Di setiap akhir tahun barangkali para aktivis kampus akan disibukkan dengan agenda politik mahasiswa. Organisasi intra kampus seperti lembaga eksekutif, legislatif maupun unit kegiatan mahasiswa akan melakukan reorganisasi atau pergantian kepengurusan. Momen ini lazim disebut sebagai pesta demokrasi.
Di kampus UIN Walisongo Semarang, ajang perpolitikan yang bernama pemilihan umum mahasiswa (Pemilwa) juga akan berlangsung pada bulan Desember ini--meskipun sampai sekarang tanggal pastinya juga belum ditentukan. Sebelum Pemilwa berlangsung, para pejabat mahasiswa tentu akan sibuk membuat--kadang memanipulasi--LPJ selama masa kepengurusannya.
Para pengurus partai mahasiswa, baik ditingkatan wilayah (DPW) maupun pusat (DPP), akan jauh lebih sibuk. Masing-masing partai akan merekrut anggota baru untuk kepentingan regenerasi. Anggota partai yang lama akan mempersiapkan beragam strategi untuk memenangkan partainya. Juga akan sibuk memilah kader-kadernya untuk didistribusikan ke posisi strategis pemerintahan kampus.
Bagi kader terpilih, mereka akan sibuk merancang visi-misi yang kadang hanya sekadar formalitas dan sebagai iming-iming pengikutnya. Tak hanya itu, para senior yang masih "setia" pada kader ideologisnya tentu juga akan disibukkan dengan beragam kunjungan konsultasi suksesi Pemilwa. Mungkin juga harus siap-siap mengeluarkan beberapa kocek agar Pemilwa yang tak berduit itu bisa berjalan.
Hegemoni kelompok dominan
Yang unik, biasanya di kampus ini ada kelompok yang selalu memenangkan Pemilwa (kelompok dominan) dan kelompok yang tak pernah menang (non-dominan). Kalaupun yang non-dominan ini menang, mentok hanya mendapatkan segelintir kursi di badan legislatif kampus (Sema/SMF). Tak pernah mereka menduduki jabatan strategis di legislatif--yang dianggap lebih bergengsi.
Sedikit terbesit usulan, bagaimana jika kelompok dominan mencoba hal baru, keluar dari zona ny-aman. Maksudnya begini, coba sekali-kali partai atau golongan yang dalam tradisinya selalu memegang tapuk kekuasaan, mengalah. Merelakan sejenak--katakanlah satu periode--biar jabatan pemerintahan kampus di pegang oleh partai yang selalu kalah.
Implikasi dari hal ini tentu bersifat kontroversi. Kemungkinan positifnya, kontestasi politik akan lebih jernih. Kriteria pemimpin ideal bukan karena ia berasal dari partai dominan, namun lebih karena kompetensi yang mumpuni. Jika memang kualitas dari kelompok non-dominan buruk, toh nanti tapuk kepemimpinan akan beralih lagi ke kelompok dominan tadi. Dengan begitu kita tahu, apakah selama ini kubu yang biasa memimpin layak menjadi pemimpin atau justru sebaliknya.
Namun, respon negatifnya pasti kelompok dominan tak akan terima dengan gagasan semacam ini. Karena hukum rimba masih dijadikan dasar pijakan; yang kuat yang bertahan. Tidak mencoba bagaimana menerapkan demokrasi yang benar-benar demokratis, tanpa ada intervensi dari siapapun dan pihak manapun. Soalnya selain politik yang sarat intrik, arus hegemoni semacam senioritas kadang juga masih berlangsung.
Penulis sadar jika gagasan semacam ini rentan-kritik rawan-konflik. Bisa jadi, para senior kelompok dominan akan mengkerdilkan atau mencibir di belakangorang. Bagi saya, selama kritik bersifat dialogis, itu akan lebih baik dari pada sekadar debat kusir. Apalagi kalau setelah ini ada tulisan untuk tandingan, tentu jauh lebih arif dari pada curhat-misuh di media sosial.
Belajar politik
Semua tahu, kini media sedang gencar memberitakan isu seputar politik. Dari mulai pemilihan gubernur, isu makar presiden hingga aksi bela Islam yang juga beraroma politis. Mirisnya panggung perpolitikan di negara ini membentuk persepsi orang terhadap demokrasi menjadi buruk. Dalam situasi dan kondisi ini, seharusnya mahasiswa bisa menjadi aktor perubahan.
Bagaimana caranya? Pemilwa adalah wahananya--ruang eksperimentasi pembelajaran demokrasi. Orientasi Pemilwa seharusnya menjadi ajang pengabdian, bukan mencari kekuasaan. Orientasi negatif seperti black campaign, hegemoni kelompok minoritas dan tindak anarki, harus dibuang jauh-jauh. Biarkan demokrasi mahasiswa berlangsung alami, tidak seperti drama yang hanya dinikmati sebagian kalangan. Dramaturgi politik yang kerap terjadi bak sistem monarki, harus segera digugat.
Tulisan ini dibuat dengan sepenuh hati, tanpa tendensi apapun. Termasuk juga tak membawa latar belakang partai mahasiswa yang dulu pernah penulis pimpin. Celotehan ini muncul dari kesadaran akan pentingnya pembelajaran politik yang bijak dan bajik.
Barangkali judul tulisan ini terlalu berat, maaf. Tadinya ingin serius, tapi malah sok serius. Selebihnya hanya berniat menarik minat pembaca serta biar coretan ini bisa lolos di lpmedukasi.com. Mungkin lebih tepat ketika tulisan ini diberi judul: Harapan Politik Kampus.
1 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
Post a Comment