Sunday, March 15, 2015

Hukum, Hakim dan Mukallaf



HUKUM, HAKIM DAN MUKALLAF
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fikih
Yang Diampu Oleh: Lutfiyah



Disusun Oleh,
Baihaqi An Nizar (133111013)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
                                                                  2014
I.            PENDAHULUAN
Hukum merupakan salah satu unsur yang tidak akan pernah terlepas dari syari’at Islam, dengan adanya hukum, kita dapat mengetahui bagaimana kita dapat menjalankan syari’at Islam yang telah dibawa oleh sang Syari’, baginda nabi Muhammad SAW. Yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan menjauhi apa yang telah dilarangnya.Begitu pula dengan Hakim, hukum tidak akan pernah ada bila tidak ada yang pernah mengeluarkan hukum tersebut, oleh karenanya saya akan mencoba sedkit membahas tentang pengertian dari keduanya serta hal yang berkaitan dengannya.[1]
Dikalangan ulama ummat manusia Islam tidak ada perselisihan pendapat mengenai, bahwasannya sumber hukum isyar’iyyah bagi seluruh perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT., baik hukumnya mengenai perbuatan mukallaf itu telah Dia wahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia memberi petunjuk kepada para mujtahid untuk mengetahui  hukumnya pada perbuatan mukallaf dengan perantara dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyari’atkan untuuk mengisthimbatkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah ada kesepakatan hukum-hukumnya.[2]
II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah pengertian hukum menurut ushul fiqh?
B.     Apakah pengertian hukum modern?
C.     Apakah pengertian hakim, mahkum fih dan mahkum alaih?
D.    Bagaimana hubungan antara hakim dan mukallaf beserta hukum yang dikenakannya?
III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum menurut Ushul Fiqh
Pengertian hukum secara etimologi (bahasa) dapat bermakna Putusan, ketetapan, dan kekuasaan. Namun pengertian hukum secara terminologi (istilah) dapat diartikan sebagai berikut:
الحكم فى اصطلاح علماء الفقه خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
Dapat dipahami bahwa Hukum (al-hukm) adalah Khitab (kalam) Allah SWT. yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa Tholb (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/ mani’).
Kemudian, ada istilah yang hampir mirip dengan Hukum (al-hukm) yaitu khitob, pengertiannya ialah sebagai berikut:
ما يشمل الكتاب الكريم وما يدل الكتاب الكريم على اعتباره: من سنة, أو قياس أو رعاية مصلحة
Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, mengingat ia merupakan bagian dari Sunnah, Ijma’,Qiyas dan penjagaan kemashlahatan. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Al-Quran dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan sunnah, Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah SAW. tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
 dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
B.     Pengertian Hukum Modern
Teori hukum modern mengatakan bahwa hukum merupakan suatu norma yang dibuat oleh manusia dan lahir dari sebuah kesepakatan-kesepakatan antara manusia dalam sebuah bentuk musyawarah untuk mufakat yang diproses secara otonom, logis-rasional, secara mekanis dan teratur.[3] Menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hakim mempunyai arti yaitu (a) peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (b) Undang-Undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (c) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; (d) keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis;[4]
Hukum-hukum modern pada umumnya dapat dibagi menjadi dua yaitu : (1) Hukum Piblik dan (2) Hukum Privat
Hukum Publik dapat dibagi, sebagai berikut:
1.      Hukum Pidana, yaitu hukum yang mengatur bagaimana negara menghukum orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran.
2.       Hukum Acara, yaitu hukum yang mengatur cara mempertahankan peraturan-peraturan yang tercantum dalam hukum materiil.
3.      Hukum Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara yang merdeka
4.      Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur tata pemerintah, dasar-dasar dan tujuan negara, alat perlengkapan negara dan sebagainya yang tercantum dalam undang-undang dasar negara dan sebagainya.

