Selamat atas terpilihnya Ulfatul Qoyyimah menjadi Pimpinan Umum (PU) LPM Edukasi untuk periode 2016-2017. Dengan begitu, Ahmad Fahmi Ash Shiddiq—temen satu angkatan, katanya—resmi LENGSER dari jabatannya di LPM Edukasi. Emm, cup cup cup, jangan nangis, ntar tak beliin permen. Meskipun sudah demisioner, kalau mau tidur di kantor Edukasi gak papa kok, masih boleh...
Eh, ngomong-ngomong soal ‘demisioner’, saya juga sudah demisioner lho—kan kemarin sudah menjadi pengurus, he he. Bedanya, kalau ms Fahmi, mantan PU, sudah tidak bisa menjadi pengurus, saya masih bisa. Perbedaan lainnya, jika tahun kemarin PU-nya Bapak-bapak, sekarang PU-nya Ibu... Cie Ibu baru, bisa minta dimasakin tiap hari, yes...!
Tapi, beruntunglah yang
jadi PU adalah mba Ulpa—sapaan kecenya Ulfatul Qoyyimah. Karena apa, kalau
tahun kemarin PU-nya cuma bisa satu, sekarang semuanya bisa jadi ‘PU’. Aku dan
semua kru Edukasi bisa jadi ‘PU’= Pembantu Ulpa, he he. Kemarin Ahmad Amir
curhat, katanya mau mendaftarkan diri menjadi ‘PU’= Pendamping Ulpa. Itu,
bersaing ketat dengan Ahmad Fahmi yang juga mendaulat dirinya menjadi ‘PU’=
Pembimbing Ulpa, maklum, senior vroh.
LDR
Berbicara mengenai
pembimbing, saya jadi teringat dengan LDR. Ya, Long Distance Relationship (LDR) atau Hubungan Jarak Jauh. Garis
bawahi itu, saya mengartikan LDR—dalam hal ini—sebagai hubungan jarak jauh,
bukan pacaran jarak jauh. PU, baik PU terpilih maupun PU demisioner sekarang,
HARAMMM hukumnya mempunyai pacar, pasalnya dikhawatirkan nanti tidak fokus
mengurusi kader/kru.
Serius. Judul yang saya
usung dalam tulisan #WrittingChallenge kali
ini “Pentingnya LDR bagi PU”. Mengapa LDR penting bagi PU? Lalu, apa manfaat
dibalik itu? Semoga pertanyaan-pertanyaan itu dapat saya jelaskan dalam
kesempatan kali ini. Sebelumnya, perlu dipahami, bahwa yang saya maksud dalam
hal ini, LDR= Hubungan jarak jauh & PU= Pimpinan Umum LPM Edukasi.
Sebagai pemimpin sebuah
organisasi, sudah semestinya PU mampu untuk menjalin hubungan—atau dalam bahasa
PAI-nya, tali silaturahmi—dengan para seniornya. Ini, mungkin, akan bermanfaat
bagi kemajuan LPM Edukasi ke depan. Karena kita tahu bahwa senior merupakan
orang yang lebih dulu berproses. Dengan berlajar ke senior, kita bisa tahu
pengalaman masa lalu untuk dijadikan pijakan berlaku masa kini.
Tetapi umumnya,
sekarang para senior Edukasi sudah memiliki kesibukan masing-masing, yang itu
menuntut untuk tidak tinggal di Semarang lagi. Kecuali bagi senior yang
berdomisili asli Semarang. Hal ini membuat intensitas pendampingan terhadap
juniornya berkurang. Sehingga untuk mengantisipasi persoalan, PU harus
menggunakan sistem ‘jemput bola’ atau mendatangi seniornya dimana mereka
menetap sekarang.
Aktivitas seperti itu
dinyana kurang efektif, mengingat ada kesibukan lain selain mendatangi senior
untuk meminta informasi dan tanggapan untuk kemajuan Edukasi. Untungnya kita
hidup di zaman modern, dimana kita bisa berhubungan meski dengan jarak yang
relatif jauh. Kita bisa berkomunikasi lewat BBM, FB, Twitter, Line, WA, dan
masih banyak aplikasi lainnya. Inilah yang saya maksud dengan “Hubungan Jarak
Jauh” atau LDR-nya para PU.
Penting?
Lalu, kira-kira
seberapa penting itu? Dalam hal ini akan banyak perspektif. Dalam QS. An Nisa’
dikatakan, “...dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. Hadits riwayat al-Bukhari juga
menegaskan bahwa “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya
(kebaikannya) maka bersilaturahmilah.”
Silaturahmi dikatakan
dapat menambah rezeki, karena silaturahmi dapat memberi informasi tentang suatu
hal yang kadang dapat menunjukkan jalan kesuksesan. Wajar jika—dalam bahasa
statistiknya—terdapat korelasi positif antara ‘senior dan kesuksesan’. Pun dengan
istilah “Silaturahmi memperpanjang umur”, karena dalam silaturahmi (kadang) kita
akan tahu bahaya apa yang mengintai kita.
Tetapi itu tidak bisa
menjadi jaminan, karena banyak juga senior yang sampai sekarang juga masih
berusaha untuk ‘sukses’. Selaras dengan salah satu senior yang mengatakan, “Jangan pernah mengandalkan senior. Tapi...
jangan lupakan senior”. Dari situ
tersirat, senior itu jangan terlalu
diandalkan, karena yang menentukan kesuksesan adalah kita sendiri.
Nampaknya, saya sepakat
dengan statement tersebut, yang menentukan kesuksesan tetap kita sendiri.
Tetapi, senioritas juga tetap penting, apalagi bagi orang—seperti saya mungkin—yang
notabene masih ‘unyu-unyu’, tentunya butuh banyak bimbingan dari orang lain. Meskipun
saya juga sadar, kalau senior banyak tipikalnya, ada yang akan mengarahkan ke ‘kanan’
dan juga ke ‘kiri’. Karena setiap senior (acap kali) memiliki cara pandang
sendiri-sendiri.
Terlepas dari itu, pada
intinya, baik PU, saya, dan semuanya, jalinlah silaturahmi dengan baik dengan
siapa saja, karena itu (katanya) merupakan anjuran agama. Tetapi, hal yang tak
boleh dilupakan, “jangan mengharapkan sesuatu dari silaturahmi tersebut” biar
tidak tamak. Kalau mendapat manfaat ya alhamdulillah,
kalau tidak ya wes gak po po lha.
Maaf kalau pembahasan
di #WrittingChallenge5 dengan tema “LDR”
ini tidak saya bahas sebagaimana mestinya. Saya tidak berbicara LDR dalam
perspektif lebay, membahas fenomena galau kalangan muda yang sedang menjalin
pacaran jarak jauh. Tak membahas LDR-nya Agita yang sudah berlangsung
bertahun-tahun. Juga tidak menceritakan pengalamannya sewaktu kecil, seperti ms
Fahmi dan Aam yang katanya sudah pernah LDR. Tidak juga seperti Aziz yang ingin
bercerita LDR namun tak tahu apa itu LDR.
Yah sudahlah, semoga
coretan ini tetap sedikit ada manfaatnya, meski ditulis dengan alur yang tak
jelas. Semoga tetap berarti, meski tulisan yang harusnya deadline hari Minggu
tapi baru tak publish sekarang. Setidaknya,
saya tetap konsisten untuk tetap menulis minimal satu tulisan dalam satu
minggu. Bagi yang membaca, saya ucapkan terimakasih, semoga kamu besok tertarik
untuk ikut menulis.(@Baihaqi_Annizar)
0 komentar:
Post a Comment