DINAMIKA PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Aang Kunaepi, M.Pd
Disusun
Oleh;
Baihaqi (133111013)
M.Ainur
Rofiq (133111034)
Lisa
Dwi Nurul Aini (133111035)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Kemajuan
suatu peradaban dalam sejarah umat manusia tidak mungkin terwujud apabila
peradaban tersebut menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan peradaban
yang lain. Hadirnya Islam sebagai sebuah peradaban yang unggul pada masa
jayanya, juga diyakini merupakan buah dari keterbukaan Islam untuk menerima
berbagai peradaban lain yang ada di luar Islam dan kemudian menyelaraskan diri
dengan ajaran Islam. Kemajuan Islam sebagai sebuah peradaban telah diwarnai
oleh dinamika pemikiran yang sangat dinamis yang tumbuh dan berkembang
menyertai kehadiran Islam. Pemikiran Islam sendiri sangatlah plural dengan
disiplin keilmuan yang sangat beragam. Semuanya mendapatkan tempat sebagai
mulia dan strategis dalam Islam yang memperkaya khazanah keislaman.
Pada zaman Nabi Muhammad
SAW, pemikiran Islam masih murni. Pemikiran kemudian dilanjutkan oleh para
sahabatnya, pada fase ini pun masih murni. Hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut
hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, jadi tidak ada pertentangan. Karena
di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada Rasulullah SAW.
Sehingga Nabi Muhammad SAW menjadi sentral ilmu pengetahuan.[1] Dalam perkembangannya proses
ijtihad semakin dibutuhkan. Seiring dengan banyaknya mujtahid, maka produk yang
dihasilkannya pun sangat beragam. Hal inilah yang menjadi proes ekspansi dalam
pemikiran Islam, sehingga Islam akan terlihat elegan disetiap waktu dan
dimanapun berada.
II. RUMUSAN MASALAH.
1.
Bagaimana Perkembangan Awal Pemikiran
Islam?
2.
Bagaimana Variasi Pemikiran Islam dalam
Bidang Kalam (Teologi), Bidang Fiqh, Bidang Filsafat dan Bidang Tasawuf?
III.
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Awal Pemikiran Islam
Proses
pembentukan pemikiran diawali dengan berbagai peritiwa yang terjadi. diantaranya
ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan
lainnya. Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan
tidak jarang terjadi asimilasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat
dalam tiga fase dan erat kaitannya dengan sejarah Islam.
Pertama,
akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang
Shiffin (antara Ali dan Muawiyah) dan perang Jamal (antara Ali dan Aisyah).
Adanya kasus perang ini menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarij.
Pergolakan politik itu diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa
orang-orang yang terlibat dalam perang Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar
dan kafir.
Menetapkan
Ali sebagai kafir sangat ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya
disebut Syi’ah, sehingga terjadilah pertentangan hebat antara sesama muslim.
Dalam setiap kemelut yang tidak menyenangkan itu, muncul sekelompok muslim yang
berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan diri dengan selisih
pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin
menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya, namun dalam pada itu sempat pula
mereka mengeluarkan fatwanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum
jelas nashnya, ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka itu
kelompok Murji’ah.
Kedua,
akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan
sampai ke Sudan, Ethiopia dan seterusnya. Ke Timur sampai India dan seterusnya,
sedangkan ke Utara sampai ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam,
ternyata tidak hanya berdampak pada penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin
memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini dikarenakan akulturasi budaya
Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang ditaklukkan.
Salah
satu budaya atau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi oleh
Islam adalah tradisi Yunani yang bersifat spekulatif. Perembesan budaya ini disamping
karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari tradisi
Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah intelektual
Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.
Ketiga,
akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi
masyarakat modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi
lebih luas. Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan
masalah-masalah baru yang memerlukan pemecahan.
Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh
kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan pemikiran dalam Islam, di samping itu tentu
saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang menganjurkan tentang pengembangan
kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al-Qur’an yang baik secara langsung
maupun tidak, mendesak manusia untuk berpikir, merenung atau bernalar.
