IBNU
RUSYD
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat
Islam
Dosen pengampu:
Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag.
Disusun oleh:
Hana Suhro
Muzaki (133111009)
- Rizqi Ainunhayati (133111014)
Shofwatin Ni’mah (133111029)
Direvisi oleh:
Baihaqi An Nizar (133111013)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 3A
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Di saat Islam mendapat serangan pemikiran falsafah
dari Barat, para pemikir dan saintis Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina,
berani keluar dari keasikan “ibadah oriented” kepada memanfaatkan akal secara
maksimal dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Pemikiran mereka ini
menghasilkan banyaknya penemuan yang mengagumkan dunia, mereka adalah para
penemu berbagai bidang disiplin keilmuan seperti matematika, sains, kedokteran,
falsafah yang tidak pernah dibincangkan sebelumnya. Karya-karya mereka ada yang
menjadi rujukan selama lima abad di Eropa.
Mereka adalah maskot kebangkitan filsafat dan
rasionalisme Islam. Atas jasa beliau berdua, dengan filsafat, manusia mampu
menemukan keagungan Tuhan melalui oleh cakrawala atas semua ciptaan-Nya. Mereka
bukan saja berpikir untuk zamannya, tetapi juga berpikir untuk masa depan.
Pemikirannya di satu sisi berpijak pada konteks sosial pada zamannya, tetapi di
sisi lain terlihat ia ingin melampaui zamannya. Pencerahan yang disuguhkan
makin kompleks. Pada mulanya pencerahan akal, lalu pada akhirnya menuju
pencerahan umat.
Mengingat jasa-jasanya dalam induk ilmu pengetahuan ( filsafat )
yang menjadikan bangsa barat terkagum-kagum, dan bergerak untuk mengembangkan,
inilah yang memotivasi untuk mengetahui lebih jauh mengenai Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd. Dengan demikian, diharapkan mampu meneladani apa yang telah beliau
lakukan.[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana kritik
Ibn Rusyd atas Al-Ghazali ?
B.
Bagaimana
kontekstualisasi pemikiran sang tokoh pada problematika sosial-keagamaan ?
III.
PEMBHASAN
A. Kritik Ibn Rushd
atas Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali telah menulis suatu kitab yang
berjudul Tahafut al-Falasifah yang memuat berbagai dalil dan argument bahwa
teori dan pemikiran para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai ketuhanan
dan hal-hal yang metafisis telah tidak berhasil dengan memuaskan, malah ada
diantaranya yang bertentangan langsung dengan ajaran Islam. Terdapat tiga
masalah yang dipandang oleh Al-Ghazali sebagai bertentangan dengan dasar agama
Islam, sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir. Tuduhan yang sangat
keras ini telah menarik perhatian Ibn Rusydi untuk meneliti kembali
permasalahannya, sehingga ia menulis suatu kitab yang berjudul Tahafut
at-Tahafut yang dimaksudkan untuk membela Ibn Sina dan filsafat pada
umumnya dari serangan dan sanggahan Al-Ghazali dalam kitabnya yang tersebut.
Beberapa masalah yang diperdebatkan yaitu :
1.
Ilmu Allah
bersifat kulli
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit
dan yang di bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah
digariskan dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus
dalam kalangan umat Islam seluruhnya. Hanya bagaimana Allah mengetahui hal-hal
yang persial (juz’iyyat) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan.
Dalam kalangan filosof Islam, terutama Ibn Sina ada pendapat yang menyatakan
bahwa hal-hal yang fenominal dan parsial itu bukanlah tidak diketahui oleh
Allah, tapi Dia mengetahuinya dengan ilmu yang kulli (universal). Dengan
mengetahui sebab-sebabnya, maka Allah juga mengetahui segala akibat yang timbul
darinya secara tidak langsung. Segala peristiwa fenominal yang terjadi di alam
ini telah diketahui Allah sejak azali sebelum hal tersebut berwujud dalam
bentuk konkrit karena ilmu-Nya terhadap sesuatu adalah sebab bagi terjadinya
hal tersebut. Jadi hal-hal tersebut tidak diketahui oleh Allah seperti yang
diketahui oleh manusia yang ilmunya akan sesuatu senantiasa terkait dengan
ruang dan waktu. Kecuali itu, manusia mengetahui sesuatu setelah hal itu
terjadi, tidak sebelumnya. Dan justru karena itu, ilmunya selalu mengalami
perubahan karena adanya perubahan objek yang diketahui, dan hal ini mustahil
terjadi pada ilmu Allah.
