Sunday, March 15, 2015

Dinamika Pemikiran dalam Islam



DINAMIKA PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Makalah Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Aang Kunaepi, M.Pd

Disusun Oleh;
Baihaqi   (133111013)
M.Ainur Rofiq   (133111034)
Lisa Dwi Nurul Aini    (133111035)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.     PENDAHULUAN
Kemajuan suatu peradaban dalam sejarah umat manusia tidak mungkin terwujud apabila peradaban tersebut menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan peradaban yang lain. Hadirnya Islam sebagai sebuah peradaban yang unggul pada masa jayanya, juga diyakini merupakan buah dari keterbukaan Islam untuk menerima berbagai peradaban lain yang ada di luar Islam dan kemudian menyelaraskan diri dengan ajaran Islam. Kemajuan Islam sebagai sebuah peradaban telah diwarnai oleh dinamika pemikiran yang sangat dinamis yang tumbuh dan berkembang menyertai kehadiran Islam. Pemikiran Islam sendiri sangatlah plural dengan disiplin keilmuan yang sangat beragam. Semuanya mendapatkan tempat sebagai mulia dan strategis dalam Islam yang memperkaya khazanah keislaman.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pemikiran Islam masih murni. Pemikiran kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya, pada fase ini pun masih murni. Hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, jadi tidak ada pertentangan. Karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada Rasulullah SAW. Sehingga Nabi Muhammad SAW menjadi sentral ilmu pengetahuan.[1] Dalam perkembangannya proses ijtihad semakin dibutuhkan. Seiring dengan banyaknya mujtahid, maka produk yang dihasilkannya pun sangat beragam. Hal inilah yang menjadi proes ekspansi dalam pemikiran Islam, sehingga Islam akan terlihat elegan disetiap waktu dan dimanapun berada.
II.     RUMUSAN MASALAH.
1.    Bagaimana Perkembangan Awal Pemikiran Islam?         
2.    Bagaimana Variasi Pemikiran Islam dalam Bidang Kalam (Teologi), Bidang Fiqh, Bidang Filsafat dan Bidang Tasawuf?
III.      PEMBAHASAN
1.    Perkembangan Awal Pemikiran Islam
Proses pembentukan pemikiran diawali dengan berbagai peritiwa yang terjadi. diantaranya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya. Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang terjadi asimilasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam.
Pertama, akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang Shiffin (antara Ali dan Muawiyah) dan perang Jamal (antara Ali dan Aisyah). Adanya kasus perang ini menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarij. Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir.
Menetapkan Ali sebagai kafir sangat ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut Syi’ah, sehingga terjadilah pertentangan hebat antara sesama muslim. Dalam setiap kemelut yang tidak menyenangkan itu, muncul sekelompok muslim yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dengan selisih pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya, namun dalam pada itu sempat pula mereka mengeluarkan fatwanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nashnya, ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka itu kelompok Murji’ah.
Kedua, akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke Sudan, Ethiopia dan seterusnya. Ke Timur sampai India dan seterusnya, sedangkan ke Utara sampai ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya berdampak pada penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang ditaklukkan.
Salah satu budaya atau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi oleh Islam adalah tradisi Yunani yang bersifat spekulatif. Perembesan budaya ini disamping karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari tradisi Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.
Ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi lebih luas. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan.
Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, di samping itu tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al-Qur’an yang baik secara langsung maupun tidak, mendesak manusia untuk berpikir, merenung atau bernalar.
