Sunday, March 15, 2015

Sumber Primer Hukum Islam



SUMBER PRIMER HUKUM ISLAM
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fikih
Yang Diampu Oleh: Lutfiyah, S.Ag, M.Si.


Disusun Oleh,
Baihaqi An Nizar (133111013)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
SUMBER PRIMER HUKUM ISLAM
I.            PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajaran-Nya. Jumhur ulama telah sepakat al-Qur’an, as-Sunnah merupakan sumber hukum yang sekunder dalam Islam.[1] Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sedangkan as-Sunnah merupakan semua perbuatan,perkataan, ataupun ketetapan Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an mempunyai kedudukan, dan fungsi yang sangat penting bagi umat Islam itu sendiri. Begitu juga dengan As-Sunnah. Sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, As-Sunnah juga memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi umat Islam. Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas mengenai relasi antar keduanya.
Sedangkan hubungannya dengan ushul fiqih sangat erat dalam menentukan dasar untuk menentukan hukum Islam. Maka apabila terjadi suatu peristiwa atau permasalahan, sumber hukum yang pertama kali digunakan adalah al-Qur’an. Jika hukum yang berkenanaan dengan peristiwa tersebut terdapat dalam al-Qur’an, maka hukum itu harus dilaksanakan. Namun jika hukumnya tidak ditemukan di dalamnya, maka mencari hukumnya dalam as-Sunah, jika ditemukan dalam Sunah, maka hukum tersebut harus dilaksanakan.
II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian, kedudukan dan fungsi al-Qur’an ?
B.     Apa pengertian, edudukan dan fungsi al-Sunnah ?
C.     Bagaimanakah relasi antara al-Qur’an dengan as-Sunah ?
III.      PEMBAHASAN
A.    Al-Qur’an
1.      Pengertian al-Qur’an
Secara etimologis al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kara qara’a (قرأ) sewazan dengan kata fu’laan (فعلان ), artinya; bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ. Selain itu kata qara’a juga berarti menghimpun atau mengumpulkan.[2]
Menurut istilah, Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui perantara malaikat jibril,[3] diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
Adapun pengertian Al-Qura’an menurut para ahli, yaitu :
a.    Menurut Syaltut, Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
b.    Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tertulis dalam mushhaf, dan dinukilkan secara mutawatir.
c.    Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan Abu Zahrah ialah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
d.   Menurut Al-Sarkhisi, Al-Qur’an adalah, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ditulis dalam mushhaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang masyhur dan dinulikan secara mutawatir.
e.    Ibnu Subki mendefenisikan Al-Qur’an sebagai lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., mengandung mu’jizat setiap suratnya, dan yang membacanya adalah ibadah.[4]
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan Al-Qur’an adalah sebuah kitab atau kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan lafaz arabi yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan yang membacanya adalah ibadah.
2.      Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Qur’an. Dan apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
3.      Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw., untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan mereka, khususunya umat mukminin yang percaya akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapatmmendatangkan manfaat atau keberuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menimpanya.
Beberapa bentuk ungakapan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia adalah:
a.       Sebagai hudan atau petunjuk bagi kehidupan umat.
b.      Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangnya.
c.       Sebagai furqon yaitu pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang dapat dilakukan dan yang terlarang untuk dilakukan.
d.      Sebagai mau’idhoh atau pengajaran yang akan mengajar dan membimning umat dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.       Sebagai Busyra yaitu berita gembira bagi orang yang telahberbuat baik kepada Allah dan sesama manusia.
f.       Sebagai “Tibyan” atau “mubin” yang berarti penjelasan atau menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan oleh Allah.
g.      Sebagai Mushoddiq atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya (taurat, zabur, dan injil), ini berarti bahwa Al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap kebenaran ketiganya yang berasal dari Allah.
h.      Sebagai Nur atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan.
i.        Sebagai Tafsil yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
j.        Sebagai Syifa’ual-shudur atau obat bagi rohani yang sakit.
k.      Sebagai Hakim yaitu sumber kebijaksanaan.
