Sunday, March 15, 2015

Gagasan Pendirian Perguruan Tinggi Islam



GAGASAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ISLAM
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Aang Kunaepi, M.Ag.


Diedit oleh;
Baihaqi   (133111013)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.            PENDAHULUAN
          Ide pendirian perguruan tinggi Islam sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Namun di antara sekian banyak ide itu untuk mendirikan perguruan tunggi Islam pada masa penjajahan bisa dikatakan gagal karena perguruan tungii yang didirikan tidak bertahan lama, kecuali sekolah tinggi yang dibentuk oleh masyumi. Setelah Indonesia merdeka, lahirlah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Secara fungsional dilakukan oleh Kementrian Agama saat ini PTAI terdiri atas 3 jenis yaitu: IAIN, STAIN, UIN.
          Sampai sekarang konsentrasi kelimuan di IAIN adalah pengembangan ilmu-ilmu agama. Menyikapi globalisasi dengan tuntutan yang semakin berkembang serta cita-cita untuk mengitegrasikan ilmu yang tergolong perennial knowledge dan ilmu yang tergolong ecquired knowledge, maka muncullah ide untuk mengembangkan lagi IAIN menjadi universitas. Ide ini akhirnya melahirkan Universitas Islam Negeri (UIN). Sejarah perkembangan PTAIN ini menjadi sebuah kajian yang menarik untuk ditelusuri dan selanjutnya diuraikan dalam makalah ini.
II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana sejarah Perguruan Tinggi Islam dan gagasan berdirinya      Perguruan Tinggi Islam?
B.     Siapa saja panitia perencanaan berdirinya Perguruan Tinggi Islam?
C.     Bagaimana masa depan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia?
III.      PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perguruan Tinggi Islam
Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, dimana Dr. Satiman Wirjosandjoyo pernah mengemukakan pentingnya keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam untuk mengangkat harga diri kaum Muslim di Hindia Belanda yang terjajah itu.[1]
Gagasan tersebut akhirnya terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Ketika masa revolusi kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu.
Dalam sidang Panitia Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November 1947 memutuskan pendirian Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.[2]
Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), maka PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi IAIN "Al-Jami'ah al-Islamiah al- Hukumiyah" dengan pusat di Yogyakarta. IAIN ini diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama K. H. Wahib Wahab. Sejak tanggal 1 Juli 1965 nama "IAIN Al-Jami'ah" di Yogyakarta diganti menjadi "IAIN Sunan Kalijaga", nama salah seorang tokoh terkenal penyebar agama Islam di Indonesia.
Dalam perkembangannya selanjutnya, berdirilah cabang-cabang IAIN yang terpisah dari pusat. Hal ini didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 1963. Hingga akhir abad ke-20, telah ada 14 IAIN, dimana pendirian IAIN terakhir di Sumatera Utara pada tahun 1973 oleh Menteri Agama waktu itu, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.[3]
Seperti telah diketahui, dalam perkembangannya telah berdiri cabang cabang IAIN untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang lebih luas terhadap masyarakat.Untuk mengatasi masalah manajerial IAIN, dilakukan rasionalisasi organisasi. Pada tahun 1977 sebanyak 40 fakultas cabang IAIN dilepas menjadi 36 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri  sendiri, di luar 14 IAIN yang ada, berdasaran Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1997.[4]
 Dengan berkembangnya fakultas dan jurusan pada IAIN di luar studi keislaman, status "institut" pun harus berubah menjadi "universitas", sehingga menjadi "Universitas Islam Negeri". IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan IAIN pertama yang berubah menjadi UIN, yakni UIN Syarif Hidayatullah. Dan dalam perkembangan selanjutnya IAIN Alauddin juga berubah menjadi UIN Alauddin.
