Wednesday, February 1, 2017

Polemik AS dan Peran Islam Moderat

Foto Bendera Amerika Serikat (google.com)
"Ada apa dengan Amerika, warga negara Islam dilarang ke sana?" tanya Yahya dalam sebuah grup WhatApp. Saat itu topik pembicaraannya memang bermuara pada keputusan Presiden Donald Trump terkait kebijakan baru keimigrasian di Amerika Serikat (AS). Trump melarang warga dari 7 negara dengan penduduk mayoritas muslim ke negaranya. Keputusan tersebut lantas mendapat kecaman dari banyak pihak.

Sepintas, langkah yang diambil Trump cukup baik. Karena, pelarangan sementara bagi warga dari Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman tersebut, bermaksud untuk melindungi warga AS dari serangan teroris. Namun perlu diingat, terorisme tidak ada kaitannya dengan agama ataupun asal-muasal negara. Upaya yang dilakukan AS sungguh merupakan hal yang konyol.

Selain melarang warga dari 7 negara tadi, Trump juga menghentikan penerimaan para pengungsi di AS selama 4 bulan. Dalam hal ini saya sependapat dengan Kanselir Angela Marker dari Jerman yang mengecam keras tindakan Trump. Dalam Konvensi Ganeva dijelaskan, perlu aksi komunitas internasional untuk mengurus masalah yang dihadapi para pengungsi akibat perang, dengan pertimbangan kemanusiaan.

Upaya melawan terorisme tidak perlu alasan di luar pertimbangan kemanusiaan dan demi perdamaian. AS telah melanggar semua itu.

Ketika berpidato selama masa kampanye, Trump secara terang-terangan berjanji akan menumpas kelompok Islam radikal-teroris. Pernyataan tersebut dipertegas dalam pidatonya saat pelantikan Presiden AS Ke-45. Hal itu tentu patut dikhawatirkan. Pasalnya, di satu sisi Trump menyebut kelompok Islam radikal-teroris, namun di sisi lain, Trump kerap melakukan generalisasi terhadap Islam.

Padahal, kebencian warga AS terhadap Islam pasca tragedi WTC--gedung kembar di New York yang hancur total akibat ditabrak pesawat terbang--yang terjadi pada 11 September 2001 kini sudah mulai membaik. Hal tersebut berkat Obama dengan kebijakannya yang relatif bersahabat dengan dunia Islam, dengan prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan.

Namun, Trump kembali menghancurkan persepsi positif itu. Yang ada justru seperti kata para diplomat AS, larangan tidak akan membuat Amerika aman, karena bertentangan dengan nilai yang selama ini dianut dan akan menyulut rasa Anti Amerika di seluruh dunia. Sebab selama ini, ideologi anti Barat menjadi salah satu modal penting untuk memperluas jaringan kelompok radikal dan teroris.

Peran muslim moderat

Perlawanan yang dilakukan AS terhadap kelompok radikal-teroris saat ini menegunakan pendekatan militeristik. Padahal seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang bersifat komprehensif. Menurut Zuhairi Ketua Moderate Muslim Society, pendekatan militeristik jika tak hati-hati, hanya akan melahirkan spirit terorisme.

Kita bisa amati pola terorisme tang terjadi dewasa ini. Dulu, Jemaat Islamiyah ditumpas, lalu muncul Al Qaeda. Kemudian Al Qaeda ditumpas, ada NIIS yang menggatikannya. Itu artinya, sangat sulit menumpas terorisme. Yang bisa dilakukan adalah memastikan kelompok teroris tidak mendapatkan sokongan dana dan persenjataan.

Hal lainnya dengan melakukan deradikalisasi terhadap ideologi mereka. Pengalaman Mesir, Iran, Arab Saudi, dan Indonesia dapat menjadi contoh terbaik dalam menanganinya. Pendidikan keagamaan dan kebangsaan menjadi salah satu kunci untuk melakukan deradikalisasi. Sebab, mereka yang menjadi radikal pada dasarnya tidak mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang Islam.

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu Ormas yang berhaluan moderat. Sebagainana AS, NU menentang keras adanya terorisme. Bedanya, NU tidak menggunakan cara militeristik, tetapi cukup dengan terus mendakwahkan Islam yang ramah, toleran dan moderat, sehingga tidak mudah terjerumus ke dalam kelompok teroris.

Islam moderat dengan prinsip--tasamuh, tawazun dan dan tasawuth--nya, akan senantiasa berupaya mencapai tujuan syariat Islam, yaitu menjaga dan melindungi lima hal dasar: din (agama), nafs (jiwa), aql (akal pikiran), mal (harta benda), dan nasab (keturunan, termasuk martabat manusia). Dengan begitu, terorisme tentu mennadi suatu hal yang tak dibenarkan karena justru mencederai lima hal dasar tadi.

Oleh karena itu, sebaiknya Donald Trump bisa lebih hati-hati dalam menyelesaikan fenomena terorisme. Jika salah langkah, akan berdampak serius, yang tak hanya mengancam masa depan AS, tapi juga menimbulkan instabilitas politik di dunia. AS perlu belajar dengan Indonesia yang memperkuat kelompok moderat untuk melakukan deradikalisasi, maka kelompok radikal-teroris akan melemah.

Baihaqi Annizar

(Pernah dipublikasikan di Media milik PMII Komisariat Walisongo, Semarang)

1 komentar:


Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More