SUMBER PRIMER HUKUM
ISLAM
Makalah Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Ushul Fikih
Yang Diampu
Oleh: Lutfiyah, S.Ag, M.Si.
Disusun
Oleh,
Baihaqi An Nizar (133111013)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
WALISONGO
SEMARANG
2014
SUMBER PRIMER HUKUM ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan
batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajaran-Nya. Jumhur ulama telah sepakat al-Qur’an,
as-Sunnah merupakan sumber hukum yang sekunder dalam Islam.[1]
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sedangkan
as-Sunnah merupakan semua perbuatan,perkataan, ataupun ketetapan Nabi Muhammad
saw.
Al-Qur’an mempunyai kedudukan, dan fungsi yang sangat
penting bagi umat Islam itu sendiri. Begitu juga dengan As-Sunnah. Sebagai
sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, As-Sunnah juga memiliki kedudukan dan
fungsi yang sangat penting bagi umat Islam. Oleh karena itu pada makalah ini
akan dibahas mengenai relasi antar keduanya.
Sedangkan hubungannya
dengan ushul fiqih sangat erat dalam menentukan dasar untuk menentukan hukum
Islam. Maka apabila terjadi suatu peristiwa atau permasalahan, sumber hukum
yang pertama kali digunakan adalah al-Qur’an. Jika hukum yang berkenanaan
dengan peristiwa tersebut terdapat dalam al-Qur’an, maka hukum itu harus
dilaksanakan. Namun jika hukumnya tidak ditemukan di dalamnya, maka mencari
hukumnya dalam as-Sunah, jika ditemukan dalam Sunah, maka hukum tersebut harus
dilaksanakan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian, kedudukan dan
fungsi al-Qur’an ?
B.
Apa pengertian, edudukan dan
fungsi al-Sunnah ?
C.
Bagaimanakah relasi antara al-Qur’an
dengan as-Sunah ?
III.
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an
1. Pengertian al-Qur’an
Secara etimologis al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara qara’a (قرأ) sewazan dengan kata fu’laan (فعلان ), artinya; bacaan, berbicara tentang apa
yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء,
yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ.
Selain itu kata qara’a juga berarti menghimpun atau
mengumpulkan.[2]
Menurut istilah, Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada
Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui
perantara malaikat jibril,[3] diawali
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para
ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan
bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah.
Adapun pengertian Al-Qura’an menurut para ahli, yaitu :
a. Menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
b. Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam mushhaf, dan dinukilkan secara
mutawatir.
c. Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah, kitab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.
d. Menurut Al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah, kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang
masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
e. Ibnu Subki mendefenisikan Al-Qur’an sebagai lafaz yang diturunkan kepada
nabi Muhammad saw., mengandung mu’jizat setiap suratnya, dan yang membacanya
adalah ibadah.[4]
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan Al-Qur’an adalah
sebuah kitab atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan
lafaz arabi yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan yang membacanya
adalah ibadah.
2. Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama
dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih.
Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum
yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi
penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan
penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan apabila
menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur’an.
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh
menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan
manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
3. Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., untuk disampaikan
kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususunya umat
mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapatmmendatangkan
manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari
kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Beberapa bentuk ungakapan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan fungsi
turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia adalah:
a. Sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat.
b. Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih
sayangnya.
c. Sebagai furqon yaitu pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang halal
dan yang haram, yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan.
d. Sebagai mau’idhoh atau pengajaran yang akan mengajar dan membimning umat
dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Sebagai Busyra yaitu berita gembira bagi orang yang telahberbuat baik
kepada Allah dan sesama manusia.
f. Sebagai “Tibyan” atau “mubin” yang berarti penjelasan atau menjelaskan
terhadap segala sesuatu yang disampaikan oleh Allah.
g. Sebagai Mushoddiq atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya
(taurat, zabur, dan injil), ini berarti bahwa Al-Qur’an memberikan pengakuan
terhadap kebenaran ketiganya yang berasal dari Allah.
h. Sebagai Nur atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam
menempuh jalan menuju keselamatan.
i.
Sebagai Tafsil yaitu
memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksakan sesuai dengan yang
dikehendaki Allah.
j.
Sebagai
Syifa’ual-shudur atau obat bagi rohani yang sakit.
k. Sebagai Hakim yaitu sumber kebijaksanaan.
B.
As-Sunnah
1. Pengertian As-Sunnah
Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis berarti cara yang biasa
dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunan kata sunnah
dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam
beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”.
Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 137 :
ôs%
ôMn=yz
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
×ûsöß
(#rçÅ¡sù
Îû
ÇÚöF{$#
(#rãÝàR$$sù
y#øx.
tb%x.