Lebih
lanjut, Ibnu Khaldun mencatat bahwa kunci dari maraknya peradaban Islam adalah
tradisi kebebasan berpikir para ulama’. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang
mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam
ranah sosial maupun teks keagamaan. Konsentrasi para ulama dalam ranah
pengetahuan keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan
lahirnya peradaban yang sangat adil serta membawa pada pencerahan yang dapat
dirasakan masyarakat di dunia. Dari itu semua, pemikiran Islam telah menjadi
gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
2. Variasi Pemikiran Islam
Keberadaan
dan perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Pusaran ilmu itu ialah al-Qur’an dan Sunnah yang kemudian melahirkan berbagai
cabang ilmu. Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut memperkaya
khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir sebagai bagian
dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain, seperti Yunani, Persia,
India, dan lain sebagainya. Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat, ilmu
kalam, dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-interaksi tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan dinamika beberapa varian pemikiran
Islam, yang merupakan khazanah Islam yang senantiasa harus terus dipelihara dan
dijaga keberadaannya, serta dikembangkan sesuai dengan perubahan yang menyertai
perputaran dunia ini.
a.
Bidang Kalam (Teologi)
Kalam
secara harfiah berarti pembicaraan. Istilah ini merujuk pada sistem pemikiran
spekulatif yang berfungsi untuk mempertahankan Islam dan tradisi keislaman dari
ancaman maupun tantangan dari luar. Para pendukungnya, mutakallimun, adalah
orang-orang yang menjadikan dogma atau persoalan-persoalan teologis
kontroversial sebagai topik diskusi dan wacana dialetika, dengan menawarkan
bukti-bukti spekulatif untuk mempertahankan pendirian mereka.
Definisi
di atas nampaknya mengamini paparan Ibn Khaldun, yang menyatakan bahwa teologi
atau kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam
mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam
dogma yang dianut kaum muslimin ortodoks.
Para ulama sepakat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran
Islam. Ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh beliau melalui sikap dan tingkah
laku bertauhid, yang apabila ada suatu masalah, bisa langsung ditanyakan kepada
Nabi.
Isu
pertama yang berakibat langsung pada keretakan masyarakat Muslim sesaat setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. adalah perkara keabsahan pengganti Nabi SAW. atau
khalifah. Setelah khalifah Utsman ibn ‘Affan terbunuh pada 656, isu pengganti
Nabi SAW. ini semakin mengemuka. Puncaknya, bentrokan antara pendukung ‘Al ibn
Thalib yang juga menantu nabi SAW. dan Mu’awiyah sebagai kerabat khalifah yang
terbunuh dan Gubernur Damaskus tak bisa dielakkan.
Sebagian
umat Islam telah berani membuat analisis tentang pembunuhan Utsman tersebut,
apakah si pembunuhnya berdosa ataukah tidak, bahkan tidak sampai di situ saja,
tetapi juga dianalisis siapa yang menggerakkan tangan si pembunuh itu, apakah
manusia sendiri ataukah Tuhan. Hal ini yang mungkin menjadi cikal bakal
tumbuhnya paham Jabariah dan Qadariah.
Perselisihan
umat Islam tersebut di atas terus berlanjut, hingga berpuncak pada peristiwa
arbitrase, yaitu upaya penyelesaian sengketa antara Ala bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada perang Shiffin dan perselisihan Ali ibn Abi
Thalib dengan Aisyah pada perang Jamal. Peristiwa-peristiwa ini cukup banyak
andilnya dalam melahirkan aliran atau mazhab dalam ilmu kalam.
Dalam
perang Shiffin terjadi perdamaian atau tahkim antara pihak Ali dan Mu’awiyah,
akan tetapi perdamaian tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pengikut Ali
ibn Abi Thalib. Mereka itu dipelopori oleh Asy’ts ibn Qayis yang dalam
perkembangan selanjutnya mereka itu disebut Khawarij. Kelompok Khawarij
berfatwa bahwa orang yang terlibat dengan tahkim, baik menyetujui apalagi
melaksanakannya dihukumkan berdosa besar dan setiap orang yang berdosa besar
meninggal dunia tanpa tobat, maka itu adalah kafir. Salah satu alasan mereka
karena ingkar menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Penentuan
seseorang kafir atau tidak kafir bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi.
