Friday, November 14, 2014

Sistem Pendidikan Islam pada Masa Walisongo



SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA WALISONGO

 
MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam
Yang Diampu Oleh: Drs.Wahyudi, M.Ag



Disusun Oleh,
PAI 1A
Izza Firdiana Rizky     (133111012)
Baihaqi                      (133111013)
Rizqi Ainunhayati        (133111014)
Edy Sudihartono         (133111015)
Muhamad Basori         (133111016)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2013
I.            PENDAHULUAN
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia, baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuhsuburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, dan alam semesta. Berdasarkan konsep pendidikan islam, salah satu yang menyebarkan  di Indonesia adalah walisongo.[1]
Walisongo berarti sembilan wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila bukan ikatan darah pasti dalam hubungan guru-murid.
Mereka tinggal di pantai uatara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gersik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradapan baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Era walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu–Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan, namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas, serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.[2]
II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian sistem pendidikan islam?
B.     Bagaimana peran walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia?
C.     Bagaimana Metode Pendidikan Islam Pada Masa Walisongo?
III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah  tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tesendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya sudah mewakili  istilah yang lain. Atas dasar itu dalam beberapa buku pendidikan islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendididkan islam.[3]
Pengertian pendidikan Islam itu sendiri berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran, agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Dari pemaparan yang disampaikan diatas, intinya dapat dirumusakn sebagi berikut:
pendidikan islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejanwantahkan atau mengaplikasikan ajaran dan nilai-nilai islam dalam kegaitaan pendidikan.[4]
 B.     Peran Walisongo Dalam Penyebaran Agama Islam
Penyebaran agama islam di jawa tidak bisa dipisahkan dari perananan para wali. Jumlah para wali yang terkenal adalah sembilan, yang dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan wali songo. Dalam upaya menyebarkan Islam para wali tetap mempertahankan tradisi lama yang telah dikenal masyarakat. Bahkan mereka berhasil mengaktualisasikan fenomena budaya lama yang disesuaikan dengan ajaran islam, tanpa dirasakan sebagai sesuatu yang asing oleh etnis Jawa.
 Sejarah walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses gemilang perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan itu agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar manyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan.
1.      Peranan Perdagangan dalam Proses Penyebaran Islam
Islam masuk ke Indonesia dibawa pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Adapun kota pelabuhan dagang yang berperan besar dibidang penyebaran agama Islam diabad ke-16 adalah Malaka. Saat para pedagang muslim menunggu perubahannya arah angin untuk menuju tempat tertentu dalam berlayar, mereka memanfaatkan waktu luangnya untuk menyebarkan Islam kepada para pedagang dari daerah lain, termasuk pedagang Indonesia.
2.      Peranan Perkawinan dalam Proses Penyebaran Islam
Perkawinan juga memegang penting dalam penyebaran agama Islam. Banyak pedagang Arab, Persia dan Gujarat menikah dengan wanita Indonesia, terutama putri bangsawan atau raja. Misalnya Syeh Maulana Ishak menikahi Dewi Sekardadu, putri raja Blambangan yang menurunkan Sunan Giri. Sunan Ampel menikahi Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Majapahit yang berkuasa di Tuban, menurunkan Sunan Bonang dan Sunan Drajat, dsb. Dengan cara ini, banyak yang ikut memeluk Islam.

3.      Peranan Pendidikan dalam Proses Penyebaran Islam
Proses penyebaran agama Islam melalui pendidikan berupa pendidikan di pondok-pondok pesantren. Para santri yang telah lulus merupakan ujung tombak penyebaran Islam didaerahnya masing-masing.[5]
C.     Metode Pendidikan Islam Masa Walisongo
Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat.
Mempelajari metode dakwah Nabi Muhammad, sahabat, dan ulama salaf sebagai perbandingan. Setelah diteliti, ternyata dakwah Walisongo yang bijak dan halus sesuai dengan dakwah Nabi. Dakwahnya sesuai ayat di bawah ini:
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S.An-Nahl), dan ayat,

