GAGASAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI
ISLAM
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Aang Kunaepi, M.Ag.
Diedit oleh;
Baihaqi (133111013)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Ide pendirian perguruan
tinggi Islam sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Namun di antara sekian
banyak ide itu untuk mendirikan perguruan tunggi Islam pada masa penjajahan
bisa dikatakan gagal karena perguruan tungii yang didirikan tidak bertahan lama,
kecuali sekolah tinggi yang dibentuk oleh masyumi. Setelah Indonesia merdeka,
lahirlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berkembang
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Secara fungsional dilakukan oleh
Kementrian Agama saat ini PTAI terdiri atas 3 jenis yaitu: IAIN, STAIN, UIN.
Sampai
sekarang konsentrasi kelimuan di IAIN adalah pengembangan ilmu-ilmu agama.
Menyikapi globalisasi dengan tuntutan yang semakin berkembang serta cita-cita
untuk mengitegrasikan ilmu yang tergolong perennial knowledge dan ilmu yang
tergolong ecquired knowledge, maka muncullah ide untuk mengembangkan lagi IAIN
menjadi universitas. Ide ini akhirnya melahirkan Universitas Islam Negeri
(UIN). Sejarah perkembangan PTAIN ini menjadi sebuah kajian yang menarik untuk
ditelusuri dan selanjutnya diuraikan dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana
sejarah Perguruan Tinggi Islam dan gagasan berdirinya Perguruan Tinggi Islam?
B. Siapa
saja panitia perencanaan berdirinya Perguruan Tinggi Islam?
C.
Bagaimana masa depan Pendidikan Tinggi
Islam di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perguruan Tinggi Islam
Pendirian
lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya
keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum
Muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu.[1]
Gagasan
tersebut akhirnya terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam
(STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai
realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh
Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Ketika masa
revolusi kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke
Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota
itu.
Dalam
sidang Panitia Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November 1947 memutuskan
pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat
fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951,
Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22
Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.[2]
Dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), maka PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta
menjadi IAIN "Al-Jami'ah al-Islamiah al- Hukumiyah" dengan pusat di
Yogyakarta. IAIN ini diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh
Menteri Agama K. H. Wahib Wahab. Sejak tanggal 1 Juli 1965 nama "IAIN
Al-Jami'ah" di Yogyakarta diganti menjadi "IAIN Sunan Kalijaga",
nama salah seorang tokoh terkenal penyebar agama Islam di Indonesia.
Dalam
perkembangannya selanjutnya, berdirilah cabang-cabang IAIN yang terpisah dari
pusat. Hal ini didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 1963. Hingga
akhir abad ke-20, telah ada 14 IAIN, dimana pendirian IAIN terakhir di Sumatera
Utara pada tahun 1973 oleh Menteri Agama waktu itu, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.[3]
Seperti
telah diketahui, dalam perkembangannya telah berdiri cabang cabang IAIN untuk
memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang lebih luas terhadap
masyarakat.Untuk mengatasi masalah manajerial IAIN, dilakukan rasionalisasi
organisasi. Pada tahun 1977 sebanyak 40 fakultas cabang IAIN dilepas menjadi 36
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri sendiri, di luar 14 IAIN yang ada, berdasaran
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1997.[4]
Dengan berkembangnya fakultas dan jurusan pada
IAIN di luar studi keislaman, status "institut" pun harus berubah
menjadi "universitas", sehingga menjadi "Universitas Islam
Negeri". IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan IAIN pertama yang
berubah menjadi UIN, yakni UIN Syarif Hidayatullah. Dan dalam perkembangan
selanjutnya IAIN Alauddin juga berubah menjadi UIN Alauddin.
Gagasan Mendirikan
Perguruan Tinggi Islam
Gagasan
dan seruan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam didorong oleh munculnya
kesadaran bahwa umat Islam Indonesia telah jauh ketinggalan dalam bidang
pendidikan. Ide-ide dan gagasan mendirikan perguruan tinggi mulai bermunculan.