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mencatat bahwa kunci dari maraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir para ulama’. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupun teks keagamaan. Konsentrasi para ulama dalam ranah pengetahuan keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat adil serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di dunia. Dari itu semua, pemikiran Islam telah menjadi gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
2.    Variasi Pemikiran Islam
Keberadaan dan perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pusaran ilmu itu ialah al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain, seperti Yunani, Persia, India, dan lain sebagainya. Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-interaksi tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan dinamika beberapa varian pemikiran Islam, yang merupakan khazanah Islam yang senantiasa harus terus dipelihara dan dijaga keberadaannya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan yang menyertai perputaran dunia ini. 
a.    Bidang Kalam (Teologi)
Kalam secara harfiah berarti pembicaraan. Istilah ini merujuk pada sistem pemikiran spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari ancaman maupun tantangan dari luar. Para pendukungnya, mutakallimun, adalah orang-orang yang menjadikan dogma atau persoalan-persoalan teologis kontroversial sebagai topik diskusi dan wacana dialetika, dengan menawarkan bukti-bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.
Definisi di atas nampaknya mengamini paparan Ibn Khaldun, yang menyatakan bahwa teologi atau kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin ortodoks. Para ulama sepakat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam. Ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah laku bertauhid, yang apabila ada suatu masalah, bisa langsung ditanyakan kepada Nabi.
Isu pertama yang berakibat langsung pada keretakan masyarakat Muslim sesaat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. adalah perkara keabsahan pengganti Nabi SAW. atau khalifah. Setelah khalifah Utsman ibn ‘Affan terbunuh pada 656, isu pengganti Nabi SAW. ini semakin mengemuka. Puncaknya, bentrokan antara pendukung ‘Al ibn Thalib yang juga menantu nabi SAW. dan Mu’awiyah sebagai kerabat khalifah yang terbunuh dan Gubernur Damaskus tak bisa dielakkan.
Sebagian umat Islam telah berani membuat analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut, apakah si pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ saja, tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si pembunuh itu, apakah manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini yang mungkin menjadi cikal bakal tumbuhnya paham Jabariah dan Qadariah.
Perselisihan umat Islam tersebut di atas terus berlanjut, hingga berpuncak pada peristiwa arbitrase, yaitu upaya penyelesaian sengketa antara Ala bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada perang Shiffin dan perselisihan Ali ibn Abi Thalib dengan Aisyah pada perang Jamal. Peristiwa-peristiwa ini cukup banyak andilnya dalam melahirkan aliran atau mazhab dalam ilmu kalam.
Dalam perang Shiffin terjadi perdamaian atau tahkim antara pihak Ali dan Mu’awiyah, akan tetapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut Ali ibn Abi Thalib. Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang dalam perkembangan selanjutnya mereka itu disebut Khawarij. Kelompok Khawarij berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui apalagi melaksanakannya dihukumkan berdosa besar dan setiap orang yang berdosa besar meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir. Salah satu alasan mereka karena ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Penentuan seseorang kafir atau tidak kafir bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir adalah orang yang tidak percaya, lawannya mu’min artinya orang yang percaya. Kedua istilah ini dalam al-Qur’an biasanya berlawanan. Kata kafir yang ditujuan pada golongan di luar Islam, Oleh Khawarij dipergunakan dengan makna yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam Islam sendiri.
Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji’ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah ibn Saba’ dan orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib. Mereka ini dikemudian hari dikenal dengan Syi’ah.
Persoalan dosa besar antara Khawarij dan Murji’ah itu masih berlanjut sampai pada masa Hasan Basri (642-728 M). Pada suatu hari Hasan Basri sedang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, datanglah seorang menanyakan tentang dosa besar yang dipertentangkan di atas, apakah membawa kekafiran atau tidak.
Sementara Hasan Basri merenungkan jawabannya, maka berdirilah salah seorang muridnya yang bernama Wasil ibn Atho’ seraya berkata “menurut saya orang itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tempatnya manzila bainal manzilatain dan orang itu disebut fasik”. Setelah berkata demikian, ia keluar dari kelompok belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada didekatnya tentang apa yang diucapkannya itu. Memperhatikan keadaan Wasil ibn Atho tersebut, Hasan Basri berucap “ I’tazala ‘anni telah keluar Wasil ibn Atho dari kita”. Sejak itu Wasil ibn Atho dan para pengikutnya disebut dengan Muktazilah dan akhirnya menjadi mazhab mu’tazilah.