Imam Al-Ghazali
menyanggah pendapat tersebut yang menafikan ilmu Allah terhadap hal-hal yang
parsial itu. Katanya, tidak mesti timbulnya perubahan pada Allah karena hal-hal
parsial yang diketahui-Nya karena ilmu-Nya satu, baik sebelum hal itu dijadikan,
atau dalam hal ia dijadikan maupun setelah dijadikan. Dan dalam hal adanya
perubahan pada Allah karena ilmu-Nya terhadap yang parsial itu, maka itu tidak
ada kemungkinan terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sasaran atau objek yang
diketahui, sedangkan ilmunya tetap tidak berubah.
Menurut Ibn
Rusyd, Allah mengetahui segala sesuatu dengan cara yang khas, dengan ilmu yang
khas, tidak kulli (universal) dan jika juz’I (parsial). Sebabnya,
karena ilmu yang kulli bersifat potensial terhadap apa yang ada di dalam
kenyataan. Ilmu ini mengandung kekurangan dalam dirinya. Demikian pula tidak
dengan ilmu yang juz’I yang hanya menjangkau hal-hal yang parsial atau
kecil-kecil yang tidak ada habisnya.
2.
Keqadiman Alam
Masalah keqadiman alam merupakan suatu problema keagamaan
yang musykil yang telah mengundang berbagai diskusi dan perbedaan dalam
kalangan para pembuka agama di dunia ini. Dalam kalangan pemikir Yunani
terdapat pendirian bahwa alam ini qadim, tidak ada awalnya seperti yang
dikatakan oleh Aristoteles.
Al-Ghazali berbicara atas nama para ahli kalam
(teolog) telah menyerang dan membantah argument mereka satu persatu dalam upaya
memperlihatkan bahwa pendirian mengenai kekadiman alam ini tidak mempunyai
alasan yang kuat. Akan tetapi, Ibn Rusydi yang datang kemudian menolak
dalil-dalil yang dibentangkan oleh al-Ghazali.
Ibn Rusydi menyatakan bahwa “gerak” itu kadim karena
zaman dan pencipta juga kadim. Ibn Rusydi menjelaskan bahwa zaman itu kadim
karena jika di andaikan zaman kita ini telah di mulai, maka itu berarti adanya
zaman yang tidak ada akhirnya telah mendahului zaman ini. Hal ini mustahil
karena permulaan zaman kita adalah akhir zaman yang lalu. Pada titik ini,
al-Ghazali telah menyanggah Aristoteles bahwa zaman itu dijadikan bersama alam
ini. Mengandaikan adanya zaman yang tidak berakhir, kemudian menyanggah andaian
ini merupakan kerja waham yang tidak perlu dihiraukan. Ibn Rusydi merasakan
keshahihan sanggahan tersebut, sehingga ia mengajukan argument lain yang
tersebut tentang kekadiman zaman.
Ibn Rusydi mengatakan bahwa adanya pendirian
mengenai Allah yang menangguhkan berbuat sesuatu setelah ia mengetahuinya lebih
dahulu dianggap sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Sebab dalam hal ini
ilmu Allah adalah sebab bagi terjadinya sesuatu. Ilmu Allah kadim sehingga
tidak perlu ada penangguhan antara ilmu dan kerja pada Allah. Dengan kata lain,
dengan sebab Allah mengetahui sesuatu, maka hal itu pun terjadi.[2]
3.
