AL-IJARAH
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Semester Gasal
Mata kuliah : Fiqh
Muamalah
Dosen Pengampu :
Ali Muchtar
Disusun oleh:
1. Sinar Hadi Setyo (133111126)
2. Mukhasin (133111134)
3. Nuridah (133111136)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Salah
satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah
sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh
sering mmenerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut
janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja,
tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia
merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam
hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi
social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan
yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain
dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang
kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada
dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber
hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep
Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada
di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang
dirugikan. Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita
dalam ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di
sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk
interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan
ekonomi), yaitu Ijarah
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Ijarah?
B.
Bagaimana Dasar Hukum Ijarah?
C.
Bagaimana Rukun dan Syarat-syarat Ijarah?
D.
Bagaimana Upah dalam Pekerjaan Ibadah?
E.
Bagaimana Menyewakan Barang Sewaan?
F.
Bagaimana Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah?
G.
Bagaimana pengembalian Barang Sewaan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at).[1]
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh
yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau
dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata اجر
yang sinonimnya:
1.
اكوىyang artinya menyewakan, seperti
dalam kalimat اجرالشئ (menyewakan
sesuatu)
2.
اعطا ه اجراyang artinya ia member upah, seperti
dalam kalimat اجرفلاناعلى كذا(ia
memerikan kepada si fulan upah sekian)
3.
اثابهyang artinya memberinya pahala,
seperti dalam kalimatاجرالله عبده(Allah memberikan
pahala kepada hamba-Nya)[2]
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda
mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Ulama Hanafiyah
عَقْدٌ
عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas
suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ
عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ
بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas
suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah
dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ
مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[3]
d. Menurut syaikh
Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan
ijaroh
ialah:
“Akad atas manfa’at
yang diketahui dan disengaja untuk member dan membolehkan dengan imbalan yang
diketahui ketika itu”.
e. Menurut Muhammad
Al-Syarbini Al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijaroh
adalah:
“Pemilikan manfaat
dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid
Sabiq bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat
dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi
Ash-Shiddiqie bahwa ijarah adalah:
“Akad yang objeknya
ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat
dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar
sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti
sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa menyewa adalah:
بيع
المنافع
“Menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah
بيع
القوة
“Menjual tenaga atau kekuatan.”[4]
Ada
beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir,
musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima
uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau
pihak yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan
ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat
yang diberikan.[5]
B.
Dasar Hukum ijarah
Dasar-dasar
hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
Dasar
hukum ijarah dalam alqur’an adalah
فان ا رضعن لكم فا تو هن
اجورهن (الطلاق)
Artinya:
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq:
6).
Dasar
hukum ijarah dari al-hadits adalah
اعطو االاجيرا
جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu
upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
Landasan Ijma’nya
ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah
kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang
berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[6]
C.
Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun ijarah
hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun
menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.
Dua orang yang berakad
2.
Sighat (ijab dan qabul)
3.
Sewa atau imbalan
4.
Manfaat
Adapun syarat-syarat
ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.
Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan
kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.
Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui,
sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.
Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan
secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.
Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.
Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi
penyewa
7.
Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa
disewakan
8.
Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas
D.
Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama berbeda sudut pandang
dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah
atau perwujudan ketaatan kepada Allah. Madzhab hanafi berpendapat bahwa ijarah
dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti menyewa orang lain
untuk sholat, puasa, haji atau membaca alqur’an yang pahalanya dihadiahkan
kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa, menjadi
muadzin, menjadi imam, dan lain-lain yang sejenis haram hukumnya mengambil upah
dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
اقرؤالقران ولاتاؤكلوابه
“bacalah olehmu alqur’an dan janganlah kamu cari makan dengan
jalan itu”.