Gagasan Mendirikan Perguruan Tinggi Islam
Gagasan dan seruan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam didorong oleh munculnya kesadaran bahwa umat Islam Indonesia telah jauh ketinggalan dalam bidang pendidikan. Ide-ide dan gagasan mendirikan perguruan tinggi mulai bermunculan. "Pada tahun 1938 Dr. Sukiman Wirjosandjojo, di Jawa Tengah pernah menyelenggarakan musyawarah antara beberapa ulama dan kaum cendekiawan untuk membicarakan usaha mendirikan perguruan tinggi Islam.
Kemudian, Dr. Sukiman, melakukan follow-up dari musyawarah tahun 1938 itu dengan menyampaikan ide mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam ke dalam forum Mu'tamar Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) tahun 1939. Maka, dari hasil mu'tamar ini kemudian didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang dimulai dari tingkat menengah atas dan diberi nama IMS (Islamische Midelbare School)".[5]
Tetapi, perguruan tinggi tersebut tidak bertahan lama, karena hanya dapat bertahan sampai pada tahun 1941 dan kemudian berhenti dan ditutup karena terjadi Perang Dunia II. Sekalipun, pada saat itu institusi tersebut didirikan tidak dimaksudkan untuk sementara, tetapi ternyata secara pelan-pelan instistusi-institusi tersebut dalam perkembangannya melemah dan sampai akhirnya terhenti sama sekali apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi politik yang berpengaruh pada saat itu. Perguruan Tinggi Islam yang didirikan itu dikatakan belum memiliki ruh atau jiwa persatuan, karena PTI yang ada dan berkembang sampai waktu itu umumnya didirikan oleh organisasi Islam setempat yang kegiatannya terpisah dari organisasi Islam lainnya, seperti PTI Muhammadiyah, PTI Santi Ashrama, dan lain sebagainya. Walaupun corak keterpisahan itu tidak pernah menimbulkan pertentangan antara satu dengan yang lainnya, tetapi jelas kekuatan pendukungnya tidak sekuat seandainya didirikan oleh berbagai organisasi Islam seperti STI yang didukung oleh sebagai lembaga Islam yang ada. Sedangkan Perguruan tinggi yang sudah bercorak persatuan dari umat Islam adalah perguruan yang didirikan berdasarkan hasil mu'tamar MIAI di Solo, namun tidak bertahan lama, karena pada tahun 1941 terpaksa berhenti disebabkan oleh situasi politik, yaitu pecahnya Perang Dunia II.”[6]
B.     Panitia Perencanaan Berdirinya Perguruan Tinggi Islam
Keputusan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu :
Pertama, kemerdekaan negera Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon pemimpin yang sanggup memimpin negara, menggantikan pemerintah kolonial penerus generasi yang akan datang.
Kedua, diperlukan satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Ketiga, diperlukan satu perguruan tinggi yang dimiliki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan seluruh umat Islam dalam usaha menanggulangi pengaruh kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah"
Keempat, pengaruh kebangkitan Nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern, yang dimulai dengan berdirinya Syarikat Dagang Islam (1904), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (NU) (1926), Jamiyatul Washiliyah (1930), Persatoean Oemat (1915), Musyawarah Thalibin (1932), dan lain-lain.[7]
Dari pemikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan di atas, maka sebagai followup dari keputusan untuk mendirikan STI. Maka pada bulan April 1945 Masyumi menyelenggarakan pertemuan di Jakarta dengan mengundang para ulama dari berbagai Perserikatan Islam serta para intelektual dan unsur pemerintah yaitu Kementerian Agama Pemerintah Dai Noppon Jepang. Kemudian yang hadir dan ikut mengambil keputusan konkrit untuk mendirikan STI pada pertemuan tersebut, adalah :
1.      Dari Pengurus Besar NU, KH.Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KHA. Wachid Hasyim, KHA.Masykoer, dan K. Zainul Arifin.