Kafir adalah orang yang tidak percaya, lawannya mu’min artinya orang yang
percaya. Kedua istilah ini dalam al-Qur’an biasanya berlawanan. Kata kafir yang
ditujuan pada golongan di luar Islam, Oleh Khawarij dipergunakan dengan makna
yang berbeda, yaitu untuk golongan yang berada dalam Islam sendiri.
Sebagai
reaksi dari fatwa khawarij ini sebagian umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan
Dimasqy, tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya
menjadi mazhab Murji’ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh
nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat
kelak. Reaksi kelompok lain adalah penganut paham Abdullah ibn Saba’ dan
orang-orang yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib. Mereka ini dikemudian hari
dikenal dengan Syi’ah.
Persoalan
dosa besar antara Khawarij dan Murji’ah itu masih berlanjut sampai pada masa
Hasan Basri (642-728 M). Pada suatu hari Hasan Basri sedang memberikan
pelajaran kepada murid-muridnya, datanglah seorang menanyakan tentang dosa
besar yang dipertentangkan di atas, apakah membawa kekafiran atau tidak.
Sementara
Hasan Basri merenungkan jawabannya, maka berdirilah salah seorang muridnya yang
bernama Wasil ibn Atho’ seraya berkata “menurut saya orang itu bukan kafir dan
bukan pula mukmin, tempatnya manzila bainal
manzilatain dan orang itu disebut fasik”. Setelah berkata demikian, ia
keluar dari kelompok belajar sambil menjelaskan kepada orang-orang yang ada
didekatnya tentang apa yang diucapkannya itu. Memperhatikan keadaan Wasil ibn
Atho tersebut, Hasan Basri berucap “ I’tazala ‘anni telah keluar Wasil
ibn Atho dari kita”. Sejak itu Wasil ibn Atho dan para pengikutnya disebut
dengan Muktazilah dan akhirnya menjadi mazhab mu’tazilah.
Perselisihan
masalah akidah di atas masih berlanjut sampai dengan masa khalifah Makmun yang
menetapkan bahwa paham Mu’tzilah sebagai paham resmi dari kekhalifahan dan
rakyat harus mengikutinya. Pada masa ini, seorang yang berkecimpung dalam paham
Mu’tazilah 40 tahun lamanya ingin menjembatani paham-paham yang saling bertentangan
itu. Orang itu adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan selanjutnya dibantu oleh Imam Maturidi.
Kedua ulama ini merupakan tokoh dari paham Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Selain
faktor politis yang menyebabkan munculnya perbedaan pada paham teologi, yaitu berkaitan dengan pemahaman ayat al-Qur’an,
ialah kadar pengetahuan dan penghayatan umat Islam terhadap nash-nash agama,
yang kelihatannya ada beberapa ayat yang tidak sejalan, sehingga terjadilah
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang berbeda antara ulama
yang satu dengan yang lainnya.
b.
Bidang Fikih
Pada
masa Nabi, segala persoalan yang muncul pada saat itu dikembalikan kepada-Nya, beliaulah
yang menjadi satu-satunya sumber hukum. Ketentuan hukum yang dibuat Nabi itu
sendiri bersumber pada wahyu dari Tuhan. Pada masa Sahabat, daerah yang
dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah di luar
Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan
masyarakat yang bukan sederhana, diperbandingkan dengan masyarakat Arabia
ketika itu. Dengan demikian, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul
didaerah-daerah baru itu lebih sulit penyelesaiannya dari persoalan yang timbul
di masyarakat Semenanjung Arabia sendiri.
Untuk
mencari penyelesaian bagi soal-soal baru itu, para Sahabat kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah. Tetapi tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada al-Qur’an
atau Sunnah Nabi, maka untuk itu Khalifah dan sahabat mengadakan ijtihad.
Proses ijtihad pada aspek hukum ini semakin dibutuhkan dengan pada fase-fase
selanjutnya. Seiring dengan banyaknya mujtahid, maka produk yang dihasilkannya
pun sangat beragam. Sejarah memperlihatkan bahwa produk pemahaman dan pemikiran
umat dalam bentuk fikih berhasil mengubah masyarakat Arab jahiliyah menuju
masyarakat Islami.
