HUKUM, HAKIM DAN
MUKALLAF
Makalah Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Ushul
Fikih
Yang Diampu
Oleh: Lutfiyah
Disusun
Oleh,
Baihaqi An
Nizar (133111013)
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Hukum merupakan salah satu unsur
yang tidak akan pernah terlepas dari syari’at Islam, dengan adanya hukum, kita
dapat mengetahui bagaimana kita dapat menjalankan syari’at Islam yang
telah dibawa oleh sang Syari’, baginda nabi Muhammad SAW. Yakni
menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan menjauhi apa yang telah
dilarangnya.Begitu pula dengan Hakim,
hukum tidak akan pernah ada bila tidak ada yang pernah mengeluarkan hukum
tersebut, oleh karenanya saya akan mencoba sedkit membahas tentang pengertian
dari keduanya serta hal yang berkaitan dengannya.[1]
Dikalangan ulama ummat manusia Islam tidak ada
perselisihan pendapat mengenai, bahwasannya sumber hukum isyar’iyyah bagi
seluruh perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT., baik hukumnya
mengenai perbuatan mukallaf itu telah Dia wahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia
memberi petunjuk kepada para mujtahid untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf dengan
perantara dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyari’atkan untuuk
mengisthimbatkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah ada kesepakatan
hukum-hukumnya.[2]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah pengertian hukum menurut ushul fiqh?
B.
Apakah pengertian hukum modern?
C.
Apakah pengertian hakim, mahkum fih dan mahkum alaih?
D.
Bagaimana hubungan antara hakim dan mukallaf beserta hukum
yang dikenakannya?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum
menurut Ushul Fiqh
Pengertian hukum secara etimologi (bahasa) dapat
bermakna Putusan, ketetapan, dan kekuasaan. Namun pengertian hukum secara terminologi (istilah) dapat diartikan sebagai berikut:
الحكم فى اصطلاح علماء الفقه خطاب
الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Dapat
dipahami bahwa Hukum (al-hukm) adalah Khitab (kalam) Allah SWT.
yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa Tholb (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/ mani’).
Kemudian,
ada istilah yang hampir mirip dengan Hukum (al-hukm) yaitu khitob,
pengertiannya ialah sebagai berikut:
ما يشمل
الكتاب الكريم وما يدل الكتاب الكريم على اعتباره: من سنة, أو قياس أو رعاية مصلحة
Khithabullah
adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, mengingat ia merupakan bagian dari
Sunnah, Ijma’,Qiyas
dan penjagaan
kemashlahatan. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
dalil hanya Al-Quran dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode
menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan sunnah, Demikian pula dengan ijma’ harus
mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam
Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung
karena Rasulullah SAW. tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali
berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
“dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
B.
Pengertian Hukum
Modern
Teori hukum modern mengatakan bahwa hukum merupakan suatu norma
yang dibuat oleh manusia dan lahir dari sebuah kesepakatan-kesepakatan antara
manusia dalam sebuah bentuk musyawarah untuk mufakat yang diproses secara
otonom, logis-rasional, secara mekanis dan teratur.[3]
Menurut
Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hakim mempunyai arti yaitu (a) peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (b) Undang-Undang, peraturan, dsb
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (c) patokan (kaidah, ketentuan)
mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; (d) keputusan (pertimbangan) yg
ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis;[4]
Hukum-hukum modern pada umumnya dapat dibagi menjadi dua
yaitu : (1) Hukum Piblik dan (2) Hukum Privat
Hukum Publik dapat dibagi, sebagai berikut:
1.
Hukum Pidana, yaitu hukum yang mengatur bagaimana negara
menghukum orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran.
2.
Hukum Acara, yaitu
hukum yang mengatur cara mempertahankan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam hukum materiil.
3.
Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara negara-negara yang merdeka
4.
Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur tata pemerintah,
dasar-dasar dan tujuan negara, alat perlengkapan negara dan sebagainya yang
tercantum dalam undang-undang dasar negara dan sebagainya.
Hukum Privat
dapat dibagi sebagai berikut:
1.
Hukum perdata dalam arti sempit yang tercantum dalam hukum
sipil, yang membicarakan sebagai berikut:
a.
