Friday, November 14, 2014

Interelasi Nilai Jawa dan Islam pada Aspek Sastra



INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK SASTRA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kebudayaan Jawa
Yang Diampu Oleh: Ibnu Fikri, M.Si



Disusun Oleh,
Maryam                (103911029)
Tomy Widiyanto     (113411091)
Fajri Tri Basuki      (133111004)
Baihaqi                  (133111013)
M. Ainur Rofiq      (133111034)
Rifka Rosadi          (133111000)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2013


I.         PENDAHULUAN
Sejarah Islam di Jawa telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang menarik dicermati, antara lain terjadinya dialog budaya antara budaya asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk kedalam budayaJawa. Proses tersebut memunculkan berbagai varian dialektika. Pada saat agama Hindu-Budha datang, memunculkan budaya Hindu-Budha dengan corak khusus pengaruh budaya India. Demikian juga pada saat Islam datang dan berinteraksi dengan budaya Jawa, melebur menjadi satu. Dalam hal ini, ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa.[1]
Sastra merupakan salah satu hasil dari interelasi nilai budaya Jawa dan Islam. Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara langsung atau tidak langsung telah melahirkan berbagai kemungkinan yang dapat dikatakan sebagai kekayaan semesta. Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra (membicarakan pengertian dasar, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).[2]
Sastra dalam masyarakat Jawa memiliki peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya sastra baik lisan maupun tulisan yang menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat Jawa. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan menjaga nilai-nilai Jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau ajaran animisme – dinamisme, Hindu dan Budha.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian sastra dalam Islam dan budaya jawa?
B.     Bagaimana periodisasi sastra Jawa?
C.     Bagaimana interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra?

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sastra
Menurut Teeuw sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Jamil bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar kata 'sas' yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk. Akhiran 'tra' menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk , buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah.[3] Sedangkan sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.Istilah sastra dalam bahasa inggris juga dikenal sebagai literature yang menunjuk pada karya tulis atau karya yang dicetak.
Berbicara tentang sastra takkan lepas dari fungsi sastra. Fungsi sastra ialah mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Suatu karya sastra diaktakan memiliki keindahan karena sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Yang terpenting mengenai fungsi karya sastra yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai didaktik, dapat juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan moral.
B.     Periodisasi Sastra Jawa
Dalam perkembangan sastra Jawa, terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, diantaranya berdasar kaitannya dengan kurun waktu, yakni sastra Jawa Kuno, Jawa baru dan Jawa modern. Ada pula pembabakan berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman Hindu, zaman Majapahit, zaman Islam, zaman Mataram dan sesudah Mataram. Sedangkan Pigeaud memperinci periodisasi sastra jawa berdasar pengaruh kebudayaan, yaitu:[4]  
1.      Periode pertama adalah pra-Islam (900-1500M), dimana manuskrip-manuskrip Jawa kuno sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Periode ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan Jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan Hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra Jawa Kuno, mulai dari pengenalan huruf sampai pada sastra keagamaan, seperti Mahabrata dan Ramayana yang mengandung ajaran moral.
2.      Periode kedua adalah periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada dalam lingkup pengaruh raja Hindu di Bali. Sastra jawa dipelihara dan dilestarikan di Bali oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali karena tidak mau memeluk Islam.
3.      Periode ketiga adalah era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang menjadi pusat perdagangan seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon dan Banten merupakan pusat munculnya sastra Jawa pesisiran.
           Periodesasi sastra juga telah dikenalkan pada era walisongo. Walisongo sebagai pelopor dakwah dengan seni dan sastra budaya di Jawa. Walisongo adalah sejumlah guru besar atau ulama' yang berjumlah sembilan yang diberi tugas untuk dakwah islamiyah di wilayah tertentu. Walisongo mencapai sukses besar dalam syiar Islam di tanah Jawa ini. Selain ahli dalam bidang keagamaan, Walisongo juga memasuki ranah-ranah seni dan budaya masyarakat. Mereka gemar dengan kebudayaan dan sastra daerah. Walisongo menciptakan syair-syair atau puisi dan tembang-tembang atau lagu dengan memasukkan ajaran Islam di dalamnya dalam berdakwah.
C.     Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra. [5]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[6] Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya,contohnya :
Wangsalan :
Jenang sela (apu)
Wader kali sesonderan (sepat)
Apuran to
Yen wonten lepat kawula
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang
Sinom  : 
Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
oya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada
Parikan : 
Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
Wis pestimu, kowe pisah karo aku
 Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat pembangunan moral. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.[7]
Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini,karena pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum banyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-Islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkandalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering digunakan pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/macapat) dalam menyusun karya -karya sastranya.[8]
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:
1.      Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2.      Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
1.      Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
a.       Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
b.      Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
c.       Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait),
d.   Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12bait),
e.   Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
f.      Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
g. Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembangkinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
h.      Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
i.        Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur(14 bait) dan sinom (18 bait).
2.      Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
a.       Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
b.      Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)
c.       Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
d.      Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
3.      Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
a.    Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi(16 bait), gambuh (17bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh(17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait).
                 Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru diantaranya :
1.      Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki prajurit sangat diperlukan dalam menghadapiera globalisasi yang  akan membentuk moral manusia, yang akan melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing tinggi.
2.  Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam SeranayaKawara, dengan implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
3.      Memiliki moral yang baik, dalam serat Selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.[9]
       Dalam sastra jawa yang dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang memiliki mentrumIslam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.Maksud dari keterkaitan antara Islam dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. 
       Pada zaman kontemporer karya-karya Jawa Islami sulit ditemukankarena kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami. kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang nJawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang njawani.Tetapi walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang macapat dengan warna Islami. Diantara contohnya adalah Tembang Pocung “Bektiya Mring Pangeran”, dan Tembang Gambuh “Bektiyo Marang Wong Tuwamu”.

