WANITA
DALAM BUDAYA JAWA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu :
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
WANITA
DALAM BUDAYA JAWA
I.
PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan makhluknya laki-laki dan perempuan dalam posisi
yang sama, namun pemahaman tentang kedudukan maupun peran wanita selalu menjadi
menarik perhatian, bukan karena keanggunan dan kelemah lembutannya yang menawan, tetapi karena perlakuan terhadap
dirinya tidak menempatkannya sebagai sesama ciptaan Tuhan. Hampir setiap
sepanjang
sejarah umat manusia,
kapanpun dan dimanapun dan
bangsa apapun, pada kebudayaan
tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai insan kelas kedua.
Dari
uraian yang telah dipaparkan, kami mencoba mengungkap pandangan orang jawa
mengenai istilah, makna, peran wanita dalam budaya jawa, sektor domestik ataupun
public
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa istilah dan makna serta beban ideologis wanita ?
B.
Bagaimana
peran domestik dan publik dari wanita ?
C.
Bagaimana
kedudukan perempuan dalam kajian sastra jawa ?
D.
Peran
wanita dalam islamisasi jawa itu seperti apa ?
E.
Bagaimana
pandangan islam terhadap wanita ?
F.
Seperti
apa hasil budaya wanita dalam hal pakaian ?
G. Dimana peran wanita jika dikaji dalam budaya jawa ?
III.
PEMBAHASAN
A. Istilah, Makna dan Beban Ideologis Wanita
Sebagaimana
telah disinggung dalam masyarakat jawa, bahwa selain laki-laki itu juga ada perempuan yang dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri
dan Putri. Dan perlu kita dalami
bahwa keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata
melainkan
mengandung konsekuensi ideologis yang disebut sebagai beban idiologis.[1]
1.
Wadon
Kata wadon
berasal dari bahasa kawi wadu yang secara harfiah berarti kawula atau abdi.
Istilah ini sering diartikan bahwa perempuan di dunia ini, ditakdirkan sebagai abdi sang guru
laki. Pengabdian seorang wanita harus mengikuti setiap tataran kehidupan.
2.
Wanita
Wanita berasal
dari gabungan dua
kata bahasa jawa wani (berani) dan tata (teratur).
Secara gatukhologis kata bentukan ini mengandung dua konotasi wani ditata dan
wani nata, dalam konotasi wani ditata bahwa wanita tetap tunduk pada sang guru
laki sedangkan wani nata yaitu wanita harus bertanggung jawab atas pendidikan
anak dan seluruh pengaturan keluarga.
3.
Estri
Kata estri
lahir dari kata esterndalam
bahasa kawi berarti penjurung (pendorong), dengan demikian sebutan estri
pada manusia itu harus mampu mendorong suami,
membantu pertimbangan – pertimbangan terutama saat jiwa sedang melemah.
4.
Putri
Kata putri berarti
anak perempuan.
Dalam peradaban tradisional jawa kata ini sering disebut dengan akronim dari
kata – kata putus tri perkawis, yang menunjuk pada purna karya
perempuan.
Dari semua
istilah yang telah disebutkan bahwa kedudukan wanita itu tidak sejajar dengan
kaum pria, semua sangat menekan mereka.[2]
B.
Peran Domestik dan Publik
Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya
sastra jawa mencerminkan sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan
masyarakat. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai
istri (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang
melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Secara lebih luas sesuai perannya
dalam keluarga, perempuan dalam Serat Candrarini dilukiskan bisa macak,
manak, dan masak.[3]
Peran
Domestik
|
Peran Publik
|
||
Wanita dalam
keluarga
|
Wanita dalam
upacara adat
|
||
a.
|
Macak
|
Wanita dituntut untuk mengabdi dan berbakti,
baik keluarga, masyarakat maupun bangsa. Ia sadar bahwa tanpa berkarya yang
berarti seseorang tidak akan pernah bisa hidup dalam arti yang sebenarnya. Ia
berpendapat bahwa karya sangat bermanfaat bagi kualitas hidup itu sendiri,
idealisme, perkembangan ilmu pengetahuan, cinta, dan kasih sayang. Dengan
berkarya dan bekerja akan tercapai masyarakat yang adil dan makmur, gemah
ripah loh jinawi.
|
|
Yang berarti
seorang perempuan harus bisa merias diri, berdandan, ataupun berbusana yang
sebaik – baiknya agar senantiasa tampak cantik, menarik dan mempesona. Hal
ini merupakan kewajiban pokok yang harus dijaga sebagai bentuk perwujudan
bekti dalam melayani suami.
|
|||
b.
|
Manak
|
||
Pengertian
tersebut tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan menyusui saja tetapi
juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak.
|
|||
c.
|
Masak
|
||
Mengurusi
dapur, karena mengurusi dapur perempuan sering disebut dengan istilah kanca
wingking. Namun, kepandaian memasak tidak hanya mengolah dan menyediakan
makan dan minum, tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan sebaik –
baiknya.
|
|||
C. Kedudukan Perempuan
Dari
gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam sastra jawa yang
dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan XIX diketahui bahwa peran
dan kedudukan perempuan terbatas disektor domestik. Adapun kedudukan perempuan
yang disebutkan dalam beberapa karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai
berikut :[4]
1.
