DEMOKRASI
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen pengampu : Muhammad Hasyim, M.Ag
Diedit
oleh:
Baihaqi (133111013)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Apa makna demokrasi
yang sebenarnya? Sekalipun hampir setiap orang mengatakan kata demokrasi,
khususnya setelah lahirnya era reformasi, kata ini masih banyak disalahartikan.
Sejak lengsernya Orde Baru di tahun 1998, demokrasi menjadi kata umum bagi
siapa saja yang hendak menyatakan pendapat. Dari kalangan cendekiawan hingga
pedagang asongan menggunakan demokrasi dengan tujuannya masing-masing. Berbeda
dengan masa lalu, demokrasi kini sudah menjadi milik semua orang dengan
pemahaman yang berbeda. Seperti halnya agama, demokrasi banyak digunakan dan
diungkapkan dalam perbincangan sehari-hari tapi banyak juga disalahpahami.
Agama yang seharusnya menjadi penyebar kasih sayang
dan sumber keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu telah disalahartikan
oleh sebagian kelompok dengan sikap dan tindakan anarkis maupun sikap merasa
pandangan dan perilakunya paling benar dan paling sempurna. Jika agama memiliki
kecenderungan untuk dimanipulasi dan disalahpahami oleh sebagian orang dan
kelompok beragama, demikian pula terjadi pada demokrasi.[1] Ia
masih banyak disalahpahami oleh sebagian masyarakat Indonesia. Untuk itu, kami mengangkat
judul Demokrasi dengan tujuan membuka pandangan semua kalangan tentang
demokrasi dan kaitannya demokrasi dan islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
arti dan makna demokrasi ?
B. Bagaimana
sejarahnya demokrasi itu ?
C. Bagaimana demokrasi dapat dijadikan sebagai pandangan
hidup?
D. Apa
wacana Islam terhadap demokrasi ?
III.
PEMBAHASAN
A. Arti
dan makna Demokrasi
Demokrasi
berasal dari kata Yunani demos dan kratos. Demos artinya
rakyat, kratos berarti pemerintahan.[2] Jadi,
demokrasi, artinya pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya
memegang peranan yang sangat menentukan.
Sedangkan
pengertian demokrasi secara terminologi adalah seperti yang dinyatakan oleh para ahli
sebagai berikut:
a. Joseph
A. Schmeter mengatakan demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional
untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan
untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat
b. Sidney
Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa
c. Henry
B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.
Dari
beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebagai suatu sistem bermasyarakat
dan bernegara hakikat demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial
politik. Dengan kata lain, sebagai
pemerintahan di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal antara lain
pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk
rakyat. [3]Tiga
faktor ini merupakan tolok ukur umum dari suatu pemerintahan yang demokratis.
Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang
sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas
rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan
rakyat bagi suatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi
politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan
program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat
kepadanya.
Kedua,
pemerintahan oleh rakyat memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan
menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elit
negara atau elit birokrasi. Selain itu juga mempunyai pengertian bahwa dalam
menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam penguasaan rakyat .
Pengawasan dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui
para wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil rakyat di
parlemen ambisi otoritarianisme dari para penyelenggara negara dapat dihindari.
Ketiga,
pemerintah untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah
pemerintahan yang demokratis.
B. Sejarah
Demokrasi
Konsep
demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan, negara dan hukum , yang dipraktekkan antara
abad ke-6 SM samapai abad ke-4 M. Demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu
berbentuk demokrasi langsung yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur
mayoritas.[4]
Demokrasi
Yunani kuno berakhir pada abad pertengahan. Pada masa ini masyarakat Yunani
berubah menjadi masyarakat feudal dimana kehidupan keagamaan terpusat pada Paus
dan pejabat agama dengan kehiduan politik ditandai oleh perebutan kekuasaan
dikalangan para bangsawan.
Demokrasi
tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir abad pertengahan, ditandai oleh
lahirnya Magna Charta(Piagam Besar). Magna Charta adalah suatu paham
yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John Inggris. Dalam Magna
Charta ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus
bawahannya. Terdapat dua hal yang sangat mendasar pada piagam ini: pertama,
adanya pembatasan kekuasaan raja, kedua, hak asasi manusia lebih penting
daripada kedaulatan raja.
Momentum
lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan pencerahan
dan reformasi. Menurut sebagian ahli, salah satunya sejarawan Philip K. Hitti,
menyatakan bahwa gerakan pencerahan di Barat merupakan buah dari kontrak Eropa
dengan dunia islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban
dan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Islam pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ibnu
Khaldun, Al-Razi, Al-Kindi, Umar Khayam, Al-Khawarizmi tidak saja berhasil
mengembangkan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan Yunani kuno, melainkan
berhasil pula menjadikan temuan mereka sesuai dengan alam pikiran Yunani.
Pemuliaan ilmuwan muslim terhadap kemampuan akal ternyata telah berpengaruh
pada bangkitnya kembali tuntutan demokrasi di masyarakat barat. Dengan ungkapan
lain, rasionalitas Islam mempunyai sumbangsih tidak sedikit terhadap kemunculan
kembali tradisi berdemokrasi di Yunani.
Gerakan reformasi
merupakan penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi di Barat, setelah sempat
tenggelam pada abad pertengahan ke-16. Tujuan dari gerakan ini merupakan
gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja. Selanjutnya gerakan reformasi
dikenal dengan gerakan Protestanisme. Gerakan ini dimotori oleh Martin Luther
yang menyerukan kebebasan berpikir dan bertindak.