Kebangkitan
Jasmani
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali, Ibn
Rusyd menyebut bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan Al-Ghazali mengenai
kehidupan manusia pada hari akhirat. Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani, tetapi dalam bukunya yang
lain, ia menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi pada
hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, menurut Ibn Rusyd, tidaklah ada
ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena
itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja,
tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Al-Ghazali berkata : “…adalah bertentangan dengan
seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani
manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spiritual dan bukan bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara
salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”
Menanggapi tudingan ini, Ibn Rusyd mencoba
menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa
tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup,
dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkapnya sebagai berikut :
“…perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang
terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja
pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya,
tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah semestinya
keadaannya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya pada saat tidur… dan
bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan yang cocok untuk
diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi
orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah
satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gamblang difirmankan tuhan, ‘Tuhan
mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan
jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.”[3]
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang
panjang dalam sejarah filsafat Islam. Akan tetapi, bila diteliti lebih dalam,
pada dasarnya, Ibn Rusyd masih “ragu” tentang keabadian jiwa. Sebagaimana
pendapatnya sebagai berikut : “…Akan halnya keberatan Al-Ghazali bahwa manusia
mengetahui jiwanya bahwa dia itu ada dalam badan jasmaninya, meskipun dia tidak
dapat merinci di bagian mana tentu saja pendapat ini adalah benar, karena
orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat tentang tempat atau
letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa adalah ada di dalam
badan jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa dia memperoleh keberadaannya
lantaran kebersamaannya dengan badan jasmani; keadaan ini bukan berarti jelas
dengan sendirinya, dan persoalan dimana para filsuf kuno dan begitu juga yang
modern berbeda pendapat, karena jika badan jasmani sebagai alat bagi keberadaan
jiwa, jiwa tidak memperoleh keberadaannya lewat badan jasmani. Akan tetapi,
jika badan serupa dengan lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadian
yang dilakukannya, jika hanya, jiwa hanya bisa ada lewat perantaraan jasmani.”
Hasil dari penelitian Oliver Leaman menunjukkan
bahwa perdebatan keduanya, pada dasarnya memiliki kelemahan masing-masing. Hal
itu terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali mengakui adanya kebangkitan rohani.
Begitu juga, Ibn Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.
Hal itu diperkuat pula oleh tulisan Abdul Azis
Dahlan, Ibn Rusyd menyatakan bahwa “semua agama mengakui adanya hidup kedua di
hari akhirat kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas
adalah, menurut Ibn Rusyd, kehidupan manusia di akhirat itu berbeda dengan
kehidupan di dunia, sesuai dengan isyarat hadits Nabi saw., “Di sana akan
dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak
pernah terlintas pada pikiran.” Kehidupan manusia di akhirat adalah lain
dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Sesuai dengan keterbatasan daya
tangkap orang awam tentang hal-hal yang abstrak, Ibn Rusyd berpendapat bahwa
bagi mereka, kehidupan manusia di akhirat lebih baik digambarkan dalam bentuk
jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani saja. Mengenai kebangkitan
pada hari akhirat, ia sendiri berpendapat bahwa yang aka nada nanti di akhirat
adalah badan yang serupa dengan yang ada di dunia dan bukan badan yang semula
di dunia karena yang sudah hancur tidak akan datang kembali.”[4]
B. Kontekstualisasi
pemikiran sang tokoh pada problematika sosial-keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu
Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan.
1.
Pluralisme dalam
Ijtihad
Ibnu Rusyd mencoba membuka kembali batas-batas
ijtihad yang selama ini dikekang. Ia mengudar artefak-artefak hukum fiqih dari
berbagai madzhab, menganalisisnya dengan berbagai model pembacaan
sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap madzhab dalam menggali
dalil-dalil yang memproduksi suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fiqih
itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah.
Dari setiap ijtihad fiqih, dua elemen penting yang
layak diperhatikan adalah obyektifitas dan pertimbangan dimensi moral etikanya.
Berijtihad brarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan karena
kebenaran tidak pernah final. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan
akal jauh lebih baik dari sekadar menerima kebenaran dengan tanpa proses apapun.