Hukum purusa (person, perorangan) yang mengatur hubungan
orang dengan orang
b.
Hukum famili, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
kekeluargaan
c.
Hukum kekayaan, yang mengatur hak-hak yang berhubungan
dengan benda, termasuk hak milik dan sebagainya.
d.
Hukum waris, yaitu yang mengatur tentang tindakan yang harus
dilakukan terhadap kekayaan seseorang yang sudah meninggal.
a)
Hukum Dagang, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
perdagangan atau perusahaan yang mengandung antara lain: tatabuku, perseroan,
wasel, cek, asuransi dan hukum laut
b)
Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara warga negara sesuatu negara dengan warganegara sesuatu negara
lain.
c)
Hukum antar golongan, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara golongan dengan golongan lain, dalam suatu negara.[5]
C.
Apakah pengertian
hakim, mahkum fih dan mahkum alaih?
1.
Hakim
Pengertian Hakim menurut ushul fiqih adalah orang yang menjatuhkan
keputusan.[6] Hakim secara
bahasa merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu hakiim, yang
berarti orang yang memberi putusan atau diistilahkan juga dengan qadhi. Hakim bisa
juga berarti orang yang melaksanakan hukum, karena tugas seorang hakim yaitu mencegah seseorang dari
kedzaliman. Kata hakim dalam pemakaiannya disamakan dengan qadhi yang
berarti orang yang memutus perkara dan menetapkan perkara.
وَ اضِعُ الْأَ حْكَامِ وَ
مُثْبِتُهاَ وَ مُنْشِئُهاَ وَ مَسْدَرُهاَ
Pembuat,
yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
Sedangkan
Hakim menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
berarti orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah). Sedangkan
menurut Undang-Undang Peradilan
Agama, Hakim adalah seorang pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang (hal ini bertentangan, karena hakim ini dalam
arti modern).[7]
Yang dimaksud Hakim
(yang menetapkan hukum) disini ialah Allah swt, dan yang memberitahukan
hukum-hukum Allah tersebut yaitu para rasul-Nya. Apakah manusia mampu mengenali
hukum Allah secara langsung (dengan akalnya) ataukah manusia hanya dapat
mengenali hukum-hukum Allah melalui perantara, yaitu para Nabi, rasul dan kitab-kitab-Nya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat,yaitu:
a.
Golongan Asy’ariyah
Golongan
ini berpendapat bahwa hukum-hukum Allah. Tentang perbuatan orang mukallaf tidak
mungkin diketahui kecuali dengan perantaraan Rasul dan Kitab-kitab-Nya. Karena
akal jelas membeda-bedakan perbuatan, adakalanya akal menilai baik suatu
perbuatan dan kadangkala menilai buruk suatu perbuatan.
Artinya: ...“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”...
Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT. Yang artinya: “menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi
Keputusan yang paling baik".
b.
Golongan Mu’tazilah
Golongan ini
berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tentang perbuatan orang mukallaf dapat
diketahui dengan akal meskipun tanpa perantaraan. Karena dalam setiap perbuatan
orang mukallaf terdapat sifat dan pengaruh yang berbahaya maupun yang
bermanfaat, sehingga akal mampu menjelaskan sifat-sifat perbuatan dan
pengaruhnya yang baik atau buruk. Hukum Allah atas perbuatan-perbuatan itu
menurut penemuan akal baik dari segi manfaat atau bahayanya.
Sebelum Rasul ada,
akallah yang memberitahukan hukum-hukum Allah. Dengan akal mukallaf dapat mengetahui baik atau buruk
suatu perbuatan atau sifat-safatnya. Karena dengan akal setiap mukallaf wajib
mengerjakan sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk. Yang penting disini
adalah, ukuran baik dan buruk adalah Syar’iy bukanlah akal.[8]
2.
Mahkum Fih
Mahkum Fih (objek hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki
oleh pembuat hukum untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh manusia. Jadi, yang
disebut sebagai objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syar’i.
Hukum itu berlaku pada perbuatan, bukan pada zat. Sebagai contoh, minuman
keras. Pada minuman keras itu tidak berlaku hukum padanya, baik perintah atau
larangan. Berlakunya larangan adalah meminum minuman keras itu, yaitu suatu
perbuatan meminum, bukan pada zat minuman keras itu. [9]
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang
dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan,
memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[10]
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri.
Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”.
Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu
perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Para ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat
untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
a.
Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan seperti “mencat langit”.
b.
Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang
akan menerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan yang lainnya. Tidak
mungkin berlaku taklifi terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya
menyuruh seseorang menggantang angin.
c.
Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan
berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
3.
Mahkum Alaih
Mahkum alaih atau subjek hukum atau pelaku hukum adalah orang-orang yang
dikenai hukum. Dalam bahasa ushul fiqh, disebut dengan mukallaf[11], artinya orang-orang
muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang
dijadikan beban baginya.[12]
Para ulama Ilmu Ushul mengatakan bahwa Mahkum
Alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’. Dalam
paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu
zahrah mendefinisikan mahkum alaih dengan orang mukallaf, karena dialah yang
perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dan termasuk atau tidak
dalam cakupan perintah dan larangan.[13]
Secara etimologi
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh
aktifitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus
dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun persyaratan yang
harus dipatuhi agar seorang mukallaf sah ditaklifi adalah sebagai berikut :
1.
Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan
sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang-orang yang yang
tidak mampu memahamidalil-dalil itu
tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya
dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang
ditaklifkan itu.dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit
diukur, maka Allah menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat
anggapan adanya akal, yaitu baligh.
Berdasarkan
hal diatas anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena mereka
tidak pungya alat untuk memahami taklif tersebut. begitu juga dengan
orang yang lupa, tidur dan mabuk karena dalam keadaan demikian mereka tidak
dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
2.
Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang ditaklifkan kepadanya.
“ahli” di sisni berarti layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri
seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk
diserahi tanggung jawab mengurus harta wakaf. [14]
D.
Hubungan antara Hakim
dengan Mukallaf
Hukum merupakan salah satu unsur yang tidak akan
pernah terlepas dari syari’at Islam, dengan adanya hukum, kita dapat mengetahui
bagaimana kita dapat menjalankan syari’at Islam, yakni menjalankan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT. dan menjauhi apa yang telah
dilarangnya.
Hubungan antara hakim dengan
mukallaf sangatlah berkaitan, bahwa hakim adalah pembuat hukum, sedangkan
mukallaf adalah yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut atau
menjadi subyek. Apabila tanpa adanya hakim maka mukallaf tidak akan nyata, dan
apabila orang mukallaf melakukan sesuatu pelanggaran baik berkaitan dengan
sesama mukallaf maka yang menghukumi adalah hakim.
IV.
KESIMPULAN
Berbicara tentang hukum dan pembagiannya, perlu diketahui bahwa
batasan-batasan hukum dalam ilmu Ushul Fikih meliputi Al-Hukum, Mahkum Fih dan
Mahkum Alaih. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disebutkan diatas,
dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah sesuatu yang dikeluarkan oleh al-Hakim
dengan menunjukkan atas kehendaknya dalam perbuatan orang mukallaf (orang yang
dikenai hukum).
Al hakim adalah pembuat hukum dalam pengertian Islam adalah
Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang menetepkan
aturan-aturan bagi kehidupan manusia.
Mahkum fih atau obyek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya
hukum Syara’ atau secara singkatnya, perbuatan orang mulakallaf yang berkaitan
dengan Hukum. Sedangkan Mahkum ‘alaihi Sobyek hukum ialah: orang-orang
mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan
syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddiqy, Muhamad, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka
Rizqi Putra, 1999.
Rifa’i, Moh. , Ushul Fiqh, Bandung: PT Alma’arif, 1973.
Suyatno, Dasar-Dasar
Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh,
Bandun: CV Pustaka Setia, 2010.
Wahhab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina
Utama, 1994.
[2]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
(Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 137.
[5]
Teungku Muhamad Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar
Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1999), hal. 27-28.
[6]
Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, hal. 131.
[8]
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT
Alma’arif, 1973), hal. 17-18.
[9]
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh &
Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 128.
[10]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal. 317.
[11]
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh &
Ushul Fiqh, hal 130.
[12]
Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 16.
[13]
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 334.
[14]
Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, hal. 134-135.
0 komentar:
Post a Comment