Setelah
melalui proses yang panjang, produk hukum ini kemudian mengkristal menjadi
mazhab-mazhab fiqh yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama
fiqh mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan
kepada pemikiran (ra’yi) dan analogi (qiyas) yang diwakili oleh ulama-ulama
Iraq. Satunya didasarkan pada hadist yaitu tradisi-tradisi Rasul yang diwakili
oleh ulama-ulama Hijaz.
Tokoh-tokoh
Irak yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat mereka adalah Imam Abu
Hanifah. Sedangkan pemimpin Hijaz adalah Malik bin Anas, dan sesudahnya,
Asy’Syafi’i. Setelah mereka, muncul Imam Ahmad bin Hanbal, seorang muhaddist
terkemuka. Dengan bekal Hadits yang melimpah, ia belajar dari sahabat-sahabat
Imam abu Hanifah, lalu Imam Ahmad bersama para sahabatnya memiliki mazhab
sendiri. Keempat tokoh inilah yang kemudian menjadi mazhab jumhur pada bidang
fikih.
Dalam
pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi
di Kuffah. Kuffah terletak jauh dari Madinah, dan sebagai kota yang berada di
tengah-tengah kebudayaan Persia, kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang resmi dipakai oleh
kerajaan Utsmani dan di zaman bani Abbas banyak dianut di Irak. Sekarang
penganut mazhab ini banyak terdapat di Turki, Suria, Afganistan, Turkistan, dan
India. Beberapa negara yang masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi
seperti Suria, Lebanon dan Mesir.
Malik
ibn Anas lahir di Madinah pada tahun 713 M dan meninggal pada tahun 795 M.
Dalam pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan Sahabat.
Kalau ia tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, ia
memakai qiyas dan maslahah mursalah, yaitu maslahat umum. Mazhab malik banyak
dianut di Hijaz, Marokko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan
Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah
Timur.
Muhammad
ibn Idris Al-Syafi’i lahir di Ghazza di tahun 767 M. dan beasal dari suku
bangsa Quraisy, ia meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Asy-Syafi’i dikenal
meninggalkan dua bentuk mazhab, bentuk lama dan bentuk baru. Bentuk lama
disusun di Bagdad dan terkandung dalam Al-Risalah dan Al-Umm. Bentuk baru
disusun di Mesir dan disini dirobah sebagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam
pemikiran hukumnya, Asy-Syafi’ berpegang pada lima sumber, al-Qur’an, sunnah
Nabi, ijma’, pendapat sebahagian Sahabat yang tidak diketahui adanya
perselisihan dan qiyas. Mazhab Syafi’I banyak dianut didaerah pedesaan Mesir,
Palestina, Suria, Lebanon, Irak, Hejaz, India, Indonesia, dan juga di Persia
dan Yaman.
Ahmad
ibn Hambal lahir di Bagdad pada tahun 780 M dan berasal dari keturunan Arab. Ia
meninggal di Bagdad di tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal
memakai enam sumber, Al-Qur’an, sunnah, pendapat Sahabat yang diketahui tidak
mendapat tantangan Sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa Sahabat, dengan
syarat sesuai dengan Al-Qur’an serta sunnah, hadist mursal dan qiyas, tetapi
hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab ini terdapat di Irak, Mesir,
Suria, Palestina dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab ini merupakan mazhab resmi
negara. Tetapi diantara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Hambalilah
yang paling kecil penganutnya.
Fikih
sendiri senantiasa dinamis dalam perkembangannya, bahkan hingga saat ini. Para
Imam mazhab pendahulu yang telah berijtihad keras dalam merumuskan aturan
dasar-dasar dalam mengambil sebuah putusan hukum (ushul fikih) selain berpegang
pada aturan pokok berupa al-Qur’an dan hadist, juga senantiasa menyesuaikan
dengan kondisi dan perkembangan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, tidak heran
apabila banyak perbedaan pendapat dari mereka. Namun hal ini tidak menjadi persoalan
besar, bahkan mereka saling menghargai terhadap pendapat yang lainnya. Karena
mereka berpegang pada sabda Nabi, bahwa perbedaan antara umatku adalah rahmat (al
ikhtilaf baina ummati rahmat).
c.