"Pada tahun 1938 Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah pernah
menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan untuk
membicarakan usaha mendirikan perguruan tinggi Islam.
Kemudian,
Dr. Sukiman, melakukan follow-up dari musyawarah tahun 1938 itu dengan
menyampaikan ide mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam ke dalam forum Mu'tamar
Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) tahun 1939. Maka, dari hasil mu'tamar
ini kemudian didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang dimulai
dari tingkat menengah atas dan diberi nama IMS (Islamische Midelbare School)".[5]
Tetapi,
perguruan tinggi tersebut tidak bertahan lama, karena hanya dapat bertahan
sampai pada tahun 1941 dan kemudian berhenti dan ditutup karena terjadi Perang
Dunia II. Sekalipun, pada saat itu institusi tersebut didirikan tidak
dimaksudkan untuk sementara, tetapi ternyata secara pelan-pelan
instistusi-institusi tersebut dalam perkembangannya melemah dan sampai akhirnya
terhenti sama sekali apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi politik yang
berpengaruh pada saat itu. Perguruan Tinggi Islam yang didirikan itu dikatakan
belum memiliki ruh atau jiwa persatuan, karena PTI yang ada dan berkembang
sampai waktu itu umumnya didirikan oleh organisasi Islam setempat yang
kegiatannya terpisah dari organisasi Islam lainnya, seperti PTI Muhammadiyah,
PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya. Walaupun corak keterpisahan itu
tidak pernah menimbulkan pertentangan antara satu dengan yang lainnya, tetapi
jelas kekuatan pendukungnya tidak sekuat seandainya didirikan oleh berbagai
organisasi Islam seperti STI yang didukung oleh sebagai lembaga Islam yang ada.
Sedangkan Perguruan tinggi yang sudah bercorak persatuan dari umat Islam adalah
perguruan yang didirikan berdasarkan hasil mu'tamar MIAI di Solo, namun tidak
bertahan lama, karena pada tahun 1941 terpaksa berhenti disebabkan oleh situasi
politik, yaitu pecahnya Perang Dunia II.”[6]
B.
Panitia Perencanaan Berdirinya
Perguruan Tinggi Islam
Keputusan
mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu
:
Pertama, kemerdekaan
negera Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon
pemimpin yang sanggup memimpin negara, menggantikan pemerintah kolonial penerus
generasi yang akan datang.
Kedua, diperlukan
satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian antara ilmu-ilmu agama
dengan ilmu-ilmu umum.
Ketiga, diperlukan
satu perguruan tinggi yang dimiliki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan
ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan seluruh umat Islam dalam
usaha menanggulangi pengaruh kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah"
Keempat, pengaruh
kebangkitan Nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan
gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern, yang dimulai
dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam (1904), Muhammadiyah (1912),
Nahdlatul Ulama (NU) (1926), Jamiyatul Washiliyah (1930), Persatoean Oemat (1915),
Musyawarah Thalibin (1932), dan lain-lain.[7]
Dari
pemikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan di atas, maka sebagai followup dari
keputusan untuk mendirikan STI. Maka pada bulan April 1945 Masyumi menyelenggarakan
pertemuan di Jakarta dengan mengundang para ulama dari berbagai Perserikatan
Islam serta para intelektual dan unsur pemerintah yaitu Kementerian Agama
Pemerintah Dai Noppon Jepang. Kemudian yang hadir dan ikut mengambil keputusan
konkrit untuk mendirikan STI pada pertemuan tersebut, adalah :
1.
Dari Pengurus Besar NU, KH.Abdul Wahab,
KH. Bisri Syamsuri, KHA. Wachid Hasyim, KHA.Masykoer, dan K. Zainul Arifin.
2.
Dari Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki.
Bagus Hadikusumo, KHA. Mas Mansyur, KHA. Hasyim, KH.Faried Ma’roef, KH. Abdul
Mukti, KH.M. Junus Anis, dan Katosoedarmo.
