QIRAAT DALAM AL-QUR’AN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Qur’an
Baihaqi (133111013)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam “Ulumul
Qur’an”, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang
tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,
diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan
muamalah manusia sehari-hari. Lain halnya dengan ilmu fiqh, hadits dan tafsir
yang mana dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal
ini dikarenakan ilmu qiraat tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan
secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan
manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari,
banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qiraat ini. Yang terpenting
adalah pengenalan Al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal
sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang
ilmu ini. Pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya
juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini. Pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinga adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini.
Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaanya, ilmu ini telah berjasa dalam menggali, menjaga
dan mengajarkan berbagai cara membaca Al-Qur’an yang benar sesuai yang telah
diajarkan Rosulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan segala kemampuanya
demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah
menjadikan Al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur yang dapat merusak kemurnian Al-Qur’an. Tulisan singkat ini akan
memaparkan secara global tentang ilmu qiraat Al-Qur’an, dapat dikatakan sebagai
pengenalan awal terhadap Ilmu Qiraat Al-Qur’an.[1]
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian Qiraat Al-Qur’an ?
B. Apa Sumber Perbedaan dan Macam-macam Qiraat ?
C. Bagaimana Fungsi Qiraat dan Pengaruh dalam
Istimbat Hukum ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat Al-Quran
Secara etimologi kata qiraah berarti
bacaan dari kata قراء-يقراء-قراءة.[2]
Secara terminologi, qiraah adalah salah satu aliran dalam pelafalan atau
pengucapan Qur’an oleh seorang iman qurra’ yang berbeda-beda dengan yang
lainya. Dalam hal ucapan huruf maupun lafadznya. Secara praktis, qiraat
disandarkan kepada salah satu imam qurra’ yang tujuh, sepuluh, dan empat belas.[3]
Qiraat sebagai salah satu sistem bacaan
menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi Al-Qur’an sumber pokok
rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan
dalam bentuk lisan, diajarkan oleh nabi Muhammad SAW dalam cara yang sama,
meski tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks Al-Qur’an tersebut. Tetapi,
dalam praktik dominan metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama
hingga saat ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya, Al-Quran banyak mengalami
regam cara baca, sesuai dialek Arab yang ada pada saat itu.
B. Sumber Perbedaan Qiraat dan Macam-macam Qiraat
Diantara sebab-sebab yang melatarbelakangi perbeberapa qiraat adalah :
1. Perbedaan Qiraat Nabi. Artinya dalam mengajarkan
Al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi Qiraat.
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai Qiraat
yang berlaku dikalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini mengaku dialek
diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi
menyangkut berbagai versi qiraat yang ada.
4.
Adanya Lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa
turunya Al-Qur’an.[4]
5.
Macam-macam Qiraat :
1.
Dari Segi Kuantitas
a.
Qiraah Sab’ah (Qiraat Tujuh)
Maksud Sab’ah adalah qiraat yang berjumlah tujuh, mereka adalah :
1) Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari
Makkah. Ad-Dari berasal dari generasi At-Tabi’in. Qiraat yang ia riwayatkan
diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
2) Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169
H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qiraat dari 70 orang Tabi’in.
3) Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan
Abu Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qiraat dari
Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi.
4) Abu Amar (wafat 154 H) dari Basrah, Irak. Ia
meriwayatkan qiraat dari Mujahid bin Jabr.
5) Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’kub
belajar qiraat dari Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qiraat dari
‘Ashim dan Abu Amar.
6) Hamzah (wafat 188 H), ia belajar qiraat dari
Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi,
dari Utsman bin Affan, ‘Ali bin Thalib bin Mas’ud.
7) Ashim (wafat 127 H), ia belajar qiraat dari
Dzar bin Hubasyi dan Abdullah bin Mas’ud.
b.
Qiraah Asyarah (Qiraat Sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan
diatas ditambah tiga qiraat berikut :
1) Abu Ja’far, memperoleh qiraat dari Abdullah
bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairoh. Mereka bertiga memperoleh
dari Ubay bin Ka’ba, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
2) Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin
Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qiraat dari banyak orang yang
sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung
dari Razulullah SAW.
3) Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab
Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qiraat dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.
c.
Qiraah Arba’at Asyarah (Qiraat Empat Belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh diatas ditambah
dengan empat qiraat dibawah ini :
1) Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah
seorang Tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
2) Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia
adalah guru Abi ‘Amr.
3) Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi
(wafat 202 H). Ia mengambil qiraat dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4)
Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).[5]
2.
Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian A-Jazari, berdasarkan kualitasnya,
qiraat dapat dikelompokan dalam enam bagian :
a. Qiraat Mutawattir
Yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad,
yang tidak mungkin bersepakat untuk membuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada
masuk kedalam bagian ini.
b. Qiraat Mansyur
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas
Mutawattir, sesuai kaidah Bahasa Arab dan tulisan Mushaf Ustmani, Mansyur
dikalangan qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari
dan tidak termasuk qiraat yang keliru dan menyimpang.
c. Qiraat Ahad
Yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Ustmani, kaidah
Bahasa Arab dan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d. Qiraat Syadz (menyimpang)
Yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk
jenis qiraat ini.
e. Qiraat Maudhu’ (palsu)
Seperti qiraat Al-Khazzani dan Ash-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang
keenam.
f. Qiraat yang menyerupai Hadits Mudraj (sisipan)
Yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan
penafsiran.[6]
C. Fungsi Qiraat dan pengaruh dalam Istimbat
Hukum
Perbedaan-perbedaan qiraat terkadang
berpengaruh juga dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat
memperlihatkan pengaruh itu :
1.
Surat Al-Baqarah : 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء
فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid
adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada
waktu haid dan jangan kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah bersuci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah : 222)
Berkaitan dengan ayat diatas, diantara imam qiraat tujuh,
yaitu Abu Bakar Syu’bah (qiraat ;Ashim riwayat Syu’bah), Hamzah dan Al-Kisa’i
membaca kata “yuthhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan
ha. Maka bunyinya menjadi “yuthtahhirna”. Berdasarkan perbedaan
diatas qiraat ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya
perbedaan qiraat. Ulama yang membaca “yuthhurna” berpendapat bahwa
seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid,
kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara
yang membaca “yuthtahhirna” menafsirkan
bahwa seorang suami tidak boleh berhubungan seksual dengan istrinya, kecuali
telah bersih.
2. Surat An-Nisa : 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ
سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ
عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ
النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوًّا
غَفُورًا
“Dan
jika sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air kecil
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa:43)
Berkaitan dengan ayat ini, Imam
Hamzah dan Al-Kisa’i memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”,
sementara imam-imam lainnya memanjangkan. Bertolak dari perbedaan qira’at
ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh,
bersentuh, dan saling bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qira’at itu
pula, para ulama fiqih ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan
perempuan itu membatalkan wudhu. Namun, ada yang berpendapat bahwa bersentuhan
itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau berhubungan badan.
3. Surat Al-Maidah : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ
بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ
مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ
مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ
حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’,
ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulukum”, sementara
imam-imam yang lain membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulukum”,
mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan
dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Ulama
Syi’ah Imamiyah berpegang pada bacaan “arjulikum” sehingga mereka
mewajibkan menyapu kedua kaki dalam wudhu’. Pendapat yang sama diriwayatkan
juga dari Ibn ‘Abbas dan Anas Malik.[7]
IV. KESIMPULAN
Qira’at adalah salah satu aliran
dalam pelafalan atau pengucapan Al-Qur’an oleh sala seorang imam qurra’ yang
berbeda dengan yang lainnya. Qira’at dibagi dalam beberapa macam yang dibagi
dalam segi kualitas dan kuantitas. Ada beberapa perbedaan didalam Qira’atul
Qur’an, karena berbedanya sumber-sumber dari para mujtahid. Namun bacaan yang
paling tepat yaitu bacaannya Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber
Qira’atul Qur’an.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat.
Kami menyadari didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada
segi penulisan maupun minimnya buku referensi. Untuk itu, pemakalah
mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005.
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta
: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Zulfikar Akaha, Abduh, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Anwar, Rosihan, Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia.
Marzuki, Kamaludin, Ulumul Al-Qur’an, Bandung:
Rosdakarya.
[1]M. M. Al
A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), hlm
73.
[2]Muhammad Chirzin,
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998),
hlm 85.
[3]Abduh
Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’ah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
1996), hlm 194.
[4]Rosihan
Anwar, Ulumul Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia), hlm 148-149.
[5]Kamaludin
Marzuki, Ulumul Al-Qur’an, (Bandung : Rosdakarya), hlm 104-105.
[6]Rosihan Anwar, Ulumul Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia), hlm
151-154.
[7]Ibid, hlm 157-159.
4 komentar:
mana nama imam kisai?
Izin share mas
Alhamdulillaah, manfaat. Jazaakallah khair.
Artikel bagus...terimakasih
Post a Comment