Thursday, August 31, 2017

Makalah Filsafat Ibnu Rusyd

IBNU RUSYD

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen pengampu: Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag.



Disusun oleh:
Hana Suhro Muzaki               (133111009)

  1. Rizqi Ainunhayati                  (133111014)
Shofwatin Ni’mah                  (133111029)
Direvisi oleh:
Baihaqi An Nizar                    (133111013)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 3A
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.       PENDAHULUAN
Di saat Islam mendapat serangan pemikiran falsafah dari Barat, para pemikir dan saintis Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina, berani keluar dari keasikan “ibadah oriented” kepada memanfaatkan akal secara maksimal dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Pemikiran mereka ini menghasilkan banyaknya penemuan yang mengagumkan dunia, mereka adalah para penemu berbagai bidang disiplin keilmuan seperti matematika, sains, kedokteran, falsafah yang tidak pernah dibincangkan sebelumnya. Karya-karya mereka ada yang menjadi rujukan selama lima abad di Eropa.
Mereka adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Atas jasa beliau berdua, dengan filsafat, manusia mampu menemukan keagungan Tuhan melalui oleh cakrawala atas semua ciptaan-Nya. Mereka bukan saja berpikir untuk zamannya, tetapi juga berpikir untuk masa depan. Pemikirannya di satu sisi berpijak pada konteks sosial pada zamannya, tetapi di sisi lain terlihat ia ingin melampaui zamannya. Pencerahan yang disuguhkan makin kompleks. Pada mulanya pencerahan akal, lalu pada akhirnya menuju pencerahan umat.
Mengingat jasa-jasanya  dalam induk ilmu pengetahuan ( filsafat ) yang menjadikan bangsa barat terkagum-kagum, dan bergerak untuk mengembangkan, inilah yang memotivasi untuk mengetahui lebih jauh mengenai Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Dengan demikian, diharapkan mampu meneladani apa yang telah beliau lakukan.[1]

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana kritik Ibn Rusyd atas Al-Ghazali ?
B.     Bagaimana kontekstualisasi pemikiran sang tokoh pada problematika sosial-keagamaan ?