Perselisihan masalah akidah di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah Makmun yang menetapkan bahwa paham Mu’tzilah sebagai paham resmi dari kekhalifahan dan rakyat harus mengikutinya. Pada masa ini, seorang yang berkecimpung dalam paham Mu’tazilah 40 tahun lamanya ingin menjembatani paham-paham yang saling bertentangan itu. Orang itu adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan selanjutnya dibantu oleh Imam Maturidi. Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham  Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Selain faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada paham teologi,  yaitu berkaitan dengan pemahaman ayat al-Qur’an, ialah kadar pengetahuan dan penghayatan umat Islam terhadap nash-nash agama, yang kelihatannya ada beberapa ayat yang tidak sejalan, sehingga terjadilah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang berbeda antara ulama yang satu dengan yang lainnya. 
b.    Bidang Fikih
Pada masa Nabi, segala persoalan yang muncul pada saat itu dikembalikan kepada-Nya, beliaulah yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Ketentuan hukum yang dibuat Nabi itu sendiri bersumber pada wahyu dari Tuhan. Pada masa Sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana, diperbandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Dengan demikian, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul didaerah-daerah baru itu lebih sulit penyelesaiannya dari persoalan yang timbul di masyarakat Semenanjung Arabia sendiri.
Untuk mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para Sahabat kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada al-Qur’an atau Sunnah Nabi, maka untuk itu Khalifah dan sahabat mengadakan ijtihad. Proses ijtihad pada aspek hukum ini semakin dibutuhkan dengan pada fase-fase selanjutnya. Seiring dengan banyaknya mujtahid, maka produk yang dihasilkannya pun sangat beragam. Sejarah memperlihatkan bahwa produk pemahaman dan pemikiran umat dalam bentuk fikih berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliyah menuju masyarakat Islami.
Setelah melalui proses yang panjang, produk hukum ini kemudian mengkristal menjadi mazhab-mazhab fiqh yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fiqh mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada pemikiran (ra’yi) dan analogi (qiyas) yang diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya didasarkan pada hadist yaitu tradisi-tradisi Rasul yang diwakili oleh ulama-ulama Hijaz.
Tokoh-tokoh Irak yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat mereka adalah Imam Abu Hanifah. Sedangkan pemimpin Hijaz adalah Malik bin Anas, dan sesudahnya, Asy’Syafi’i. Setelah mereka, muncul Imam Ahmad bin Hanbal, seorang muhaddist terkemuka. Dengan bekal Hadits yang melimpah, ia belajar dari sahabat-sahabat Imam abu Hanifah, lalu Imam Ahmad bersama para sahabatnya memiliki mazhab sendiri. Keempat tokoh inilah yang kemudian menjadi mazhab jumhur pada bidang fikih.
Dalam pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi di Kuffah. Kuffah terletak jauh dari Madinah, dan sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia, kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang resmi dipakai oleh kerajaan Utsmani dan di zaman bani Abbas banyak dianut di Irak. Sekarang penganut mazhab ini banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara yang masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon dan Mesir.
Malik ibn Anas lahir di Madinah pada tahun 713 M dan meninggal pada tahun 795 M. Dalam pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan Sahabat. Kalau ia tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, ia memakai qiyas dan maslahah mursalah, yaitu maslahat umum. Mazhab malik banyak dianut di Hijaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur.
Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i lahir di Ghazza di tahun 767 M. dan beasal dari suku bangsa Quraisy, ia meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Asy-Syafi’i dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, bentuk lama dan bentuk baru. Bentuk lama disusun di Bagdad dan terkandung dalam Al-Risalah dan Al-Umm. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini dirobah sebagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, Asy-Syafi’ berpegang pada lima sumber, al-Qur’an, sunnah Nabi, ijma’, pendapat sebahagian Sahabat yang tidak diketahui adanya perselisihan dan qiyas. Mazhab Syafi’I banyak dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman. 