B.     As-Sunnah
1.      Pengertian As-Sunnah
Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 137 :
ôs% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß (#r玍šsù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$#
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Para ulama Islam mengutip kata Sunnah dari Al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama”. As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini jumhur ulama mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Qur’an, jadi As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang merupakan sumber kedua setelah Al-qur’an.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahli as-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadits itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunnahkannya mengikat seluruh umat Islam.
2.      Kedudukan As-Sunnah
As-Sunnah itu bersifat Dzanni al-warud. Dari kenyataan ini jumhur ulama mengatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Qur’an, jadi As-Sunnah adalah semua bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah menurut dalil syara’ berada pada posisi kedua setelah Al-Qur’an dalam kaitan ini Al-Syatibi dan Al-Qasimi, pada dasarnya argumentasi mereka digolongkannya menjadi dua bagian, yaitu argumentasi rasional dan tekstual, yaitu :
a.       Al-Qur’an bersifat Qath’I al-wurud, sedangkan sunnah bersifat Zhanny al wurud oleh karena itu yang Qhat’i harus didahulukan dari yang Zhanny.
b.      As-Sunnah berfungsi sebagai penjabar atau penjelas dari Al-qur’an.
3.      Fungsi As-Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah sebagai bayan (penjelasan) atau tabyiin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an)
Ada beberapa bentuk fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an:
a.       Menjelaskan isi Al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global. Misalnya hadits fi’liyyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam Al-Qur’an dalam hadits riwayat Bukhari dari Bu Hurairah. Disamping itu juga sunnah Rasulullah berfungsi untuk menakhsis ayat-ayat umum dalam Al-Qur’an yaotu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari cakupan lafal umum itu. Contoh :
عن ابى هريىرةيقول نهى رسول الله صلى الله علىه وسلم ان يجمع الرجل بين المرءة وعمتهاوبين المراءةوخالتها (رواه البخارى ومسلم)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw melarang memadu  antara seorang wanita dengan bibinya saudara ayah atau ibu. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut mentakhsis keumuman surat annisa: 24 sebagai berikut
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ  
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah mentapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang sedemikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang tealah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakan nya,sesudah mahar itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. (QS.annisa:24)
b.      Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya didalam Al-Qur’an. Misalnya li’an, bilamana seorang suami menuduh istrinya berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi padahal istrinya itu tidak mengakuinya, maka jalan keluar nya adalah adalah dengan cara li’an. Li’an adalah sumpah empat kali dari pihak suami bahwa tuduhan nya adalah benar dan dan pada kali yang kelima ia berkata: “la’nat atau kutukan Allah atas ku jika aku termasuk kedalam orang-orang yang berdusta”. Setetah itu istri pula mengadakan lima kali sumpah membantah tuduhan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yang artinya:
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang bemar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu di hindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empatt kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta, dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.[5]
Sehingga dengan li’an yan dilakukan nya suami lepas dari hukuman qadzaf (delapan puluh kali dera atas orang yang menuduh orang lain berzina tanpa saksi) dan istri pun bebas dari tuduhan berzina itu. Namun dalam ayat tersebut tidak dijelskan apakah hubungan suami istri antara keduanya masih lanjut atau terputus. Sunnah Rasulullah mrnjelskan hal itu yaitu antara keduanya dipisahkan buat selamanya (HR. Ahmad dan Abu Daud).
c.       Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Qur’an. Contohnya hadits riwayat Annasa’i dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai keharaman memakan binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar sebagaimana disebutkan dalam hadits
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال كل دي ناب من السباع فاكله حرام (رواه النساء)
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda semua jenis binatang buruan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum memakan nya adalah haram. (HR. Annasa’i)