Sebagai hamba Tuhan
Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik,
protestan, hindu dan budha. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat termasuk perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan
unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan
kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama islam
dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan
agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
2.
Sebagai
anak atau menantu
Anak
perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti (mengabdi) kepada orang
tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada
mertua. Selanjutnya dijelaskan pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan
penghormatan dari anak. Disebutkan bahwa bapak/ibu
adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga
mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui
perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
3.
Sebagai
istri
Dalam
sastra jawa banyak ditemukanajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping
suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti
kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang
lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus memperlakukan
suami seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan dihormati.
4.
Sebagai
ibu
Tugas
perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya
sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu,
termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang
tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja
karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan
raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.
D. Peran Wanita Dalam Islamisasi Jawa
Dari
berbagai sumber yang mengangkat masalah Islamisasi di Jawa, pada dasarnya
wanita memiliki peran yang penting. Namun demikian, masih minim tulisan yang
secara spesifik memberikan penjelasan tentang peran wanita dalam Islamisasi di
Jawa. Sebagian besar tulisan memberikan gambaran bahwa wanita seolah-olah hanya
berperan sebagai compliment dalam Islamisasi. Artinya adalah peran
wanita hanya sebagai pelengkap dalam sebuah proses. Namun sebelum menjelaskan
peran wanita dalam budaya jawa, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
kategorisasi status wanita pada Islamisasi Jawa pada abad XIV-XV.[5]
Wanita
dalam Islamisasi dapat dipilah menjadi beberapa kategori. Kategori pertama
adalah wanita yang berasal dari kalangan pribumi yang menikah dengan para
pendatang beragama Islam. Wanita kategori pertama ini tidak dijumpai secara
khusus dalam tulisan-tulisan lokal. Keberadaan wanita dalam kategori ini
diketahui hanya dari berita-berita asing seperti berita Ma Huan tentang terjadinya
proses pernikahan dan kemunculan komunitas-komunitas muslim yang terdapat di
daerah pesisir pada masa Majapahit.
Wanita-wanita
pribumi yang menikah dengan para pedagang asing ini dalam perkembangannya masuk
ke dalam agama Islam. Karena kuantitasnya yang makin bertambah kemudian terjadi
proses repoduksi maka lambat laun terbentuklah komunitas yang terdiri atas
orang-orang yang beragama Islam. Peran wanita yang termasuk dalam kategori ini
sebatas sebagai katalis pada strategi bottom up dalam Islamisasi di
Jawa. Artinya wanita-wanita inilah yang kemudian menjadi pelopor dan menjadi
orang pribumi yang pertama-tama memeluk Islam.
Kategori
kedua adalah wanita kerabat pejabat yang dinikahi oleh tokoh- tokoh penyebar
agama Islam. Contohnya adalah pernikahan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan
anak Adipati Tuban, Nyi Gede Manila yang memperoleh dua putera bernama Sunan
Drajat dan Sunan Bonang.
E. Wanita dalam Pandangan Islam
Sikap Islam terhadap wanita sangat adil dan proporsional. Islam sangat
menghargai kedudukan wanita sebagaimana memberikan arahan-arahan untuk dapat
menjaga kehormatan dan harga wanita sebagai makhluk Allah dengan segala
keunikannya.
Islam menetapkan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal
kemuliaan dan tanggungjawab secara umum, Adapun terkait tugas masing-masing dalam
keluarga dan masyarakat Islam menetapkan sikap proporsional bagi laki-laki dan
perempuan dalam hak dan kewajiban mereka, sekaligus sebagai bukti keadilan
Islam.
Islam
memandang bahwa setiap jenis laki-laki dan perempuan
memiliki kelebihan masing-masing, Allah memberikan kelebihan bagi laki-laki
atas perempuan dengan satu derajat, Karenanya Allah SWT memberikan tugas lebih
berat bagi laki – laki atas kaum perempuan, kaum laki – lakilah yang mengemban
tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan global, tugas peradilan, mengimami
shalat, jihad fisabilillah. Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria
seperti penisbatan anak kepada bapaknya, pembagian waris dua kali lipat atas
bagian wanita.