          Hukum Privat dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Hukum perdata dalam arti sempit yang tercantum dalam hukum sipil, yang membicarakan sebagai berikut:
a.       Hukum purusa (person, perorangan) yang mengatur hubungan orang dengan orang
b.      Hukum famili, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kekeluargaan
c.       Hukum kekayaan, yang mengatur hak-hak yang berhubungan dengan benda, termasuk hak milik dan sebagainya.
d.      Hukum waris, yaitu yang mengatur tentang tindakan yang harus dilakukan terhadap kekayaan seseorang yang sudah meninggal.
a)      Hukum Dagang, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan atau perusahaan yang mengandung antara lain: tatabuku, perseroan, wasel, cek, asuransi dan hukum laut
b)      Hukum Perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara warga negara sesuatu negara dengan warganegara sesuatu negara lain.
c)      Hukum antar golongan, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara golongan dengan golongan lain, dalam suatu negara.[5]
C.    Apakah pengertian hakim, mahkum fih dan mahkum alaih?
1.      Hakim
Pengertian Hakim menurut ushul fiqih adalah orang yang menjatuhkan keputusan.[6] Hakim secara bahasa merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu hakiim, yang berarti orang yang memberi putusan atau diistilahkan juga dengan qadhi. Hakim bisa juga berarti orang yang melaksanakan hukum, karena tugas seorang  hakim yaitu mencegah seseorang dari kedzaliman. Kata hakim dalam pemakaiannya disamakan dengan qadhi yang berarti orang yang memutus perkara dan menetapkan perkara.
وَ اضِعُ الْأَ حْكَامِ وَ مُثْبِتُهاَ وَ مُنْشِئُهاَ وَ مَسْدَرُهاَ    
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
Sedangkan Hakim menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah). Sedangkan menurut Undang-Undang Peradilan Agama, Hakim adalah seorang pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang (hal ini bertentangan, karena hakim ini dalam arti modern).[7]
Yang dimaksud Hakim (yang menetapkan hukum) disini ialah Allah swt, dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah tersebut yaitu para rasul-Nya. Apakah manusia mampu mengenali hukum Allah secara langsung (dengan akalnya) ataukah manusia hanya dapat mengenali hukum-hukum Allah melalui perantara, yaitu para Nabi, rasul dan kitab-kitab-Nya.  Dalam hal ini terdapat dua pendapat,yaitu:
a.       Golongan Asy’ariyah
                Golongan ini berpendapat bahwa hukum-hukum Allah. Tentang perbuatan orang mukallaf tidak mungkin diketahui kecuali dengan perantaraan Rasul dan Kitab-kitab-Nya. Karena akal jelas membeda-bedakan perbuatan, adakalanya akal menilai baik suatu perbuatan dan kadangkala menilai buruk suatu perbuatan.
Artinya: ...“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”...
                Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Yang artinya: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".
b.      Golongan Mu’tazilah
Golongan ini berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tentang perbuatan orang mukallaf dapat diketahui dengan akal meskipun tanpa perantaraan. Karena dalam setiap perbuatan orang mukallaf terdapat sifat dan pengaruh yang berbahaya maupun yang bermanfaat, sehingga akal mampu menjelaskan sifat-sifat perbuatan dan pengaruhnya yang baik atau buruk. Hukum Allah atas perbuatan-perbuatan itu menurut penemuan akal baik dari segi manfaat atau bahayanya.
 Sebelum Rasul ada, akallah yang memberitahukan hukum-hukum Allah. Dengan akal  mukallaf dapat mengetahui baik atau buruk suatu perbuatan atau sifat-safatnya. Karena dengan akal setiap mukallaf wajib mengerjakan sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk. Yang penting disini adalah, ukuran baik dan buruk adalah Syar’iy bukanlah akal.[8]
2.      Mahkum Fih
Mahkum Fih (objek hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh manusia. Jadi, yang disebut sebagai objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syar’i. Hukum itu berlaku pada perbuatan, bukan pada zat. Sebagai contoh, minuman keras. Pada minuman keras itu tidak berlaku hukum padanya, baik perintah atau larangan. Berlakunya larangan adalah meminum minuman keras itu, yaitu suatu perbuatan meminum, bukan pada zat minuman keras itu. [9]
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[10]
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Para ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
a.       Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkin memberatkan  seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”.
b.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan menerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan yang lainnya. Tidak mungkin berlaku taklifi terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang menggantang angin.
c.       Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
3.      Mahkum Alaih
Mahkum alaih atau subjek hukum atau pelaku hukum adalah orang-orang yang dikenai hukum. Dalam bahasa ushul fiqh, disebut dengan mukallaf[11], artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[12]
Para ulama Ilmu Ushul mengatakan bahwa Mahkum Alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’. Dalam paradigma hukum, mereka juga disebut subyek hukum. Karena itu Muhammad Abu zahrah mendefinisikan mahkum alaih dengan orang mukallaf, karena dialah yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak , dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah dan larangan.[13]
Secara etimologi mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktifitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang mukallaf sah ditaklifi adalah sebagai berikut :
1.      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Karena orang-orang yang yang tidak mampu memahamidalil-dalil itu  tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
  Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu.dan oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur, maka Allah menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal, yaitu baligh.
Berdasarkan hal diatas anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena mereka tidak pungya alat untuk memahami taklif tersebut. begitu juga dengan orang yang lupa, tidur dan mabuk karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
2.      Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. “ahli” di sisni berarti layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia pantas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta wakaf. [14]
D.    Hubungan antara Hakim dengan Mukallaf
Hukum merupakan salah satu unsur yang tidak akan pernah terlepas dari syari’at Islam, dengan adanya hukum, kita dapat mengetahui bagaimana kita dapat menjalankan syari’at Islam, yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan menjauhi apa yang telah dilarangnya.
Hubungan antara hakim dengan mukallaf sangatlah berkaitan, bahwa hakim adalah pembuat hukum, sedangkan mukallaf adalah yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut atau menjadi subyek. Apabila tanpa adanya hakim maka mukallaf tidak akan nyata, dan apabila orang mukallaf melakukan sesuatu pelanggaran baik berkaitan dengan sesama mukallaf maka yang menghukumi adalah hakim.
IV.      KESIMPULAN
Berbicara tentang hukum dan pembagiannya, perlu diketahui bahwa batasan-batasan hukum dalam ilmu Ushul Fikih meliputi Al-Hukum, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum adalah sesuatu yang dikeluarkan oleh al-Hakim dengan menunjukkan atas kehendaknya dalam perbuatan orang mukallaf (orang yang dikenai hukum).        
Al hakim adalah pembuat hukum dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia diatas bumi ini dan Dia pula yang menetepkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia.
Mahkum fih atau obyek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum Syara’ atau secara singkatnya, perbuatan orang mulakallaf yang berkaitan dengan Hukum. Sedangkan Mahkum ‘alaihi Sobyek hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash Shiddiqy, Muhamad, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1999.
Rifa’i, Moh. , Ushul Fiqh, Bandung: PT Alma’arif, 1973.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandun: CV Pustaka Setia, 2010.
Wahhab Khallaf, Abdul,  Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.


[2] Abdul Wahhab Khallaf,  Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994),  hlm. 137.
            [4] Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline versi1.1. 14/014/2014.
[5] Teungku Muhamad Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1999), hal.  27-28.
[6] Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, hal. 131.
[8] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT Alma’arif, 1973), hal. 17-18.
[9] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 128.
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal. 317.
[11] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, hal 130.
[12] Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 16.
[13] Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 334.
[14] Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, hal. 134-135.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More