3.
Dari Pengurus Besar Persatoean Oemat
Islam, KH.Abdul Halim dan Moh. Djuanaidi Mansur.
4.
Dari Pengurus Besar Persatuan Ummat
Islam Indonesia, KH. Ahmad Sanusi dan KH. Zarkasji Somaatmadja.
5.
Dari Kalangan Intelektual dan para
Ulama, Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno,
Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokroaminoto, Mr. Moh. Roem, Baginda H. Dahlan
Abdullah, dan KH. Imam Ghazali.
6.
Dari Departemen Agama Dai Nippon Jepang,
KHA. Kahar Muzakkir, KHR. Moh. Adnan, dan Ustadz Imam Zarkasji. Maka, apabila
dilihat dari unsur-unsur organisasi yang hadir, forum musyawarah saat itu sudah
cukup refresentatif untuk mewakili putusan-putusan yang dapat
mencerminkan kehendak seluruh umat Islam Indonesia tanpa membedakan organisasi
atau golongan.
Kemudian
dari hasil musyawarah tersebut, tokoh-tokoh Islam yang dipelopori Masyumi,
betul-betul berhasil mengambil langkah maju dengan mewujudkan rencana
mendirikan STI yaitu dengan dibentuk
satu panitian “Perencana STI”, terdiri dari:
1.
Ketua: Drs. Moh. Hatta. Wakil Ketua: Mr.
Suwardi,
2.
Sekretaris: Dr. Ahmad Ramli,
3. Anggora
terdiri dari : KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim, KHR. Fatchurrahman Kafrawi,
KH, Faried Ma’roef, KH. Abdul Kahar Muzakkir, dan Notulis: Kartosudarmo.
Panitia
Perencana STI ini setelah mengadakan beberapa kali rapat telah menetapkan
langkah-langkah untuk:
1. Menyusun
peraturan umum,
2. Menyusun
peraturan rumah tangga,
3. Menetapkan
susunan badan wakaf pendidiri STI,
4. Menetapkan
badan penyelenggara dan badan pengawas STI, dan
5.
Menetapkan senat STI.
Peraturan
umum yang dimaksud yaitu:
1. Tujuan
didirikannya STI ialah untuk adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran
dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu masyarakat
agar menjadi pusat penyiaran agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia.
2.
Perguruan tinggi Islam didirikan oleh
Badan Wakaf dari umat Islam yang kelengkapan organisasinya terdiri dari: badan
penyelenggara, badan pengawas, senat PTI, peraturan-peraturan tentang
rencana-rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkat pelajaran, ujian, dan
sebagainya, peraturan tentang peningkatan guru besar.[8]
Peraturan
Rumah Tangga, yaitu: ketentuan tentang hal-hal yang belum diatur dalam peraturan
umum. Sedangkan susunan Badan Wakaf Pendiri STI terdiri dari minimal 20 orang
yang beranggotakan unsur-unsur Ulama, Intelektual, dan pimpinan-pimpinan Islam,
yaitu:
Pengurus
Badan Wakaf PTI
1) Ketua:
Said Wiratman Hasan.
2)
Wakil Ketua (merangkap Bendahara): Sutan
Sabaruddin.
3)
Sekretaris: Kartosudarmo.
4) Anggota-anggota:
KH. Hasyim Asy’ari, Ki. Bagoes Hadikusumo, KH.Abdul Halim Iskandar, K. Achmad
Sanusi, K. Abu Ansor, K. Hamid, Dr.Satiman Wirjosandjojo, Dr, Soejiman
Wirjosandjojo, Hasan Arghubi, Djohan Djohar, Aly bin Arief, H. Bilal,
M.Pawirosemito, dan Salim bin Nabhan.
Dewan
Pengurus PTI
1)
Ketua: Drs. Moh. Hatta.