Bidang Filsafat
Filsafat
dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Hubungan
antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik tapi
kadang-kadang jauh dan buruk. Adakalanya para agamawan merintis perkembangan
filsafat, dan adakalanya orang yang beragama terancam oleh pemikiran para
filosof yang kritis dan tajam.
Dalam
konsepnya, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada
kebenaran. Al Kindi sebagai filsuf muslim pertama memandang bahwa filsafat
haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia yang berupaya pertama
kali menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktivitas intelektual
yang bisa serasi.
Perhatian
pada filsafat meningkat di zaman Khalifah al Ma’mun (813-833M), putra Harun al
Rasyid. Utusan-utusan dikirim ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip
yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagai
khalifah yang cerdas, Al Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah (Rumah Hikamh) di
Bagdad pada 830 M sebagai perpustakaan terbesar sepanjang sejarah penerjemahan
karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.
Golongan
yang banyak tertarik kepada filsafat yunani adalah kaum Mu’ tazilah. Abu Al-
Huzail, Al-Nazzam, Al-Jahiz, Al-Jubba’I dan lain-lain banyak membaca buku-buku
filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi
mereka. Di samping kaum Mu’tazilah, segera pula timbul filosof-filosof Islam.
Filosof
Islam yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Al Kindi. Ia bukan hanya
filosof tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di
zamannya. Buku-buku yang ditinggalkannya mencakup berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti matematika, geometri, astronomi, pharmacology (teori dan
cara pengobatan) ilmu hitung, ilmu jiwa, optika, politik, musik dan sebagainya.
Filosof
besar yang kedua adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzlagh
Al Farabi. Belau menulis buku-buku mengenai logika, ilmu politik, etika,
fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik, dan sebagainya. Kalau
Al Kindi mendapat gelaran Failusuf Al Arab, Al Farabi terkenal dengan
nama Al-Mu’alim Al-Tsani (Guru Kedua). Al-Mu’alim al-Awwal (Guru
pertama) adalah Aristoteles/ Alpharabius.
Filosof
lain yang melampaui Al Farabi dan Al Kindi dalam kemasyuran adalah Abu ‘Ali
husein Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Afshana suatu tempat
di dekat Bukhara dan meninggal di Isfahan pada tahun 1037 M. Ibn Sina dikenal
di Barat dengan nama Avicenna dan kemasyurannya di dunia Barat sebagai dokter
melampaui kemasyurannya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar ‘the prince
of Physicisns’. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Shaykh al-Ra’is,
pemimpin utama (dari filosof-filosof)
Al
Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia Islam bagian Timur. Di
Indonesia, sosok ini sangat terkenal dengan kitab Ihya’nya. Nama lengkap, Abu
Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali lahir di Ghazelah, suatu
desa di dekat Tus di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 1059 dan wafat di
Nisyafur pada tahun 1085 M. Di dunia Barat abad pertengahan Al Ghazali
dikenal dengan nama Abuhamet dan Algazel. Di dunia Islam ia diberi gelar
Hujjatul Islam.
Pasca
al Ghazali, filosof-filosof besar selanjutnya muncul di Andalusia. Filosof
terbesar terbesar pada saat itu adalah Ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova pada
tahun 1126 M. Di masa mudanya Ibn Rusyd belajar teologi Islam, hukum Islam,
ilmu kedokteran, matematika, astronomi, sastra, dan filsafat. Buku-buku Ibn
Rusyd mengenai falsafat Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
dan berpengaruh bagi ahli-ahli pikir Eropa sehingga di beri gelar Penafsir (Commentator)
yaitu penafsir dari filsafat Aristoteles. Kalau di Barat Ibn Rusyd dikenal
sebagai dokter dan penafsir filsafat Aristoteles.
Filsafat
sebagai satu bagian yang sah dari Islam, memang memiliki varian yang beragam
sebagaimana dijelaskan di atas. Keberadaannya seringkali dicurigai bahkan
dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Namun sebagaimana ditulis
Fazlur Rahman, filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, tetapi filsafat justru
berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia (world
view) berdasarkan al-Qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya
disediakan oleh filsafat.
d.