Posisi wanita dalam Islam juga dapat dilihat dari
perhatiannya kepada kewajiban pendidikan wanita secara khusus, Pendidikan wanita dalam Islam diawali dengan pendidikan dasar, yaitu akidah dan prinsip-prinsip iman, ibadah dan akhlak
wanita muslimah. Demikian juga pendidikan skill dan keterampilan
bagi wanita sesuai kebutuhan zaman.
F. Hasil budaya wanita jawa dalam hal
pakaian
Hasil
kebudayaan kebendaan yang merupakan peranserta dari wanita yaitu pakaian.
Pengetahuan menenun untuk membuat pakaian sudah dikenal sejak zaman kebudayaan
Batu Baru atau Neolitikum dengan ditemukan alat-alat dari batu untuk pemukul
kulit-kulit kayu untuk dijadikan serat yang kemudian ditenun.[6]
Pada
masa Hindu-Budha telah disebutkan bermacam-macam kain, juga dalam sastra kuno
serta berita asing dalam pembuatan pakaian, baik dari bahan produksi sendiri
atau impor. Para wanita kemudian mengolah kain itu dengan menenun ataupun
membatik kain itu sehingga bisa dikenakan.
Setelah
masuk Islam, kaum wanita memakai kain yang ditarik ke atas dan dililitkan
dengan kuat untuk menutupi bagian dadanya. Di jawa dan Lombok, hingga bagi
sarung yang dililitkan ialah selendang yang biasanya diletakkan diatas dada
dengan kedua ujungnya dilepaskan di atas dada.
G. Wanita dalam Budaya Jawa
Dikalangan masyarakat jawa, perempuan dikenal
dengan istilah kanca wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukan bahwa
perempuan tempatnya bukan didepan sejajar dengan laki-laki, melainkan
dibelakang, didapur, karena dalam konsep budaya jawa wilayah kegiatan istri
adalah seputar dapur, sumur, dan kasur. Hal itu menunjukan sempitnya ruang
gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala
diluar tugas-tugas domestiknya. Dengan demikian wanita bekerja dirumah
digambarkan wanita tidak dapat mengupayakan atau menciptakan kebahagiaan bagi
diri maupun keluarganya.[7]
Lebih
tragis lagi, pengkotakan pria disektor publik dan wanita disektor domestik juga
berdampak pada pemerolehan hak-hak kaum wanita. Dengan konsep sepikul-saghendhong-an
sebagai hukum pembagian harta warisan, seorang wanita hanya memperoleh setengah
dari yang diterima laki-laki. Itu berarti, laki-laki memperoleh bagian dua kali
lipat dibanding yang diterima wanita. Laki-laki mendapat sepikul dan
perempuan mendapatkan se-gandhong-an.[8]
Pembagian
peran disektor publik bagi laki-laki dan sektor domestik bagi perempuan tidak
begitu tegas. Akibatnya, wanita mendapatkan bagian peran pada kedua
sektor tersebut. Ini jelas merugikan wanita, karena laki-laki tidak mendapatkan
jatah pekerjaan pada sektor domestik. Itu berarti, jika pekerjaan disektor
publik diterjemahkan sebagai aktifitas diladang atau sawah, dalam kenyataanya ,
wanita pun juga bekerja disektor tersebut.
Sosialisasi
tugas perempuan dalam rumah tangga, selain dilakukan oleh orang orang tua juga
dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh para pujangga melalui penulisan
serat-serat (kitab-kitab), beberapa kitab yang ditulis oleh raja dan pujangga
yang berkaitan piwulang yang berisi ajaran untuk para putri, misalnya serat
wulangreh putri karya Sunan Pakubuwono IV dan serat candrarini karya
Ranggawarsita. Raja merupakan penguasa tertinggi yang kekuasaanya tidak hanya
terbatas pada persoalan yang berkaitan dengan negara dan kekayaan, tetapi juga
pada kehidupan pribadi rakyatnya.[9]
Enkulturasi
konsep budaya jawa yang berkaitan dengan kedudukan dan peran perempuan telah
berlangsung lama, secara turun-menurun. Perubahan pandangan secara
berangsur-angsur terjadi sesudah R.A Kartini memperjuangkan hak memperoleh
pendidikan bagi perempuan. Sedikit demi sedikit perempuan mengetahui
hak-haknya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat sebagai kaum
laki-laki.
