“Lewat Satu Detik Sejuta Llmu Hilang”
Jargon
yang simpel, namun sarat dengan makna. Bagaiman tidak, ketika kita melewatkan
waktu satu detik, maka sejatinya kita telah kehilangan berjuta-juta ilmu. Namun
coba kita lihat realitanya, bukan hanya satu
detik, bahkan berjuta-juta detik kita lewatkan, yang artinya kita telah
kehilangan ber-milyar-milyar ilmu. Hal ini sejalan dengan ayat al-Quran yang
bercerita tentang orang-orang yang membuang-buang waktu, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi,” (QS. Al-Ahqaf:
18).
Imam
Syafii juga pernah berkata, “Al wakqtu
kassaif” (waktu laksana pedang). Bisa jadi tanpa kita sadari waktu akan
membunuh kita. Karena waktu terus berputar tanpa henti, begitu cepat berlalu,
dan tak akan menghiraukan apa yang ditinggalkan. Karena waktu bagaikan pedang
yang bisa memotong, mencabik-cabik dan membunuh. Jika kita tidak memanfaatkan
waktu dengan baik, maka kita akan binasa sebagaimana binasanya seseorang yang
terkena sabetan pedang karena tidak mampu mengendalikannya.
Pepatah
jawa juga ada yang berbunyi “Ati-ati aja
nganti dipangan bethara kala” (hati-hati jangan sampai kemakan atau
tertelan waktu) atau dengan kata lain, jangan sampai kita menyesal. Tidak hanya
itu, pepatah barat juga ada yang membahas tentang waktu, “Time is money” (waktu adalah uang). Semuanya (dalil nash, maqolah
ulama, pepatah-pepatah) intinya sama, bagaimana kita mampu menghargai waktu.
Bagaimana kita mampu mempergunakan waktu itu dengan baik sehingga mendatangkan
kemaslahatan.
Namun
yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kita sudah mempergunakan waktu dengan
baik? Ah, kalaupun kamu menjawab;
sudah! saya akan tetap meragukan jawabanmu. Bagaimana tidak, saya masih melihat
orang-orang berkejaran dengan deadline. Mungkin
benar kata Dr. Junaidi (Dosen FITK), “Buat apa dikasih banyak waktu, toh kalian mengerjakan tugasnya di
hari-hari akhir, atau bahkan di jam-jam terakhir.” Kita masih belum terbiasa
untuk benar-benar menghargai waktu. Sekarang, “Deadline mana lagi yang kau dustakan!”
“Ajang Pergulatan Intelektual
Mahasiswa”
Sebenarnya,
jargon utama LPM Edukasi adalah ini, seperti halnya terpampang di Majalah
Edukasi. Para Founding Fathers dahulu
memimpkan LPM Edukasi dijadikan sebagai tempat kaum akademis bergelut dengan
pengetahuan. Edukasi harapannya mampu untuk menjadi wahana pertarungan
gagasan-gagasan revolusioner melalui produk ilmiah dan jurnalistik, sebagaimana
diulas dalam profil Edukasi (lihat: www.lmpedukasi.com)
Terlepas
dari itu semua, nampaknya jargon utama Edukasi ini perlu direvisi. Saya melihat
Edukasi tak se-ideal seperti apa yang diimpikan para pendahulunya. Setauku, Edukasi
hanya sebuah kata yang terdiri dari tujuh huruf abjad: E, D, U, K, A, S dan I.
Edukasi hanyalah sebuah nama yang terpampang pada tembok di sebuah ruangan segi
empat, Gedung PKM Lantai 2, tepatnya di pojok sebelah kanan ruangannya. Hanya
sebatas itu.
Orang-orang
di dalamnya juga hanya mahasiswa biasa yang tak beda dengan 10.000-an mahasiswa
di UIN Walisongo. Lantas apa yang membedakan kru Edukasi dengan yang bukan?
Saya juga masih cari tau tentang itu. Jika benar “Ajang Pergulatan Intelektual
Mahasiswa,” seharusnya orang-orangnya adalah mahasiswa intelek tingkat tinggi
karena kerap bergulat dengan pengetahuan. Ah, sudahlah, semoga saja bisa
berubah.
“Transformasi Idealisme”
Jargon
yang satu ini tertera dalam Buletin Quantum. Buletin Quantum merupakan karya
jurnalistik yang pembahasannya cukup ringan dibanding dengan majalah maupun
jurnal. Buletin ini diulas dengan bahasa yang mudah dipahami, namun isi
pembahasannya benar-benar mengupas problematika yang dialami mahasiswa UIN
Walisongo, utamanya mahasiswa FITK. Eh, kok jadi mbahas buletin.
Kembali
ke jargon. Transformasi secara bahasa ialah perubahan rupa (bentuk, sifat,
fungsi, dan sebagainya). Sedangkan idealisme adalah suatu keyakinan atas suatu
hal yang dianggap benar oleh individu yang bersangkutan dengan bersumber dari
pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Menurut Prof. Hadi,
Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan
dalam bentuk perilaku, sikap, ide ataupun cara berpikir.
Simpelnya,
idealisme merupakan hal istimewa yang dimiliki seseorang. Ketika mahasiswa
kehilangan atau bahkan tidak mempunyai idealismenya, maka sejatinya ia telah tercerabut
dari gelar mahasiswanya. Tak heran jika jargon Edukasi ada yang berbunyi
“Transformasi Idealisme”. Hal ini mengajari kita untuk bersikap idealis. Juga,
mengajari untuk bertranformasi idealisme menuju idealisme yang sejati.
Jargon atau Mitos
Selain
ketiga jargon di atas, sebenarnya masih ada lagi seperti; Alternatif Wacana
Pendidikan (jargon Jurnal Edukasi), Suburkan Taman Jiwa (jargon Beranda Satra
Edukasi), Dengan Wacana Mengawal Perubahan (jargon Newsletter Fakta, Buletin
dan Koran Edukasi). Semuanya hanya ada di Edukasi. Namun, kadang saya berfikir,
jargon yang ada hanya sebuah mitos (cerita turun temurun: katanya) belaka, yang
sulit untuk diwujudkan secara nyata.
Katanya,
Edukasi merupakan Ajang Pergulatan Intelektual Mahasiswa. Katanya, kru Edukasi
tidak akan melewatkan waktu dengan sia-sia, meski hanya satu detik. Katanya,
Edukasi mampu untuk mentransformasikan idealisme mahasiswa kearah yang lebih
baik. Katanya, katanya, dan semuanya katanya. Realitasnya? Ah sudahlah, aku
lelah membahasnya. Lewat tulisan ini, semoga bisa saling introspeksi diri,
sadar bahwa Edukasi saat ini masih diambang kehancuran. Kehancuran, karena tak
mampu lagi mewujudkan apa yang diharapkan.
Maaf
kalau pembahasan dalam Writting Challenge #3 kali ini terlalu serius. Tidak seperti
tulisannya Aam yang cerita tentang pengalaman pribadinya. Juga tak seperti
tulisannya Aziz (Mahasiswa dini dengan postur tubuh mungil, ngeyelan, ngecenan
dll, mirip dengan tokoh Ikhsan dalam film Taare Zameen Par), ia menulis tentang
pengalamannya di Edukasi bersama orang-orang yang menjadi inspiratornya. Yah begitulah.
Semoga tulisan ini, dengan segala keterbatasannya, bisa bermanfaat.
(@Baihaqi_Annizar)
3 komentar:
Sejak kapan suka nulis?
Sejak lahir bro...he he
Mantap...
Post a Comment