III. PEMBHASAN
A.    Kritik Ibn Rushd atas Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali telah menulis suatu kitab yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang memuat berbagai dalil dan argument bahwa teori dan pemikiran para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai ketuhanan dan hal-hal yang metafisis telah tidak berhasil dengan memuaskan, malah ada diantaranya yang bertentangan langsung dengan ajaran Islam. Terdapat tiga masalah yang dipandang oleh Al-Ghazali sebagai bertentangan dengan dasar agama Islam, sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir. Tuduhan yang sangat keras ini telah menarik perhatian Ibn Rusydi untuk meneliti kembali permasalahannya, sehingga ia menulis suatu kitab yang berjudul Tahafut at-Tahafut yang dimaksudkan untuk membela Ibn Sina dan filsafat pada umumnya dari serangan dan sanggahan Al-Ghazali dalam kitabnya yang tersebut. Beberapa masalah yang diperdebatkan yaitu :
1.      Ilmu Allah bersifat kulli
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam kalangan umat Islam seluruhnya. Hanya bagaimana Allah mengetahui hal-hal yang persial (juz’iyyat) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan. Dalam kalangan filosof Islam, terutama Ibn Sina ada pendapat yang menyatakan bahwa hal-hal yang fenominal dan parsial itu bukanlah tidak diketahui oleh Allah, tapi Dia mengetahuinya dengan ilmu yang kulli (universal). Dengan mengetahui sebab-sebabnya, maka Allah juga mengetahui segala akibat yang timbul darinya secara tidak langsung. Segala peristiwa fenominal yang terjadi di alam ini telah diketahui Allah sejak azali sebelum hal tersebut berwujud dalam bentuk konkrit karena ilmu-Nya terhadap sesuatu adalah sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi hal-hal tersebut tidak diketahui oleh Allah seperti yang diketahui oleh manusia yang ilmunya akan sesuatu senantiasa terkait dengan ruang dan waktu. Kecuali itu, manusia mengetahui sesuatu setelah hal itu terjadi, tidak sebelumnya. Dan justru karena itu, ilmunya selalu mengalami perubahan karena adanya perubahan objek yang diketahui, dan hal ini mustahil terjadi pada ilmu Allah.
Imam Al-Ghazali menyanggah pendapat tersebut yang menafikan ilmu Allah terhadap hal-hal yang parsial itu. Katanya, tidak mesti timbulnya perubahan pada Allah karena hal-hal parsial yang diketahui-Nya karena ilmu-Nya satu, baik sebelum hal itu dijadikan, atau dalam hal ia dijadikan maupun setelah dijadikan. Dan dalam hal adanya perubahan pada Allah karena ilmu-Nya terhadap yang parsial itu, maka itu tidak ada kemungkinan terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sasaran atau objek yang diketahui, sedangkan ilmunya tetap tidak berubah.
Menurut Ibn Rusyd, Allah mengetahui segala sesuatu dengan cara yang khas, dengan ilmu yang khas, tidak kulli (universal) dan jika juz’I (parsial). Sebabnya, karena ilmu yang kulli bersifat potensial terhadap apa yang ada di dalam kenyataan. Ilmu ini mengandung kekurangan dalam dirinya. Demikian pula tidak dengan ilmu yang juz’I yang hanya menjangkau hal-hal yang parsial atau kecil-kecil yang tidak ada habisnya.
2.      Keqadiman Alam
Masalah keqadiman alam merupakan suatu problema keagamaan yang musykil yang telah mengundang berbagai diskusi dan perbedaan dalam kalangan para pembuka agama di dunia ini. Dalam kalangan pemikir Yunani terdapat pendirian bahwa alam ini qadim, tidak ada awalnya seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
Al-Ghazali berbicara atas nama para ahli kalam (teolog) telah menyerang dan membantah argument mereka satu persatu dalam upaya memperlihatkan bahwa pendirian mengenai kekadiman alam ini tidak mempunyai alasan yang kuat. Akan tetapi, Ibn Rusydi yang datang kemudian menolak dalil-dalil yang dibentangkan oleh al-Ghazali.
Ibn Rusydi menyatakan bahwa “gerak” itu kadim karena zaman dan pencipta juga kadim. Ibn Rusydi menjelaskan bahwa zaman itu kadim karena jika di andaikan zaman kita ini telah di mulai, maka itu berarti adanya zaman yang tidak ada akhirnya telah mendahului zaman ini. Hal ini mustahil karena permulaan zaman kita adalah akhir zaman yang lalu. Pada titik ini, al-Ghazali telah menyanggah Aristoteles bahwa zaman itu dijadikan bersama alam ini. Mengandaikan adanya zaman yang tidak berakhir, kemudian menyanggah andaian ini merupakan kerja waham yang tidak perlu dihiraukan. Ibn Rusydi merasakan keshahihan sanggahan tersebut, sehingga ia mengajukan argument lain yang tersebut tentang kekadiman zaman.
Ibn Rusydi mengatakan bahwa adanya pendirian mengenai Allah yang menangguhkan berbuat sesuatu setelah ia mengetahuinya lebih dahulu dianggap sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Sebab dalam hal ini ilmu Allah adalah sebab bagi terjadinya sesuatu. Ilmu Allah kadim sehingga tidak perlu ada penangguhan antara ilmu dan kerja pada Allah. Dengan kata lain, dengan sebab Allah mengetahui sesuatu, maka hal itu pun terjadi.[2]
3.      Kebangkitan Jasmani
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd menyebut bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan Al-Ghazali mengenai kehidupan manusia pada hari akhirat. Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani, tetapi dalam bukunya yang lain, ia menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi pada hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, menurut Ibn Rusyd, tidaklah ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Al-Ghazali berkata : “…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spiritual dan bukan bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Menanggapi tudingan ini, Ibn Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup, dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkapnya sebagai berikut : “…perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah semestinya keadaannya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya pada saat tidur… dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gamblang difirmankan tuhan, ‘Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.”[3]
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang panjang dalam sejarah filsafat Islam. Akan tetapi, bila diteliti lebih dalam, pada dasarnya, Ibn Rusyd masih “ragu” tentang keabadian jiwa. Sebagaimana pendapatnya sebagai berikut : “…Akan halnya keberatan Al-Ghazali bahwa manusia mengetahui jiwanya bahwa dia itu ada dalam badan jasmaninya, meskipun dia tidak dapat merinci di bagian mana tentu saja pendapat ini adalah benar, karena orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat tentang tempat atau letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa adalah ada di dalam badan jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa dia memperoleh keberadaannya lantaran kebersamaannya dengan badan jasmani; keadaan ini bukan berarti jelas dengan sendirinya, dan persoalan dimana para filsuf kuno dan begitu juga yang modern berbeda pendapat, karena jika badan jasmani sebagai alat bagi keberadaan jiwa, jiwa tidak memperoleh keberadaannya lewat badan jasmani. Akan tetapi, jika badan serupa dengan lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadian yang dilakukannya, jika hanya, jiwa hanya bisa ada lewat perantaraan jasmani.”
Hasil dari penelitian Oliver Leaman menunjukkan bahwa perdebatan keduanya, pada dasarnya memiliki kelemahan masing-masing. Hal itu terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali mengakui adanya kebangkitan rohani. Begitu juga, Ibn Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.
Hal itu diperkuat pula oleh tulisan Abdul Azis Dahlan, Ibn Rusyd menyatakan bahwa “semua agama mengakui adanya hidup kedua di hari akhirat kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas adalah, menurut Ibn Rusyd, kehidupan manusia di akhirat itu berbeda dengan kehidupan di dunia, sesuai dengan isyarat hadits Nabi saw., “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada pikiran.” Kehidupan manusia di akhirat adalah lain dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Sesuai dengan keterbatasan daya tangkap orang awam tentang hal-hal yang abstrak, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi mereka, kehidupan manusia di akhirat lebih baik digambarkan dalam bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani saja. Mengenai kebangkitan pada hari akhirat, ia sendiri berpendapat bahwa yang aka nada nanti di akhirat adalah badan yang serupa dengan yang ada di dunia dan bukan badan yang semula di dunia karena yang sudah hancur tidak akan datang kembali.”[4]