IV.   KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa pembahasan diatas, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari berbagai pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang berbentuk prosa, (2) karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya sastra yang berbentuk drama.Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).[10] Sedangkan fungsi dari sastra itu sendiri yaitu mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Selain itu sastra juga memiliki nilai hiburan yang tinggi.
2.      Sastra jawa memiliki tiga periode diantaranya yaitu: Periode Pra Islam, periode Jawa-Bali, dan periode sastra pesisiran.
3.      Sedangkan dalam perkembangannya, sastra pada masa hindu budha dikenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
4.     Interelasi atau keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut.

V.      PENUTUP
            Kesimpulan diatas sekaligus menutup pembahasan makalah ini. Saran kami, sebagai mahasiswa sepatutnya kita mampu mempertahankan kesustraan Jawa yang telah berkembang seperti sekarang ini. Juga menghargai hasil karya-karya para pujangga terdahulu yang telah mampu memasukkan nilai-nilai ajaran Islam serta hal-hal yang tidak sepatutnya kita lakukan kedalam karya sastra tersebut, sehingga Islam pun mampu berkembang sedemikian rupa.[11]
            Demikian yang dapat pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/interrelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html 23/10/2013.
Amin, M. Darori, 2000, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:  Gama Media.
Anasom, dkk,  2004, Merumuskan Interelasi Islam–Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Jamil, Abdul, 2000, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Geertz, Clifford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.23/10/2013.
http://zamronislf.blogspot.com/2013/06/bab-i-pendahuluan-a.html.23/10/2013.
Tjadrasasmita, Uka, 2006, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam, Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI.
http://nellybunny.blogspot.com/2012/06/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.23/10/2013.



                [1]http://asa-2009.blogspot.com/2012/02/interrelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html 23/10/2013.
            [2]M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 140.
            [3]M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 139.
            [4]Anasom, dkk, Merumuskan Interelasi Islam – Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004),hlm. 118.
[5]A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 144.
[6]Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), hlm. 375-376.
              [7]http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.23/10/2013.
              [8]http://zamronislf.blogspot.com/2013/06/bab-i-pendahuluan-a.html.23/10/2013.
              [9]M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 151.
        10]Uka Tjadrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam, (Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2006), hlm. 61.
              [11]http://nellybunny.blogspot.com/2012/06/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.23/10/2013.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More