 Oleh karena itu bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
c.       Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir.
d.      Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam hal :
-          Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an,
-          Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
-          Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
-          Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
-          Menetapkan sesuatu hukum yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. fungsi sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات) atau “insya” (إنشاء).[6]
C.    Relasi antara al-Qur’an dengan as-Sunnah
Adapun hubungan sunnah dengan Al-qur’an dari segi penggunaan nya sebagai hujjah dan referensi sebagai istinbath hukum syara’maka ia berada pada  urutan setelah Al-Qur’an, dimana seorang mujtahid dalam mengkaji suatu kasus tidak akan mengacu pada assunnah kecuali apabila ia tidak menemukan hukum sesuatu yang ingin diketahui hukumnya didalam Al-Qur’a, karena sebenarnya Al-Qur’an merupakan sumber pokok dalam pembentukan hukum islam dan sumber pertamanya.
Adapun hubungan sunnah dengan Al-Qur’an dari segi hukum yang datang didalam nya, maka sebenarnya sunnah tidak melampaui salah satu dari tiga hal
1.      Adakalanya Assunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Jadi hukum tersebut mempunyai dua sumber dan dua dalil yaitu
a.       Dalil yang mentapkan dari ayat0ayat Alqur’an dan
b.      Dalil yang mengukuhkan berupa sunnah Rasul
Diantara hukum-hukum dalam kategori ini adalah perintah untk mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, melaksanakan haji di baitullah, larangan menyekutukan Allah dan berbagai hal yang diperintahkan maupun yang dilarang lainnya, yang telah ditunjuki oleh Al-Quran dan dikukuhgkan oleh sunnah Rasul saw dan dalil atas hukum itu dikemukakan dari kedua-duanya.
2.      Adakalanya assunnah itu memerinci dan menafsirkan terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam dalam Al-Qur’an secara mutlak atau mentakhsis sesuatu yang  datang didalam nya secara umum.
3.      Adakalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat didalam Al-Qur’an. Hukum ini ditetrapkan berdasarkan sunnah dan nash Al-Qur’an tidak menunjukinya.
Diantara sunnah dalam kategori ini ialah pengharaman mengumpulkan (mengawini) seorang wanita dan bibinya (saudara perempuan ayahnya atau saudara perempuan ibunya), pengharaman binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam, an pengharaman mengenakan kain sutera, dan memakai cincin bagi kaum laki-laki.[7]
IV.      KESIMPULAN
Sumber hukum Islam yang paling utama dan disepakati oleh mayoritas ulama’ yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara tawatur  melalui Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan petunjuk hidup seluruh manusia yang diawali dengan surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Ikhlash serta berpahala bagi yang membaca atau yang mendengar bacaannya. Fungsi al Qur’an adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. dan bukti bahwa semua ayatnya benar-benar dari  Allah swt. Kedua fungsi tersebut paling tidak ada dua aspek dalam al Qur’an itu sendiri, yaitu isi dan kandungannya yang sangat lengkap san sempurna, keindahan bahasanya dan ketelitian redaksinya, kebenaran berita-berita gaibnya, dan isyarat-isyarat ilmiahnya.
Hadits atau sunah dalam ilmu ushul fiqh adalah segala sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw. baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’. Fungsi hadits secara umum, sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al Qur’an adalah menguraikan segala sesuatu yang disampaikan dalam al Qur’an yang masih global, singkat, dan samar.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khursyid, Prinsip-Prinsip Pokok Islam, Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Bakry, Nazar, fiqh dan ushul fiqh, Jakarta: Rajawali pers,1993.
Efendi, Satria, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Hamid, Rijal, Syamsul, Buku Pintar Agama Islam Bogor, Cahaya Salam, 2010.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Grafindo, 2001.
Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009.
Soebahar, Erfan, Aktualisasi Hadis Nabi Di Era Teknologi Informasi, Semarang: Rasail, 2008.
Wahhab Kallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Bina Utama,1994.




[2] Manna’ Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). hlm. 15.
[3] Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam (Bogor:Cahaya Salam, 2010), hlm. 211.
[5] Al-Qur’an Surat An-nur ayat 6-9

[6] Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadis Nabi Di Era Teknologi Informasi, (Semarang: Rasail, 2008), hlm. 19-21.
[7] Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Bina Utama, 1994), hal. 46-47.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More