C.
Demokrasi Sebagai
Pandangan Hidup
Demokrasi tidak akan datang, tumbuh berkembang dengan
sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu
demokrasi memerlukan usaha nyata setiap warga dan perangkat pendukungnya yaitu
budaya kondusif sebagai manifestasi dari suatu mind set dan setting
social. Bentuk kongkrit manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi
sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk sendi kehidupan
bernegara baik oleh rakyat maupun pemerintah.
Menurut Nurcholis Madjid pandangan hidup demokratis
paling tidak mencakup tujuh norma, yaitu :
1.
Pentingnya
kesadaran akan pluralisme
2.
Musyawarah
3.
Pertimbangan moral
4.
Pemufakatan yang
jujur dan sehat
5.
Pemenuhan segi-segi
ekonomi
6.
Kerjasama
antar-warga masyarakat dan sikap mempercayai i’tikad baik masing-masing
7.
Pandangan hidup
demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan.[5]
D. Islam
dan Demokrasi
Di
tengah proses demokratisasi global, banyak kalangan ahli demokrasi, dintaranya
Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset, menyimpulkan bahwa dunia
islam tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai
pengalaman demokrasi yang cukup handal. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel
P. Huntington yang meragukan ajaran islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Karena alasan inilah dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari proses
demokratisasi dunia. Dengan nada sinis pemikir muslim kelahiran Sudan,
Abdelwahab Efendi pernah berucap, “Angin demokratisasi memang berhembus ke
seluruh penjuru dunia, namun tak ada satupun daun yang dihembusnya sampai ke
dunia Muslim”[6]. Dengan demikian terdapat pesimisme berkaitan pertumbuhan
dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
Kendati wacana demokrasi dan Islam mengalami pro-kontra,
namun tetap saja menarik untuk diperbincangkan semua lapisan. Pakar demokrasi,
John L Esposito dan John O Voll dalam tulisannya berjudul Islam and Democracy,
mempertanyakan apakah antara Islam dan Demokrasi dapat disandingkan? Pertanyaan
ini, sering dihadapkan kepada dunia Islam. Demokrasi dalam Islam indentik
dengan ketabuan. Islam hanya memberikan kebebasan dengan musyawarah atau
mufakat.[7]
Menurut
Ahmad S. Mousalli, pakar ilmu politik Universitas Amerika di Beirut, ulama
Islam baik klasik, pertengahan maupun modern, memiliki pandangan yang sepadan dengan
perkembangan pemikiran barat tentang demokrasi, pluralisme dan HAM. Menurutnya,
ketika spirit Enlightment dengan doktrin hukum alamnya telah menginspirasikan
lahirnya konsep-konsep
Barat tentang Demokrasi, Pluralism, dan HAM, akibat pengaruh yang sama kalangan
ulama muslim menjadikan
doktrin-doktrin tersebut di bawah sinaran otoritas teks yang berasal dari
Al-Qur’an dan Sunnah Muhammad SAW.
Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L.
Esposito dan James P. Piscatory secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok pemikiran.[8]
Pertama,
Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa
disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang mandiri (self-sufficient).
Hubungan keduanya bersifat saling menguntungkan secara eksklusif (mutual
exclusive). Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap
demokrasi . Dengan demikian Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda,
karena itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak untuk dijadikan sebagai acuan
dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai
agama yang kaffah (sempurna) yang tidak saja mengatur teologi dan
ibadah, meainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.
Kedua, Islam
berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural
seperti dipahami dan dipraktikkan negara-negara maju, sedangkan Islam merupakan
sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara substantif,
yakni kedaulatan ditangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari
kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian demokrasi adalah konsep yang sejalan
dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi
itu sendiri.
Ketiga,Islam
adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi
seperti dipahami dan dipraktikkan negara-negara maju. Di Indonesia, pandangan
yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian
integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya.
Penerimaan negara-negara muslim terhadap demokrasi tidak
berarti bahwa demokrasi dapat tumbuh berkembang di negara muslim secara
otomatis dan cepat. Ada beberapa alasan teoritis tentang lambannya pertumbuhan
dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
1.
Pemahaman doktrinal
menghambat praktik demokrasi.
2.
Persoalan kultur.
3.
Lambannya
pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan teologi maupun
kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri.[9]
DAFTAR PUSTAKA
A.Ubaedillah, Abdul
Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rosyada, Dede, A. Ubaidillah,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Syarbaini, Syahrial, dkk., Membangun Karakter dan Kepribadian
melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta:Graha Ilmu,2006.
Ubaedillah, Demokrasi,Hak Asai
Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
[1] Ubaedillah,Demokrasi,Hak
Asai Manusia dan Masyarakat Madani,(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,2003),hlm.130
[2]Syahrial
Syarbaini,dkk,Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan
Kewarganegaraan,(Yogyakarta:Graha Ilmu,2006),hlm.112
[3] Ubaedillah,Demokrasi,Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta),hlm.131
[4]
Ubaedillah,Demokrasi,Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,(Jakarta:ICCE UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta),hlm.138
[5] Dede
Rosyada, A.Ubaidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani,
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hlm 113
[6]
A.Ubaedillah, Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hlm 157
[7]http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2013/04/16/23782/islam_dan_demokrasi/#.UnYxLnBA3jc (diakses
pada 3 November 2013 pukul 18:19)
[8] Dede
Rosyada, A.Ubaidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani,
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hlm 142
[9] Dede
Rosyada, A.Ubaidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani,
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hlm 143
0 komentar:
Post a Comment