2.      Dari Pengurus Besar Muhammadiyah, Ki. Bagus Hadikusumo, KHA. Mas Mansyur, KHA. Hasyim, KH.Faried Ma’roef, KH. Abdul Mukti, KH.M. Junus Anis, dan Katosoedarmo.
3.      Dari Pengurus Besar Persatoean Oemat Islam, KH.Abdul Halim dan Moh. Djuanaidi Mansur.
4.      Dari Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam Indonesia, KH. Ahmad Sanusi dan KH. Zarkasji Somaatmadja.
5.      Dari Kalangan Intelektual dan para Ulama, Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokroaminoto, Mr. Moh. Roem, Baginda H. Dahlan Abdullah, dan KH. Imam Ghazali.
6.      Dari Departemen Agama Dai Nippon Jepang, KHA. Kahar Muzakkir, KHR. Moh. Adnan, dan Ustadz Imam Zarkasji. Maka, apabila dilihat dari unsur-unsur organisasi yang hadir, forum musyawarah saat itu sudah cukup refresentatif untuk mewakili putusan-putusan yang dapat mencerminkan kehendak seluruh umat Islam Indonesia tanpa membedakan organisasi atau golongan.
Kemudian dari hasil musyawarah tersebut, tokoh-tokoh Islam yang dipelopori Masyumi, betul-betul berhasil mengambil langkah maju dengan mewujudkan rencana mendirikan STI yaitu dengan dibentuk satu panitian “Perencana STI”, terdiri dari:
1.      Ketua: Drs. Moh. Hatta. Wakil Ketua: Mr. Suwardi,
2.      Sekretaris: Dr. Ahmad Ramli,
3.      Anggora terdiri dari : KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim, KHR. Fatchurrahman Kafrawi, KH, Faried Ma’roef, KH. Abdul Kahar Muzakkir, dan Notulis: Kartosudarmo.
Panitia Perencana STI ini setelah mengadakan beberapa kali rapat telah menetapkan langkah-langkah untuk:
1.      Menyusun peraturan umum,
2.      Menyusun peraturan rumah tangga,
3.      Menetapkan susunan badan wakaf pendidiri STI, 
4.      Menetapkan badan penyelenggara dan badan pengawas STI, dan
5.      Menetapkan senat STI.
Peraturan umum yang dimaksud yaitu:
1.      Tujuan didirikannya STI ialah untuk adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu masyarakat agar menjadi pusat penyiaran agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia.
2.      Perguruan tinggi Islam didirikan oleh Badan Wakaf dari umat Islam yang kelengkapan organisasinya terdiri dari: badan penyelenggara, badan pengawas, senat PTI, peraturan-peraturan tentang rencana-rencana pelajaran, lamanya pelajaran, tingkat pelajaran, ujian, dan sebagainya, peraturan tentang peningkatan guru besar.[8]
Peraturan Rumah Tangga, yaitu: ketentuan tentang hal-hal yang belum diatur dalam peraturan umum. Sedangkan susunan Badan Wakaf Pendiri STI terdiri dari minimal 20 orang yang beranggotakan unsur-unsur Ulama, Intelektual, dan pimpinan-pimpinan Islam, yaitu:
Pengurus Badan Wakaf PTI
1)      Ketua: Said Wiratman Hasan.
2)      Wakil Ketua (merangkap Bendahara): Sutan Sabaruddin.
3)      Sekretaris: Kartosudarmo.
4)      Anggota-anggota: KH. Hasyim Asy’ari, Ki. Bagoes Hadikusumo, KH.Abdul Halim Iskandar, K. Achmad Sanusi, K. Abu Ansor, K. Hamid, Dr.Satiman Wirjosandjojo, Dr, Soejiman Wirjosandjojo, Hasan Arghubi, Djohan Djohar, Aly bin Arief, H. Bilal, M.Pawirosemito, dan Salim bin Nabhan.
Dewan Pengurus PTI
1)      Ketua: Drs. Moh. Hatta.
2)      Wakil Ketua: Mr. Suwandi,
3)      Sekretaris: Moh. Natsir, dan
4)       Anggota-anggota: Prof. RAA. Husein Djajadiningrat, Dr. Hidayat, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Baginda H. Dahlan Abdullah, Abikoesno Tjokrosujoso, Ki. Bagoes Hadikoesoemo, dan H. Rahman Tamin.
Susunan Senat PTI
1)      Rektor Magnificus: KHA. Kahar Muzakkir.
2)      Anggota: KH. Mas Mansur, Prof. Dr. Poerbotjaroko, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Mr. Sumanang, Mr. Abdul Karim, Mr. Aly Budiardjo, Mr. Moh. Yamin, Mr. Kasman Singodimedjo, Prof. Mr. Sunardjo Kolopaking, Dr. A. Ramli, Drs. Adam Bachtiar, Ustad Zadili Hasan, KM. Zen Djambek,
Staf Skretariat
1)      Sekretaris: Moh. Natsir,
2)      Wakil Sekretaris: Prawoto Mangkusasmito, dan
3)      Bendahara: A. Zaenuddin[9]