2)
Wakil Ketua: Mr. Suwandi,
3)
Sekretaris: Moh. Natsir, dan
4) Anggota-anggota: Prof. RAA. Husein
Djajadiningrat, Dr. Hidayat, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Baginda H. Dahlan
Abdullah, Abikoesno Tjokrosujoso, Ki. Bagoes Hadikoesoemo, dan H. Rahman Tamin.
Susunan
Senat PTI
1)
Rektor Magnificus: KHA. Kahar Muzakkir.
2) Anggota:
KH. Mas Mansur, Prof. Dr. Poerbotjaroko, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Mr.
Sumanang, Mr. Abdul Karim, Mr. Aly Budiardjo, Mr. Moh. Yamin, Mr. Kasman
Singodimedjo, Prof. Mr. Sunardjo Kolopaking, Dr. A. Ramli, Drs. Adam Bachtiar,
Ustad Zadili Hasan, KM. Zen Djambek,
Staf
Skretariat
1)
Sekretaris: Moh. Natsir,
2)
Wakil Sekretaris: Prawoto Mangkusasmito,
dan
3)
Bendahara: A. Zaenuddin[9]
C.
Masa Depan Pendidikan Tinggi Islam
di Indonesia
Menurut
Azyumardi Azra, dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global, maka
konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sudah merupakan
sebuah keharusan.[10] Hal
ini akan mendukung eksistensi Perguruan Tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN) di masa
yang akan datang. Dalam dasawarsa terkahir (1993) dunia perguruan tinggi Islam
di Indonesia khususnya IAIN dan STAIN, menggeliat untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang terjadi secara lokal maupun global. Wujudnya adalah
memperluas kewenangan yang telah dimilikinya selama ini, yang kemudian disebut
dengan program “Wider Mandate” (Mandat yang diperluas) serta melakukan
transformasi atau perubahan dari IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri
(UIN).
Perubahan
IAIN menjadi UIN dan perubahan STAIN menjadi IAIN/ UIN diharapkan mampu memberi
peluang bagi rekonstruksi atau reintegrasi bangunan keilmuan, yang menjembatani
ilmu-ilmu agama dan umum yang selama ini dipandang secara dikotomis. Dengan
demikian lulusan UIN, IAIN dan STAIN mampu bersaing dengan perguruan tinggi
umum lainnya. Selain itu para alumni adalah orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan masyarakat.
IV.
KESIMPULAN
Maka
dapat disimpulkan bahwa adanya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia merupakan
murni gagasan umat Islam yang mampu direalisasikan. Sehingga dapat berkembang
secara signifikan, dari mulai awal terbentuknya Sekolah Tinggi Islam sampai
menuju kepada Universitas Islam Negeri. Hal ini merupakan bukti konkrit
sumbangan umat Islam bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai sarana masyarakat
Islam untuk mencetak intelektual muslim yang mampu menguasai ilmu – ilmu agama
dan sains, sebagaimana yang terdapat pada masa lampau di zaman klasik, seperti:
Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina serta intelektual muslim lainnya. maka oleh karena itu
sudah sepatutnya kita memberikan kontribusi yang jelas bagi pendidikan Islam
Indonesia, dengan peralisasian sistem yang ada dan mengadakan inovasi guna
mengembangkan pendidikan Indonesia khususnya pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, IAIN di Tengah Paradigma Baru
Perguruan Tinggi. Dalam “OASIS” Jurnal
Pascasarjana STAIN Cirebon Volume 1 No. 2 Juli-Desember 1008,
Cirebon: ProgramPascasarjana, 2008.
Dahlan
Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta:Liberty Offsit, 1984.
Program
Pascasarjana STAIN Cirebon, Jurnal “OASIS” Vol.1 Nomor 2 Juli- Desember 2008.
Rusminah,
dkk., Perguruan Tinggi Agama Islam
(UIN, IAIN, dan STAIN), dalam Insan Cedekia, 2010.
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
Supardi,
dkk., Setengah Abad UII Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 1994.
0 komentar:
Post a Comment