èpt6É)»tã
tûüÎ/Éjs3ßJø9$#
“Sesungguhnya
telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Para ulama Islam mengutip kata Sunnah dari Al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka
gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman
agama”. As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini jumhur ulama
mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Qur’an, jadi
As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang
merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan
sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum
bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang
tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits, terutama karena
dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak
mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah
kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam
pengamalan agama.
Semua ulama Ahli as-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh
maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadits itu hanya
merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari
Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia
yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang
merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunnahkannya mengikat seluruh
umat Islam.
2. Kedudukan As-Sunnah
As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini jumhur ulama
mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Qur’an, jadi
As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang
merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah menurut dalil syara’ berada pada posisi kedua setelah
Al-Qur’an dalam kaitan ini Al-Syatibi dan Al-Qasimi, pada dasarnya argumentasi
mereka digolongkannya menjadi dua bagian, yaitu argumentasi rasional dan
tekstual, yaitu :
a. Al-Qur’an bersifat Qath’I al-wurud, sedangkan sunnah bersifat Zhanny al
wurud oleh karena itu yang Qhat’i harus didahulukan dari yang Zhanny.
b. As-Sunnah berfungsi sebagai penjabar atau penjelas dari Al-qur’an.
3. Fungsi As-Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa
sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah dalam bentuk garis besar
yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah.
Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyiin (menjelaskan
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an)
Ada beberapa bentuk fungsi sunnah
terhadap Al-Qur’an:
a.
Menjelaskan isi Al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
Misalnya hadits fi’liyyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan
cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam Al-Qur’an dalam hadits riwayat
Bukhari dari Bu Hurairah. Disamping itu juga sunnah Rasulullah berfungsi untuk
menakhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur’an yaotu menjelaskan bahwa yang dimaksud
oleh Allah adalah sebagian dari cakupan lafal umum itu. Contoh :
عن ابى هريىرةيقول نهى رسول الله صلى الله
علىه وسلم ان يجمع الرجل بين المرءة وعمتهاوبين المراءةوخالتها (رواه البخارى ومسلم)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw melarang
memadu antara seorang wanita dengan
bibinya saudara ayah atau ibu. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mentakhsis keumuman surat annisa: 24
sebagai berikut
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur
z`ÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
wÎ)
$tB
ôMs3n=tB
öNà6ãY»yJ÷r&
( |=»tGÏ.
«!$#
öNä3øn=tæ
4 ¨@Ïmé&ur
Nä3s9
$¨B
uä!#uur
öNà6Ï9ºs
br&
(#qäótFö6s?
Nä3Ï9ºuqøBr'Î/
tûüÏYÅÁøtC
uöxî
úüÅsÏÿ»|¡ãB
4 $yJsù
Läê÷ètGôJtGó$#
¾ÏmÎ/
£`åk÷]ÏB
£`èdqè?$t«sù
Æèduqã_é&
ZpÒÌsù
4 wur
yy$oYã_
öNä3øn=tæ
$yJÏù
OçF÷|ʺts?
¾ÏmÎ/
.`ÏB
Ï÷èt/
ÏpÒÌxÿø9$#
4 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JÎ=tã
$VJÅ3ym
ÇËÍÈ
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah mentapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
sedemikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka istri-istri yang tealah kamu campuri diantara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakan nya,sesudah mahar itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
bijaksana. (QS.annisa:24)
b.
Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang
disebutkan pokok-pokoknya didalam Al-Qur’an. Misalnya li’an, bilamana seorang
suami menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi
padahal istrinya itu tidak mengakuinya, maka jalan keluar nya adalah adalah dengan
cara li’an. Li’an adalah sumpah empat kali dari pihak suami bahwa tuduhan nya
adalah benar dan dan pada kali yang kelima ia berkata: “la’nat atau kutukan
Allah atas ku jika aku termasuk kedalam orang-orang yang berdusta”. Setetah itu
istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah yang artinya:
Dan orang-orang yang menuduh istrinya
(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang bemar. Dan (sumpah)
yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu di hindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empatt kali
atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta, dan
sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar.[5]
Sehingga dengan li’an yan dilakukan nya suami lepas dari hukuman qadzaf
(delapan puluh kali dera atas orang yang menuduh orang lain berzina tanpa
saksi) dan istri pun bebas dari tuduhan berzina itu. Namun dalam ayat tersebut
tidak dijelskan apakah hubungan suami istri antara keduanya masih lanjut atau
terputus. Sunnah Rasulullah mrnjelskan hal itu yaitu antara keduanya dipisahkan
buat selamanya (HR. Ahmad dan Abu Daud).
c.
Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Qur’an. Contohnya hadits
riwayat Annasa’i dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai keharaman
memakan binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar
sebagaimana disebutkan dalam hadits
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال كل دي ناب من السباع فاكله حرام (رواه النساء)
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda semua jenis
binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka
hukum memakan nya adalah haram. (HR. Annasa’i)
Oleh karena itu bila al-Qur’an
disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai
bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an,
ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
c.