C.    Masa Depan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia
Menurut Azyumardi Azra, dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global, maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sudah merupakan sebuah keharusan.[10] Hal ini akan mendukung eksistensi Perguruan Tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN) di masa yang akan datang. Dalam dasawarsa terkahir (1993) dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya IAIN dan STAIN, menggeliat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi secara lokal maupun global. Wujudnya adalah memperluas kewenangan yang telah dimilikinya selama ini, yang kemudian disebut dengan program “Wider Mandate” (Mandat yang diperluas) serta melakukan transformasi atau perubahan dari IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Perubahan IAIN menjadi UIN dan perubahan STAIN menjadi IAIN/ UIN diharapkan mampu memberi peluang bagi rekonstruksi atau reintegrasi bangunan keilmuan, yang menjembatani ilmu-ilmu agama dan umum yang selama ini dipandang secara dikotomis. Dengan demikian lulusan UIN, IAIN dan STAIN mampu bersaing dengan perguruan tinggi umum lainnya. Selain itu para alumni adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan masyarakat.

IV.      KESIMPULAN
            Maka dapat disimpulkan bahwa adanya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia merupakan murni gagasan umat Islam yang mampu direalisasikan. Sehingga dapat berkembang secara signifikan, dari mulai awal terbentuknya Sekolah Tinggi Islam sampai menuju kepada Universitas Islam Negeri. Hal ini merupakan bukti konkrit sumbangan umat Islam bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai sarana masyarakat Islam untuk mencetak intelektual muslim yang mampu menguasai ilmu – ilmu agama dan sains, sebagaimana yang terdapat pada masa lampau di zaman klasik, seperti: Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina serta intelektual muslim lainnya. maka oleh karena itu sudah sepatutnya kita memberikan kontribusi yang jelas bagi pendidikan Islam Indonesia, dengan peralisasian sistem yang ada dan mengadakan inovasi guna mengembangkan pendidikan Indonesia khususnya pendidikan Islam.

           

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dalam “OASIS” Jurnal Pascasarjana STAIN Cirebon Volume 1 No. 2 Juli-Desember 1008, Cirebon: ProgramPascasarjana, 2008.
Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta:Liberty Offsit, 1984.
Program Pascasarjana STAIN Cirebon, Jurnal “OASIS” Vol.1 Nomor 2 Juli- Desember 2008.
Rusminah, dkk.,  Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, dan STAIN), dalam Insan Cedekia, 2010.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Supardi, dkk., Setengah Abad UII Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1994.



                [1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 314-315
                [2] Rusminah, (dkk). Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, dan STAIN). dalam Insan Cedekia, 2010), hlm 1
                [3] Rusminah, (dkk). Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, dan STAIN). dalam Insan Cedekia, 2010), hlm 2
                [4] Rusminah, (dkk). Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, dan STAIN). dalam Insan Cedekia, 2010), hlm 3

                [5] Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta:Liberty Offsit, 1984) hlm,19
                [6] Supardi,dkk.,1994, Setengah Abad UII Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta: UII Press,1994), hlm 18
                [7] Supardi,dkk.,1994, Setengah Abad UII Sejarah Perkembangan Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta: UII Press,1994), hlm 20-21

                [8] Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta:Liberty Offsit, 1984) hlm, 13
                [9] Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Universitas Islam Indonesia,(Yogyakarta:Liberty Offsit, 1984) hlm, 13-14
                [10] Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dalam “OASIS” Jurnal Pascasarjana STAIN Cirebon Volume 1 No. 2 Juli-Desember 1008, (Cirebon: ProgramPascasarjana, 2008), hlm 240

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More