Ahmad ibn Hambal lahir di Bagdad pada tahun 780 M dan berasal dari keturunan Arab. Ia meninggal di Bagdad di tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal memakai enam sumber, Al-Qur’an, sunnah, pendapat Sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan Sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa Sahabat, dengan syarat sesuai dengan Al-Qur’an serta sunnah, hadist mursal dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab ini terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Tetapi diantara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Hambalilah yang paling kecil penganutnya.
Fikih sendiri senantiasa dinamis dalam perkembangannya, bahkan hingga saat ini. Para Imam mazhab pendahulu yang telah berijtihad keras dalam merumuskan aturan dasar-dasar dalam mengambil sebuah putusan hukum (ushul fikih) selain berpegang pada aturan pokok berupa al-Qur’an dan hadist, juga senantiasa menyesuaikan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, tidak heran apabila banyak perbedaan pendapat dari mereka. Namun hal ini tidak menjadi persoalan besar, bahkan mereka saling menghargai terhadap pendapat yang lainnya. Karena mereka berpegang pada sabda Nabi, bahwa perbedaan antara umatku adalah rahmat (al ikhtilaf baina ummati rahmat).
c.     Bidang Filsafat
Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik tapi kadang-kadang jauh dan buruk. Adakalanya para agamawan merintis perkembangan filsafat, dan adakalanya orang yang beragama terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan tajam.
Dalam konsepnya, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Al Kindi sebagai filsuf muslim pertama memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia yang berupaya pertama kali menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktivitas intelektual yang bisa serasi.
Perhatian pada filsafat meningkat di zaman Khalifah al Ma’mun (813-833M), putra Harun al Rasyid. Utusan-utusan dikirim ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagai khalifah yang cerdas, Al Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah (Rumah Hikamh) di Bagdad pada 830 M sebagai perpustakaan terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.
Golongan yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu’ tazilah. Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Jubba’I dan lain-lain banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’tazilah, segera pula timbul filosof-filosof Islam.
Filosof Islam yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Al Kindi. Ia bukan hanya filosof tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Buku-buku yang ditinggalkannya mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti matematika, geometri, astronomi, pharmacology (teori dan cara pengobatan) ilmu hitung, ilmu jiwa, optika, politik, musik dan sebagainya.
Filosof besar yang kedua adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzlagh Al Farabi. Belau menulis buku-buku mengenai logika, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik, dan sebagainya. Kalau Al Kindi mendapat  gelaran Failusuf Al Arab, Al Farabi terkenal dengan nama Al-Mu’alim Al-Tsani (Guru  Kedua). Al-Mu’alim al-Awwal (Guru  pertama) adalah Aristoteles/ Alpharabius.
Filosof lain yang melampaui Al Farabi dan Al Kindi dalam kemasyuran adalah Abu ‘Ali husein Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana suatu tempat di dekat Bukhara dan meninggal di Isfahan pada tahun 1037 M. Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna dan kemasyurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyurannya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar ‘the prince of Physicisns’. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Shaykh al-Ra’is, pemimpin utama (dari filosof-filosof)
Al Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia Islam bagian Timur. Di Indonesia, sosok ini sangat terkenal dengan kitab Ihya’nya. Nama lengkap, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali lahir di Ghazelah, suatu desa di dekat Tus di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 1059 dan wafat di Nisyafur pada tahun 1085 M. Di dunia Barat abad  pertengahan Al Ghazali dikenal dengan nama Abuhamet dan Algazel. Di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam.
Pasca al Ghazali, filosof-filosof besar selanjutnya muncul di Andalusia. Filosof terbesar terbesar pada saat itu adalah Ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Di masa mudanya Ibn Rusyd belajar teologi Islam, hukum Islam, ilmu kedokteran, matematika, astronomi, sastra, dan filsafat. Buku-buku Ibn Rusyd mengenai falsafat Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli pikir Eropa sehingga di beri gelar Penafsir (Commentator) yaitu penafsir dari filsafat Aristoteles. Kalau di Barat Ibn Rusyd dikenal sebagai dokter dan penafsir filsafat Aristoteles.
