Thursday, January 21, 2016

Belajar Toleran dan Rekatkan Persaudaraan

Saat foto bersama, ada Riza, Aku, Fitri, Wirda, Fatkhiyyah, Nkmah, dan Ngaenal
Pada hari Kamis (14/1) pekan lalu, saya dan tujuh teman lintas angkatan di LPM Edukasi, mengadakan refreshing dan belajar bersama di beberapa objek wisata di Semarang. Kegiatan ini menjadi semacam wahana pelepas penat, setelah lama berjibaku dengan proses perkuliahan selama satu semester. Kebetulah pada bulan Januari hingga akhir Februari mendatang kampus diliburkan. Lha... sebelum pulang ke habitat (rumah) masing-masing, ada yang usul untuk fieldtrip Kota Semarang terlebih dahulu.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya disepakatilah Vihara Budhagaya Watugong, Semarang, yang menjadi destinasi wisata pertama kami. Di vihara ini kami (terutama saya) telah belajar banyak tentang arti kebersamaan. Dimana kita bisa saling bersinggungan dengan umat lintas agama. Kita bisa berdialog, bercengkrama dengan umat Budha dengan khusuk tanpa ada larangan. Hal itu tentunya wajar, kita sebagai makhluk sosial tidak dianjurkan untuk membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. 

***
Kadang saya sedikit iri, kenapa masih banyak umat muslim yang belum bisa menerima keberagamaan?! Boro-boro lintas agama, sesama umat Islam hanya karena beda aliran pun kerap terjadi perselisihan. Sempat tergelitik hati saya saat mendengar ada Ormas Islam yang mengaggap najis bekas salatnya orang yang tidak sealiran dengan Ormas tersebut. Belum lagi melihat tingkah laku kelompok ISIS yang ingin memperjuangkan Islam total. Atas dasar mendirikan Khilafah Islamiyyah (Negara Islam) mereka mendesak formalisasi syari’at Islam, menolah Pancasila, UUD 1945, dan NKRI yang bersistem demokrasi.

Kelompok radikal, akan memahami doktrin Islam secara harfiah dan menolak interpretasi secara rasional maupun kontekstual terhadap al-Quran dan Hadits. Penganut aliran radikal cenderung tidak toleran terhadap aliran lain yang berbeda faham. Contoh riil-nya tak usah jauh-jauh, di UIN Walisongo pernah ada kejadian fenomenal. Pada sekitar awal bulan Juni 2014 lalu, beberapa mahasiswa aktivis PMII Gus Dur mengadakan acara Intervite Journey dengan mengunjungi berbagai tempat peribadatan lintas agama di Semarang, seperti masjid, gereja, vihara, klenteng, dll.

Pada satu sesi mereka mengikuti ritual Misa umat Kristiani untuk belajar bagaimana orang Kristen beribadah. Kebetulan saat itu ada yang mendokumentasikannya lewat kamera untuk selanjutnya di publish di media sosial Facebook (Fb). Tidak lama kemudian, status tersebut menuai pro kontra dari banyak pihak. Naasnya, tanpa mengetahui latar belakang yang jelas, banyak oknum yang langsung men-judge kafir terhadap mahasiswa-mahasiswa tersebut. Seperti akun FB dengan nama “Ghirah Islam” yang menanggapinya dengan membuat status “#IAIN sekolah kandang iblis liberal ...!! ...IAIN tersebar aliran dan pemikiran sesat..!!”.

Tidak hanya itu, dosen-dosen setempat yang seharusnya bisa lebih bijak, namun juga tak berbeda jauh dengan komentar oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab—meskipun tetap ada beberapa dosen yang mampu memandang persoalan ini dengan analisis yang lebih komprehensif. Bahkan mereka (dosen-dosen yang tak setuju) mengintimidasi mahasiswa terkait, salah satunya dengan mengancam nilai jelek. Mereka masih tertutup dengan orang beda agama, sehingga ketika melihat mahaisiwanya berdialog, belajar bersama dengan lintas agama, mereka masih tabu.

Asumsi saya, mungkin mereka tidak pernah dengar cerita Nabi Muhammad yang menjalin hubungan dengon orang non Islam dengan sangat harmonis. hh

Setelah semua diklarifikasi, baik dari pihak peserta Intervite Journey, dosen, pastur yang mamandu Misa, dan oknum yang meng-update status, akhirnya disimpulkan bahwa semuanya hanyalah salah paham. Dari sini dapat kita petik pelajaran, untuk jangan kegabah mengambil keputusan. Bisa jadi apa yang kita yakini kebenarannya, justru sebuah kesesatan/kesalahan. Hal lain yang tak kalah penting adalah, perlunya menanamkan sikap toleransi, agar seseorang sadar bahwa yang berbeda belum tentu salah.

***
Di Vihara Budhagaya Watugong Semarang saya banyak mendapatkan pelajaran. Pelajaran bagaimana hidup berdampingan dengan orang non Islam, buktinya saya tidak diusir saat berkunjunhg di vihara. Saling menghargai tanpa adanya diskriminasi dan intervensi. Saya juga sempat berbincang dengan wanita beragama Budha di sebelah belakang ruang Dhammasala (tempat peribadatan umat Budha). Rasanya, ya biasa-biasa saja, seperti halnya berbicara dengan teman sendiri. Selain belajar toleransi, di sana juga belajar bagaimana merekatkan persaudaraan, baik sesama maupun dengan non muslim.

Kita juga bisa memanfaatkan keelokan arsitektur Tiongkok ini dengan berfoto bareng-bareng. Banyak ikon menarik untuk menjadi objek bidikan kamera. Salah satu ikon terkenal di Vihara ini yaitu Pagoda Avalokitesvara (Metta Karuna) yang diresmikan pada tanggal 14 Juli 2006 oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto, saat itu. Ternyata, Pagoda yang memiliki tinggi 45 meter dengan tujuh tingkat ini dinyatakan oleh MURI sebagai Pagoda tertinggi di Indonesia. Keren kan.

Setelah lama mengitari seluruh areal Vihara, akhirnya saya, Nikmah, Wirda, Riza, Riska, Fitri, Fatkhiyyah, dan Ngaenal, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Masjid Baiturrahman, Semarang. Kala itu waktu sudah cukup sore, sehingga berniat untuk Salat Ashar di masjid yang terletak di kawasan Simpang Lima tersebut. Setelah itu, masih banyak kegiatan yang kami lakukan hingga menjelang tengah malam. Ada hal-hal lain yang tak kalah menarik, semoga bisa saya ceritakan di lain kesempatan. (@Baihaqi_Annizar)

2 komentar:

Hidup bertoleransi di negara multikultur dan multietnis seperti Indonesia ini sangat diperlukan agar tercipta kerukunan. Salam kenal.

Salam kenal juga
Terimakasih, ini lagi belajar menuju itu...

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More