Perbuatan
seperti adzan, shalat, haji, puasa, membaca alqur’an dan dzikir adalah
tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah, karenanya tidak boleh
mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Menurut madzhab Hambali, boleh
mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar alqur’an dan sejenisnya, jika
tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi haram hukumnya
mengambil upah jika tujuannya termasuk kepada taqqrrub kepada Allah.
Madzhab maliki, Syafi’I dan ibnu
Hazm, membolehkan mengambil upah sebagai iambalan mengajar aklqur’an dan
kegiatan-kegiatan sejenis, karena hal ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan
yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa mengambil upah sebagai imbalan mengajar alqur’an dan kegiatan
sejenis, baik secara bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan
tidak ada nash yang melarangnya.
E.
Menyewakan Barang Sewaan
Menurut Sayyid sabiq, penyewa
dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika
akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda
yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir)
dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau
al-musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu
sendiri.[7]
F.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Para ulama fiqih berbeda pendapat
tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau
tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu
pihak yang berakad seperti salah satu pihak sudah wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak dalam hukum.
Adapun jumhur ulama dalam hal ini
mengatakan bahwa akad ijaraj itu seperti mengikat kecuali ada cacat atau barang
itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat berbeda pendapat ini dapat diamati dalam
kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiah, apabila salah
seorang meninggal dunia maka akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh
diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh
diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.[8]
Selanjutnya sampai kapankah akad
ijarah itu berakhir?. Menurut al-kasani dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu,
menyatakan bahwa akad ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.
Objek ijarah hilang atau musnah
2.
Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah
telah berakhir
3.
Wafatnya salah seorang yamh berakad
4.
Apabila ada udzur dari salah satu pihak
Sementara itu,
menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal
sebagai berikut:
1.
Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan
penyewa
2.
Rusaknya barang yang disewakan
3.
Rusaknya barang yang diupahkan
4.
Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai
dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5.
Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad
boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
G.
Pengembalian Barang Sewaan
Menurut Sayyid Sabiq jika akad
ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika
barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak) seperti
kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada
pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang
tidak dapat bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban
menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula.
Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk
menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga
berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi
kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi
penyewa.
IV.
KESIMPULAN
Menurut
etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة
(menjual manfa’at).[9]
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh
yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut
istilah, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
Dasar-dasar
hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’.
Menurut Hanafiyah rukun ijarah
hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun
menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.
Dua orang yang berakad
2.
Sighat (ijab dan qabul)
3.
Sewa atau imbalan
4.
Manfaat
Adapun syarat-syarat
ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.
Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan
kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.
Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui,
sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.
Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan
secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.
Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.
Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi
penyewa
7.
Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa
disewakan
8.
Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.
Para
ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan
yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Menurut Sayyid sabiq,
penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain,
dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad awal.
Para
ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan
menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.
Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan
penyewa
2.
Rusaknya barang yang disewakan
3.
Rusaknya barang yang diupahkan
4.
Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai
dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
5.
Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad
boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
Menurut
Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengembalikan barang sewaan.
V.
PENUTUP
Syukur Alhamdulillah demikian makalah yang dapat
kami susun. Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini dan berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
GHAZALY ABDUL RAHMAN dkk. FIQH
MUAMALAT Jakarta:KENCANA.2012
Huda,Qomarul.Fiqh muamalah.Yogyakarta:teras.2011
Suhendi, Hendi . FIQH MUAMALAH.
Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002
Syafei, Rachmat. FIQIH
Muamalah. Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat.Jakarta:Amzah.2010
[1] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH
Muamalah. (Bandung:CV PUSTAKA SETIA. 2001) hlm.121
[2] Drs. H.Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat
(Jakarta:Amzah.2010)hlm.315
[3] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH
Muamalah. hlm.122
[4] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH
MUAMALAH. (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002) hlm.114-115
[5] Qomarul Huda.Fiqh muamalah(Yogyakarta:teras.2011) hlm.77
[9] Prof. DR.H. Rachmat Syafei,MA. FIQIH
Muamalah. hlm.121
0 komentar:
Post a Comment