy uraian nya untuk tugas sekolah saya terima kasih
izin copas
Assalamu'alaikum kak, izin copas untuk tugas sekolah saya. jazakallah khair...
Assalamualaikum kak,
Mohon maaf sebelumnya saya mau izin copas buat tugas sekolah
Post a Comment