Filsafat sebagai satu bagian yang sah dari Islam, memang memiliki varian yang beragam sebagaimana dijelaskan di atas. Keberadaannya seringkali dicurigai bahkan dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Namun sebagaimana ditulis Fazlur Rahman, filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, tetapi filsafat justru berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia (world view) berdasarkan al-Qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh filsafat.
d.    Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah tingkah laku dan perasaan; tingkah laku yang menjauhi segala keinginan dan hal-hal yang mempesona dan ditujukan demi kesucian jiwa dan tubuh. Perasaan cinta dan bahagia, manakala seorang murid (orang yang berkehendak) mencapai dua kesucian ini.  Secara ringkas Tasawuf adalah mata rantai yang terdiri atas kondisi-kondisi (al-ahwal) dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang mau menjadi sufi memulai langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa menjadi orang yang berhak menerima tajalli (penampakan), selalu meningkat hingga bisa merasakan Allah (ada) di relung jiwanya dan demukian dekat dengan-Nya.
Kajian-kajian Tasawuf dalam Islam tidak terbentuk sekaligus, tetapi berkembang menembus perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap. Tasawuf Islam melewati berbagai fase. Pertama, tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Disini seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat serta secara teguh berusaha melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah. Kaum zuhud generasi pertama amat banyak, antara lain Hasan al Basri sebagai tokoh kaum zuhud Basrah, Ibrahim bin Adham sebagai tokoh zuhud Balkh, dan Rabi’ah al-Adawiyyah sebagai tokoh kaum zuhud wanita.
Dalam beribadah kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat-tempat yang terisolir dari manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku (al suluk ) dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan jiwa dan tubuh. Pada fase ini juga Tasawuf tidak banyak mementingkan kajian atau studi, di samping tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran pikiran.
Pada fase kedua, kaum sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama-tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia-rahasianya, dijelaskan segala kondisi dan maqam-nya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang  keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana’ dan kekal. Mereka mencari cinta ilahi di mana saja bisa ditemukan. Mereka membicarakan pemecahan terhadap banyak masalah, mirip dengan kajian-kajian psikologis. Pada fase ketiga, kaum sufi mulai semakin mengisi teori-teori Tasawuf dengan menggeluti kajian-kajian.
IV.       KESIMPULAN
Dari rangkuman sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam nampak bahwa tradisi keilmuwan melekat dalam diri umat Islam sejak agama ini lahir. Kebebasan dan keberanian dunia pemikiran Islam telah melahirkan kekayaan yang tidak ternilai dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase Pertama, akibat adanya pergolakan politik. Kedua, akibat ekspansi Islam. Ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat modern.
Pemikiran Islam terus mengalami perberkembangan seiring dengan perputaran waktu yang ada. Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain. Hal inilah yang memicu tumbuhnya bidang keilmuan seperti:
1.    Bidang Kalam (Teologi) adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin ortodoks. Para ulama sepakat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam.
2.    Bidang Fikih yang meliputi beberapa tokoh besar, yaitu Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Imam Syafi’i, Ahmad ibn Hambal. 
3.    Bidang Filsafat yang merupakan pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Diantara filosof-filosof Islam yang terkenal adalah Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd.
4.    Bidang Tasawuf yaitu mata rantai yang terdiri atas kondisi-kondisi (al-ahwal) dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga.
V.     PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat tentang Dinamika Pemikiran Dalam Islam.Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita. Amin


DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1982.
Al Munawar, Said Agil Husin dan Rahim, Husni, Teologi Islam Nasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1978.
Nasution, Harun, Falsafah dan Misticisme dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Nurisman, Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, Jogjakarta: Sukses Offset, 2012.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
.


0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More