Kebodohan
akibat tidak adanya pendidikan itu, menurut Kartini, merupakan penyebab tidak
adanya kesejahteraan masyarakat. Tanpa pendidikan mereka tidak mengetahui cara
mengatasi masalah yang mereka hadapi seperti pangan, kasehatan, mengatur
ekonomi rumah tangga, dan cara mendidik anak.
Perjuangan
Kartini untuk memajukan pendidikan kaum perempuan mendapat dukungan dari
Direktur Urusan Pengajaran dan Kerajinan,H. Abendanon. Dalam surat yang
ditulisnya kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 9 januari 1981, kartini
mengutip himbauan abendanon kepada kepala pemerintahan daerah agar membantu
pendirian sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi.
Sejak
masa Kartini itu, perempuan jawa mulai melangkah kearah emansipasi. Walaupun
membutuhkan proses yang panjang, perjuangan kartini membuahkan hasil,
diantaranya makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengunyam pendidikan
dan terbukanya kesadaran sebagian masyarakat bahwa perempuan memiliki hak untuk
memperoleh pendidikan. Dengan bekal pendidikan itusebagian perempuan jawa
memperoleh pekerjaan diluar rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang
semula hanya disektor domestik kemudian meluas kesektor publik. Dengan
demikian,disatu sisi kaum perempuan memperoleh kesempatan untuk melakukan
kegiatan di masyarakat disisi lain ada beban ganda yang harus dikerjakan sebab
perempuan tetap bertanggung jawab terhadap tugas domestiknya.
IV.
KESIMPULAN
Perempuan dalam masyarakat jawa disebut Wadon. Wanita,
Estri, Putri. Keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata
melainkan mengandung konsekuensi idiologis yang di sini disebut sebagai beban idiologis.
Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai isteri (garwa),
pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan
memelihara anak. Secara lebih luas sesuai perannya dalam keluarga, perempuan
dalam serat Candrarini dilukiskan bisa macak, manak, masak.
Pada
masa Hindu-Budha telah disebutkan bermacam-macam kain, juga dalam sastra kuno
serta berita asing dalam pembuatan pakaian, baik dari bahan produksi sendiri
atau impor. Para wanita kemudian mengolah kain itu dengan menenun ataupun
membatik kain itu sehingga bisa dikenakan.
Setelah
masuk Islam, kaum wanita memakai kain yang ditarik ke atas dan dililitkan
dengan kuat untuk menutupi bagian dadanya. Di jawa dan Lombok, hingga bagi
sarung yang dililitkan ialah selendang yang biasanya diletakkan diatas dada
dengan kedua ujungnya dilepaskan di atas dada.
Enkulturasi konsep budaya jawa yang berkaitan dengan kedudukan dan peran perempuan
telah berlangsung lama, secara turun-menurun. Perubahan pandangan secara
berangsur-angsur terjadi sesudah R.A Kartini memperjuangkan hak memperoleh
pendidikan bagi perempuan. Sedikit demi sedikit perempuan mengetahui hak-haknya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat
sebagai kaum laki-laki.
Kebodohan
akibat tidak adanya pendidikan itu, menurut Kartini, merupakan penyebab tidak
adanya kesejahteraan masyarakat. Tanpa pendidikan mereka tidak mengetahui cara
mengatasi masalah yang mereka hadapi seperti pangan, kasehatan, mengatur ekonomi rumah
tangga, dan cara mendidik anak.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal
penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik dan
saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang
lebih baik. Semoga makalah bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Dian,Seri. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukri,Sri Suhardjanti dan Ridin
Sofwan. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam
Bahasa Jawa. Yogyakarta: Gama Media
http://cribd.com/doc/23130284/Peran-Wanita-Dalam-Islamisasi-Jawa
html.12 November 2013 pukul 21.39 WIB
[1]Seri Dian IV,Kisah dari Kampung Halaman,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)hlm.275
[2]Seri Dian IV,Kisah dari Kampung Halaman,hlm.277
[3] Seri Dian IV,Kisah dari kampung Halaman,hlm.76
[4]Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,Perempuan dan Seksualitas
dalam Tradisi Jawa,(Yogyakarta:Gama Media,2001),hlm.63
[5]cribd.com/doc/23130284/Peran-Wanita-Dalam-Islamisasi-Jawa
html.12 November 2013 pukul 21.39 WIB
[6]cribd.com/doc/23130284/Peran-Wanita-Dalam-Islamisasi-Jawa
html.12 November 2013 pukul 21.39 WIB
[8]Seri Dian IV,Kisah dari Kampung Halaman,hlm.63
[9]Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,Perempuan dan Seksualitas
dalam Tradisi Jawa,hlm.63
0 komentar:
Post a Comment