Menguatkan dan
menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid
dan taqrir.
d.
Memberikan penjelasan
terhadap apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam hal :
-
Menjelaskan arti yang
masih samar dalam al-Qur’an,
-
Merinci apa-apa yang
dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
-
Membatasi apa-apa yang
dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
-
Memperluas maksud dari
sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
-
Menetapkan sesuatu
hukum yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. fungsi sunnah dalam
bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات)
atau “insya” (إنشاء).[6]
C.
Relasi antara al-Qur’an dengan
as-Sunnah
Adapun hubungan sunnah dengan Al-qur’an dari segi
penggunaan nya sebagai hujjah dan referensi sebagai istinbath hukum syara’maka
ia berada pada urutan setelah Al-Qur’an,
dimana seorang mujtahid dalam mengkaji suatu kasus tidak akan mengacu pada
assunnah kecuali apabila ia tidak menemukan hukum sesuatu yang ingin diketahui
hukumnya didalam Al-Qur’a, karena sebenarnya Al-Qur’an merupakan sumber pokok
dalam pembentukan hukum islam dan sumber pertamanya.
Adapun hubungan sunnah dengan Al-Qur’an dari segi
hukum yang datang didalam nya, maka sebenarnya sunnah tidak melampaui salah
satu dari tiga hal
1. Adakalanya Assunnah itu menetapkan atau
mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Jadi hukum tersebut mempunyai
dua sumber dan dua dalil yaitu
a. Dalil yang mentapkan dari ayat0ayat Alqur’an dan
b. Dalil yang mengukuhkan berupa sunnah Rasul
Diantara hukum-hukum dalam kategori ini adalah perintah untk mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji di baitullah,
larangan menyekutukan Allah dan berbagai hal yang diperintahkan maupun yang
dilarang lainnya, yang telah ditunjuki oleh Al-Quran dan dikukuhgkan oleh
sunnah Rasul saw dan dalil atas hukum itu dikemukakan dari kedua-duanya.
2. Adakalanya assunnah itu memerinci dan menafsirkan
terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap
hal-hal yang datang dalam dalam Al-Qur’an secara mutlak atau mentakhsis sesuatu
yang datang didalam nya secara umum.
3. Adakalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk
hukum yang tidak terdapat didalam Al-Qur’an. Hukum ini ditetrapkan berdasarkan
sunnah dan nash Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Diantara sunnah dalam kategori ini ialah
pengharaman mengumpulkan (mengawini) seorang wanita dan bibinya (saudara
perempuan ayahnya atau saudara perempuan ibunya), pengharaman binatang buas
yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam, an pengharaman mengenakan
kain sutera, dan memakai cincin bagi kaum laki-laki.[7]
IV.
KESIMPULAN
Sumber hukum Islam yang paling utama dan disepakati oleh
mayoritas ulama’ yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Al Qur’an adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara tawatur melalui
Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang
diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta
berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Fungsi al Qur’an adalah sebagai bukti kebenaran Nabi
Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari Allah swt.
Kedua fungsi tersebut paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri,
yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan
bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan
isyarat-isyarat ilmiahnya.
Hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan
pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Fungsi hadits secara umum,
sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan
segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan
samar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khursyid, Prinsip-Prinsip Pokok Islam, Jakarta: CV.
Rajawali, 1989.
Bakry, Nazar, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: Rajawali pers,1993.
Efendi, Satria, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2009.
Hamid, Rijal, Syamsul, Buku Pintar Agama Islam Bogor, Cahaya Salam,
2010.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo, 2001.
Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2009.
Soebahar, Erfan, Aktualisasi Hadis Nabi Di Era Teknologi Informasi,
Semarang: Rasail, 2008.
Wahhab Kallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Bina Utama,1994.
[1] http://feradesliaahyar.wordpress.com/2012/11/15/makalah-sumber-hukum-islam/. Diakses pada 29 april 2014.
[2] Manna’ Khalil al Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). hlm. 15.
[3] Syamsul Rijal Hamid, Buku
Pintar Agama Islam (Bogor:Cahaya Salam, 2010), hlm. 211.
[4]http://dheanavexon.blogspot.com/2013/10/makalah-sumber-hukum-islam-yang.html. diakses pada 29 April 2014.
[5] Al-Qur’an Surat
An-nur ayat 6-9
[6] Erfan Soebahar, Aktualisasi
Hadis Nabi Di Era Teknologi Informasi, (Semarang: Rasail, 2008), hlm.
19-21.
[7] Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Semarang: Bina Utama, 1994), hal. 46-47.
0 komentar:
Post a Comment