Bidang Tasawuf
Tasawuf
adalah tingkah laku dan perasaan; tingkah laku yang menjauhi segala keinginan
dan hal-hal yang mempesona dan ditujukan demi kesucian jiwa dan tubuh. Perasaan
cinta dan bahagia, manakala seorang murid (orang yang berkehendak) mencapai dua
kesucian ini. Secara ringkas Tasawuf adalah mata rantai yang terdiri atas
kondisi-kondisi (al-ahwal) dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling
merupakan anak tangga. Orang yang mau menjadi sufi memulai langkah dengan
membersihkan jiwanya, agar bisa menjadi orang yang berhak menerima tajalli (penampakan),
selalu meningkat hingga bisa merasakan Allah (ada) di relung jiwanya dan
demukian dekat dengan-Nya.
Kajian-kajian
Tasawuf dalam Islam tidak terbentuk sekaligus, tetapi berkembang menembus
perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap. Tasawuf Islam
melewati berbagai fase. Pertama, tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Disini
seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat serta secara teguh berusaha
melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah. Kaum zuhud
generasi pertama amat banyak, antara lain Hasan al Basri sebagai tokoh kaum
zuhud Basrah, Ibrahim bin Adham sebagai tokoh zuhud Balkh, dan Rabi’ah al-Adawiyyah
sebagai tokoh kaum zuhud wanita.
Dalam
beribadah kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat-tempat yang
terisolir dari manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk
tingkah laku (al suluk ) dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan
jiwa dan tubuh. Pada fase ini juga Tasawuf tidak banyak mementingkan kajian
atau studi, di samping tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran
pikiran.
Pada
fase kedua, kaum sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama-tama
mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia-rahasianya, dijelaskan
segala kondisi dan maqam-nya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang
keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada,
fana’ dan kekal. Mereka mencari cinta ilahi di mana saja bisa ditemukan. Mereka
membicarakan pemecahan terhadap banyak masalah, mirip dengan kajian-kajian
psikologis. Pada fase ketiga, kaum sufi mulai semakin mengisi teori-teori Tasawuf
dengan menggeluti kajian-kajian.
IV. KESIMPULAN
Dari rangkuman sejarah perkembangan pemikiran
dalam Islam nampak bahwa tradisi keilmuwan melekat dalam diri umat Islam sejak
agama ini lahir. Kebebasan
dan keberanian dunia pemikiran Islam telah melahirkan kekayaan yang tidak
ternilai dalam khazanah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Proses
perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase Pertama, akibat
adanya pergolakan politik. Kedua, akibat ekspansi Islam. Ketiga,
akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi
masyarakat modern.
Pemikiran Islam terus mengalami perberkembangan
seiring dengan perputaran waktu yang ada. Adanya ekspansi umat Islam ke berbagai wilayah turut
memperkaya khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam pun lahir
sebagai bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain. Hal
inilah yang memicu tumbuhnya bidang keilmuan seperti:
1. Bidang Kalam (Teologi) adalah ilmu
yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan
menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin
ortodoks. Para ulama sepakat bahwa
tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam ajaran Islam.
2. Bidang Fikih yang meliputi beberapa
tokoh besar, yaitu Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Imam Syafi’i, Ahmad ibn Hambal.
3. Bidang Filsafat yang merupakan
pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Diantara filosof-filosof Islam yang
terkenal adalah Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusyd.
4. Bidang Tasawuf yaitu mata rantai
yang terdiri atas kondisi-kondisi (al-ahwal) dan maqam-maqam, yang satu
sama lain saling merupakan anak tangga.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang kami buat tentang Dinamika Pemikiran Dalam Islam.Kami menyadari
bahwa makalah yang kami susun jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak
kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi
lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu, Filsafat Islam, Semarang: Toha
Putra, 1982.
Al
Munawar, Said Agil Husin dan Rahim, Husni, Teologi
Islam Nasional. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Hamka,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,
Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1978.
http://manfaatputih.blogspot.com/2013/08/perkembangan-peradaban-pemikiran-islam.html.diambil
tgl 24 mei 2014. Pukul 12.30
Nasution,
Harun, Falsafah dan Misticisme dalam
Islam.Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Nurisman,
Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution, Jogjakarta:
Sukses Offset, 2012.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
.
0 komentar:
Post a Comment