B.     Kontekstualisasi pemikiran sang tokoh pada problematika sosial-keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan.
1.      Pluralisme dalam Ijtihad
Ibnu Rusyd mencoba membuka kembali batas-batas ijtihad yang selama ini dikekang. Ia mengudar artefak-artefak hukum fiqih dari berbagai madzhab, menganalisisnya dengan berbagai model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap madzhab dalam menggali dalil-dalil yang memproduksi suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fiqih itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah.
Dari setiap ijtihad fiqih, dua elemen penting yang layak diperhatikan adalah obyektifitas dan pertimbangan dimensi moral etikanya. Berijtihad brarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan karena kebenaran tidak pernah final. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekadar menerima kebenaran dengan tanpa proses apapun.
2.      Kebebasan Berpikir dan Tradisi Kritik
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan, serta mengomentari filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Ia berhasil menyeimbangkang antara akal dan iman. Di hadapan keluhuran tradisi dan keagamaan dan tradisi filsafat, pandangannya telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hk manusia untuk mengkritik dan bertanya.
3.      Dialog Antar Agama
Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Salah satu problem umat beragama adalah bagaimana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks Islam, fiqih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.
Dialog antar umat agama sekarang ini senantiasa penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi factor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog muslim, Ibnu Khaldun, mengatakan, perasaan seagama memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosia. Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain. Karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya.

4.      Kontrol atas Kebijakan Politik
Menurutnya, Islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara sejarah perebutan kekuasaan amat dasyat terjadi. Oleh karena itu, dengan mendasarkan diri pada filsafat politik, Plato, ia menghendaki seorang pemimpin Negara adalah juga seorang filsuf.
Membaca karya Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafat (estetika logika dan filsafat). Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al-Qur’an sebagai kitab teks, yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan bukan artikulasi lafadz.
Menurutnya, Islam sendiri tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al-Kitab, dalam banyak ayatnya memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil (penafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal dan filsafat serta teks Al-Qur’an. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.[5]

IV. KESIMPULAN
Ibnu Rusyd membela filsafat pada umumnya dari serangan dan sanggahan Al-Ghazali dalam kitabnya, beberapa permasalahan yang diperdebatkan adalah :
1.      Ilmu Allah bersifat kulli, bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam kalangan umat Islam seluruhnya.
2.      Keqadiman alam, dalam kalangan pemikir Yunani terdapat pendirian bahwa alam ini qadim, tidak ada awalnya seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
3.      Kebangkitan jasmani, menurut Ibn Rusyd, tidaklah ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Kontekstualisasi pemikiran sang tokoh pada problematika sosial-keagamaan. Terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan yaitu pluralisme dalam ijtihad, kebebasan berpikir dan tradisi kritik, dialog antar agama dan kontrol atas kebijakan politik.

V.    PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.


DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986
Rusyd,Ibnu, Tahafut At-Tahafut, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung : CV Pustaka Setia, 2013
Philosofiaridwan.blogspot.com  Konteks Pemikiran Dan Pemaharuan Ibnu Sina Dan Ibnu Rusyd. htm diakses pada jum’at 26 september 2014 pukul 14.13 WIB






[1] Philosofiaridwan.blogspot.com  Konteks Pemikiran dan Pemaharuan Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.htm diakses pada jum’at 26 september 2014 pukul 14.13 WIB
[2] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986), hal. 175-181
[3] Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 343
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2013), hal. 234-236

1 komentar:


Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More