Monday, January 11, 2016

Pentingnya LDR bagi PU



Selamat atas terpilihnya Ulfatul Qoyyimah menjadi Pimpinan Umum (PU) LPM Edukasi untuk periode 2016-2017. Dengan begitu, Ahmad Fahmi Ash Shiddiq—temen satu angkatan, katanya—resmi LENGSER dari jabatannya di LPM Edukasi. Emm, cup cup cup, jangan nangis, ntar tak beliin permen. Meskipun sudah demisioner, kalau mau tidur di kantor Edukasi gak papa kok, masih boleh... 

Eh, ngomong-ngomong soal ‘demisioner’, saya juga sudah demisioner lho—kan kemarin sudah menjadi pengurus, he he. Bedanya, kalau ms Fahmi, mantan PU, sudah tidak bisa menjadi pengurus, saya masih bisa. Perbedaan lainnya, jika tahun kemarin PU-nya Bapak-bapak, sekarang PU-nya Ibu... Cie Ibu baru, bisa minta dimasakin tiap hari, yes...!

Tapi, beruntunglah yang jadi PU adalah mba Ulpa—sapaan kecenya Ulfatul Qoyyimah. Karena apa, kalau tahun kemarin PU-nya cuma bisa satu, sekarang semuanya bisa jadi ‘PU’. Aku dan semua kru Edukasi bisa jadi ‘PU’= Pembantu Ulpa, he he. Kemarin Ahmad Amir curhat, katanya mau mendaftarkan diri menjadi ‘PU’= Pendamping Ulpa. Itu, bersaing ketat dengan Ahmad Fahmi yang juga mendaulat dirinya menjadi ‘PU’= Pembimbing Ulpa, maklum, senior vroh.

LDR

Berbicara mengenai pembimbing, saya jadi teringat dengan LDR. Ya, Long Distance Relationship (LDR) atau Hubungan Jarak Jauh. Garis bawahi itu, saya mengartikan LDR—dalam hal ini—sebagai hubungan jarak jauh, bukan pacaran jarak jauh. PU, baik PU terpilih maupun PU demisioner sekarang, HARAMMM hukumnya mempunyai pacar, pasalnya dikhawatirkan nanti tidak fokus mengurusi kader/kru.

Serius. Judul yang saya usung dalam tulisan #WrittingChallenge kali ini “Pentingnya LDR bagi PU”. Mengapa LDR penting bagi PU? Lalu, apa manfaat dibalik itu? Semoga pertanyaan-pertanyaan itu dapat saya jelaskan dalam kesempatan kali ini. Sebelumnya, perlu dipahami, bahwa yang saya maksud dalam hal ini, LDR= Hubungan jarak jauh & PU= Pimpinan Umum LPM Edukasi.

Sebagai pemimpin sebuah organisasi, sudah semestinya PU mampu untuk menjalin hubungan—atau dalam bahasa PAI-nya, tali silaturahmi—dengan para seniornya. Ini, mungkin, akan bermanfaat bagi kemajuan LPM Edukasi ke depan. Karena kita tahu bahwa senior merupakan orang yang lebih dulu berproses. Dengan berlajar ke senior, kita bisa tahu pengalaman masa lalu untuk dijadikan pijakan berlaku masa kini. 

Tetapi umumnya, sekarang para senior Edukasi sudah memiliki kesibukan masing-masing, yang itu menuntut untuk tidak tinggal di Semarang lagi. Kecuali bagi senior yang berdomisili asli Semarang. Hal ini membuat intensitas pendampingan terhadap juniornya berkurang. Sehingga untuk mengantisipasi persoalan, PU harus menggunakan sistem ‘jemput bola’ atau mendatangi seniornya dimana mereka menetap sekarang.

Aktivitas seperti itu dinyana kurang efektif, mengingat ada kesibukan lain selain mendatangi senior untuk meminta informasi dan tanggapan untuk kemajuan Edukasi. Untungnya kita hidup di zaman modern, dimana kita bisa berhubungan meski dengan jarak yang relatif jauh. Kita bisa berkomunikasi lewat BBM, FB, Twitter, Line, WA, dan masih banyak aplikasi lainnya. Inilah yang saya maksud dengan “Hubungan Jarak Jauh” atau LDR-nya para PU

Penting?

Lalu, kira-kira seberapa penting itu? Dalam hal ini akan banyak perspektif. Dalam QS. An Nisa’ dikatakan, “...dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Hadits riwayat al-Bukhari juga menegaskan bahwa “Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya (kebaikannya) maka bersilaturahmilah.”

Silaturahmi dikatakan dapat menambah rezeki, karena silaturahmi dapat memberi informasi tentang suatu hal yang kadang dapat menunjukkan jalan kesuksesan. Wajar jika—dalam bahasa statistiknya—terdapat korelasi positif antara ‘senior dan kesuksesan’. Pun dengan istilah “Silaturahmi memperpanjang umur”, karena dalam silaturahmi (kadang) kita akan tahu bahaya apa yang mengintai kita.

Tetapi itu tidak bisa menjadi jaminan, karena banyak juga senior yang sampai sekarang juga masih berusaha untuk ‘sukses’. Selaras dengan salah satu senior yang mengatakan,  “Jangan pernah mengandalkan senior. Tapi... jangan lupakan senior”. Dari situ  tersirat, senior itu  jangan terlalu diandalkan, karena yang menentukan kesuksesan adalah kita sendiri.

Nampaknya, saya sepakat dengan statement tersebut, yang menentukan kesuksesan tetap kita sendiri. Tetapi, senioritas juga tetap penting, apalagi bagi orang—seperti saya mungkin—yang notabene masih ‘unyu-unyu’, tentunya butuh banyak bimbingan dari orang lain. Meskipun saya juga sadar, kalau senior banyak tipikalnya, ada yang akan mengarahkan ke ‘kanan’ dan juga ke ‘kiri’. Karena setiap senior (acap kali) memiliki cara pandang sendiri-sendiri.

Terlepas dari itu, pada intinya, baik PU, saya, dan semuanya, jalinlah silaturahmi dengan baik dengan siapa saja, karena itu (katanya) merupakan anjuran agama. Tetapi, hal yang tak boleh dilupakan, “jangan mengharapkan sesuatu dari silaturahmi tersebut” biar tidak tamak. Kalau mendapat manfaat ya alhamdulillah, kalau tidak ya wes gak po po lha. 

Maaf kalau pembahasan di #WrittingChallenge5 dengan tema “LDR” ini tidak saya bahas sebagaimana mestinya. Saya tidak berbicara LDR dalam perspektif lebay, membahas fenomena galau kalangan muda yang sedang menjalin pacaran jarak jauh. Tak membahas LDR-nya Agita yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Juga tidak menceritakan pengalamannya sewaktu kecil, seperti ms Fahmi dan Aam yang katanya sudah pernah LDR. Tidak juga seperti Aziz yang ingin bercerita LDR namun tak tahu apa itu LDR.

Yah sudahlah, semoga coretan ini tetap sedikit ada manfaatnya, meski ditulis dengan alur yang tak jelas. Semoga tetap berarti, meski tulisan yang harusnya deadline hari Minggu tapi baru tak publish sekarang. Setidaknya, saya tetap konsisten untuk tetap menulis minimal satu tulisan dalam satu minggu. Bagi yang membaca, saya ucapkan terimakasih, semoga kamu besok tertarik untuk ikut menulis.(@Baihaqi_Annizar)

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More