2.
Kebebasan
Berpikir dan Tradisi Kritik
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji,
menganalisis, menjabarkan, serta mengomentari filsafat Aristoteles secara
detail dan gamblang. Ia berhasil menyeimbangkang antara akal dan iman. Di
hadapan keluhuran tradisi dan keagamaan dan tradisi filsafat, pandangannya
telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam
konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan
peran aktif dalam memelihara hk manusia untuk mengkritik dan bertanya.
3.
Dialog Antar
Agama
Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi
penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama
lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan
kesalahan, maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Salah satu problem
umat beragama adalah bagaimana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam
konteks Islam, fiqih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik
secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama
lain.
Dialog antar umat agama sekarang ini senantiasa
penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya
kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi factor pemersatu sekaligus mudah
disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog muslim, Ibnu Khaldun,
mengatakan, perasaan seagama memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk
menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosia. Untuk itu, setiap pemeluk agama
perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan
mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui
dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama
lain. Karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain
adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya.
4.
Kontrol atas
Kebijakan Politik
Menurutnya,
Islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara
sejarah perebutan kekuasaan amat dasyat terjadi. Oleh karena itu, dengan
mendasarkan diri pada filsafat politik, Plato, ia menghendaki seorang pemimpin
Negara adalah juga seorang filsuf.
Membaca karya
Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafat (estetika logika dan
filsafat). Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya
dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al-Qur’an sebagai kitab teks, yang selalu
membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan
bukan artikulasi lafadz.
Menurutnya,
Islam sendiri tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al-Kitab, dalam banyak
ayatnya memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil (penafsiran)
dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal dan filsafat serta teks Al-Qur’an. Ia memaparkan, takwil yang
dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti
majasinya (analogi). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik periode awal
dan pertengahan.[5]
IV.
KESIMPULAN
Ibnu Rusyd membela filsafat pada umumnya dari
serangan dan sanggahan Al-Ghazali dalam kitabnya, beberapa permasalahan yang
diperdebatkan adalah :
1.
Ilmu Allah
bersifat kulli, bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang
di bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan
dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam kalangan
umat Islam seluruhnya.
2.
Keqadiman alam,
dalam kalangan pemikir Yunani terdapat pendirian bahwa alam ini qadim, tidak
ada awalnya seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
3.
Kebangkitan
jasmani, menurut Ibn Rusyd, tidaklah ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang
kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan
kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan
dengan alasan adanya ijma’.
Kontekstualisasi pemikiran sang tokoh pada
problematika sosial-keagamaan. Terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu
Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan yaitu
pluralisme dalam ijtihad, kebebasan berpikir dan tradisi kritik, dialog antar
agama dan kontrol atas kebijakan politik.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan,
untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : PT Bulan
Bintang, 1986
Rusyd,Ibnu, Tahafut At-Tahafut, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2004
Supriyadi,
Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), Bandung
: CV Pustaka Setia, 2013
http://philosofiaridwan.blogspot.com/2010/12/konteks-pemikiran-dan-pembaharuan-ibnu.html
diakses pada selasa 23 september 2014 pukul 11.13 WIB
Philosofiaridwan.blogspot.com Konteks Pemikiran Dan Pemaharuan Ibnu Sina
Dan Ibnu Rusyd. htm diakses
pada jum’at 26 september 2014 pukul 14.13 WIB
[1] Philosofiaridwan.blogspot.com Konteks Pemikiran dan Pemaharuan Ibnu Sina
dan Ibnu Rusyd.htm diakses pada jum’at 26 september 2014 pukul 14.13 WIB
[4] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam
(Konsep, Filsuf, dan Ajarannya), (Bandung : CV Pustaka Setia, 2013), hal.
234-236
[5] http://philosofiaridwan.blogspot.com/2010/12/konteks-pemikiran-dan-pembaharuan-ibnu.html
diakses pada selasa 23 september 2014 pukul 11.13 WIB.
1 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
Post a Comment