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali’imran 159)
Juga pesan Nabi saat mengutus Abu Musa dan Mu’adz berdakwah, “Mudahkanlah, jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat (objek dakwah) lari!” (HR Muslim). Dan Hadits dari Siti Aisyah, “Rasulullah memerintah kami menempatkan (memperlakukan) manusia sesuai keberadaan (akal) mereka.” (HR Abu Dawud).[6]
           Secara rinci, metode yang dilakukan Walisongo adalah:
1.      Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa, dianggap sebagai ayah dari walisongo. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.[7] Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419.[8]
2.      Sunan Ampel (Raden Rahmad)
Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim yang tertua, ia membangun mengembangkan pondok pesantren di daerah Ampel Denta yang berawa-rawa. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, namun pada para santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum-minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina.
3.      Sunan bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
 Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’. Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
 Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
4.      Sunan Drajat (Raden Qasim)
Belau menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Beliau mendirikan pesantren yang bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta, beri makan pada yang lapar, beri pakaian pada yang telanjang”.Gamelan Singomengkok adalah salah satu peninggalannya yang terdapat di Musium daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5.      Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan gurunya Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a.       Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1)      Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2)      Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam
3)      Tut Wuri Handayani
4)       Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b.      Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c.       Merangkul masyarakat Budha
Selain masjid, Sunan Kudus juga mendirikan padasan tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha.
d.      Selamatan Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.[9]
6.      Sunan Giri (Ainul Yaqi Atau Raden Paku)
Beliau mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7.      Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[10]
Beliau sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Sunan Kalijaga jugalah yang menciptakan Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid.
8.      Sunan Muria (Raden Umar Said)
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9.      Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati sebelum meletakkan dasar agama Islam dan bagi perdagangan orang Islam, terlebih dahulu telah menunaikan rukun ke-5 naik haji ke Mekkah sebelum tiba di Kerajaan Sultan Demak. sebagai haji yang shaleh dan sebagai mufasir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan hangat di kerajaan itu.
Kemudian setelahitu pindah ke Banten, dan ia berhasil menggaantikan bupati Pasundan di situ, dan mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dengan awal langkah inilah ia memenfaatkan tahtanya untuk menyebarkan agama Islam, terutama mengislamkan Jawa Barat.[11]

IV.            KESIMPULAN
Secara garis besar peran walisongo dalam penyebaran agama islam antara lain:
a.       Pada masa Sunan Ampel mulai didirikan pesantren Ampel Denta sehingga beliau juga dikenal sebagai pembina pondok pesantren di Jawa timur. Di pesantren tersebut sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi dai.
b.      Di bidang politik, sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam meupun sebagai penasehat raja-raja Islam, atau sebagai raja.
c.       Dibidang seni budaya, berperan sebagai pengembang kebudayaan setempat yang disesuikan dengan budaya Islam baik melalui akulturasi maupun asimilasi kebudayaan.
d.      Menyebarkan agama Islam dengan menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan hal itu terjadi pada masa Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Dalam aktifitas dakwahnya, ia mengganti nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat.
e.       Mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama, seperti tembang jelungan, cublak-cublak suweng, dan lir-ilir, pangkur.
f.       Menggunakan wayang kulit dan mengarang aneka cerita wayang yang bernapaskan Islam dalm menyebarkan agama Islam.
g.      Mengembangkan seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat, dan kesusastraan.
h.      Menjadikan desa-desa terpencil sebagi pusat dakwah dan mengadakan kursus-kursus bagi kaum pedagang, para nelayan dan rakyat biasa.[12]

V.            PENUTUP
Semoga dengan mempelajari sejarah peran Walisongo dalam penyebaran agama Islam kita dapat selalu menghormati Walisongo sebagai penyebar Islam dan guru. Seandainya bukan karena mereka, mungkin kita saat ini beragama Hindu atau Budha seperti nenek moyang kita. Walisongo guru kita, karena nenek moyang kita belajar pada mereka atau murid-murid mereka; dan kiai serta guru kita masa sekarang belajar pada gurunya, gurunya belajar pada gurunya lagi, terus sampai Walisongo. Karena itulah para ulama dan habaib mengamalkan ajaran Islam tradisionalis Walisongo.[13]
Walhasil, Walisongo adalah ulama-wali yang alim dan bijak. Mereka dan metode dakwah serta peninggalannya seyogianya dihormati. Nabi bersabda pada Sayidina Ali, “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk pada seseorang (hingga masuk Islam) melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada memperoleh unta merah” (HR Bukhari-Muslim). Nabi juga bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, dia mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukannya” (HR Muslim). Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa Nabi mendapat pahala seperti pahala seluruh umatnya, sejak diutus sampai Kiamat. Maka begitu pula Walisongo, sebagai penyebar Islam “pertama”, mereka mendapat pahala seperti pahala semua umat Islam Indonesia, sejak dakwahnya sampai Kiamat.

DAFTAR PUSTAKA
Darsono, 2009, tonggak sejarah kebudayaan islam 3, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Daulay, Putera, Haidar, 2009, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Muhaimin, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers,.
Munir, Samsul, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah Suyanto, 2010, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kncana Prenada Media.
Qamar, Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, PT Gelora Aksara Pratama.
Sutrisno, Hadi, Budiono, 2009, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Jawa, Yogyakarta: Graha Pustaka.
Su’ud, Abu, 2003, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), Jakarta: PT  Rineka Cipta.
.



[1] Haidar Putera Daulay, Pemberdayaan Pendidikanislam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.6.
[3] Suyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kncana Prenada Media, 2010), hlm.10.
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm.8.
[5] Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (PT Gelora Aksara Pratama), hlm.65.
[7]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT  Rineka Cipta, 2003), hlm.125.
[10]Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.308.
[11] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Jawa, (Yogyakarta: Graha Pustaka, 2009), hlm.166.
[12] Darsono, tonggak sejarah kebudayaan islam 3, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), hlm.55.

3 komentar:

lambangnya uin kok keterangan di bawahnya iain???

maklum, masih tahap transisi bro...
segera ganti.

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More