Saat foto bersama, ada Riza, Aku, Fitri, Wirda, Fatkhiyyah, Nkmah, dan Ngaenal |
Setelah
melalui perdebatan panjang, akhirnya disepakatilah Vihara Budhagaya Watugong,
Semarang, yang menjadi destinasi wisata pertama kami. Di vihara ini kami
(terutama saya) telah belajar banyak tentang arti kebersamaan. Dimana kita bisa
saling bersinggungan dengan umat lintas agama. Kita bisa berdialog,
bercengkrama dengan umat Budha dengan khusuk tanpa ada larangan. Hal itu
tentunya wajar, kita sebagai makhluk sosial tidak dianjurkan untuk
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain.
***
Kadang
saya sedikit iri, kenapa masih banyak
umat muslim yang belum bisa menerima keberagamaan?! Boro-boro lintas agama,
sesama umat Islam hanya karena beda aliran pun kerap terjadi perselisihan. Sempat
tergelitik hati saya saat mendengar ada Ormas Islam yang mengaggap najis bekas
salatnya orang yang tidak sealiran dengan Ormas tersebut. Belum lagi melihat
tingkah laku kelompok ISIS yang ingin memperjuangkan Islam total. Atas dasar
mendirikan Khilafah Islamiyyah (Negara
Islam) mereka mendesak formalisasi syari’at Islam, menolah Pancasila, UUD 1945,
dan NKRI yang bersistem demokrasi.
Kelompok
radikal, akan memahami doktrin Islam secara harfiah dan menolak interpretasi
secara rasional maupun kontekstual terhadap al-Quran dan Hadits. Penganut
aliran radikal cenderung tidak toleran terhadap aliran lain yang berbeda faham. Contoh riil-nya tak usah jauh-jauh,
di UIN Walisongo pernah ada kejadian fenomenal. Pada sekitar awal bulan Juni
2014 lalu, beberapa mahasiswa aktivis PMII Gus Dur mengadakan acara Intervite Journey dengan mengunjungi
berbagai tempat peribadatan lintas agama di Semarang, seperti masjid, gereja,
vihara, klenteng, dll.
Pada
satu sesi mereka mengikuti ritual Misa umat Kristiani untuk belajar bagaimana
orang Kristen beribadah. Kebetulan saat itu ada yang mendokumentasikannya lewat
kamera untuk selanjutnya di publish di
media sosial Facebook (Fb). Tidak
lama kemudian, status tersebut menuai pro kontra dari banyak pihak. Naasnya,
tanpa mengetahui latar belakang yang jelas, banyak oknum yang langsung men-judge kafir terhadap mahasiswa-mahasiswa
tersebut. Seperti akun FB dengan nama “Ghirah Islam” yang menanggapinya dengan
membuat status “#IAIN sekolah kandang iblis liberal ...!! ...IAIN tersebar
aliran dan pemikiran sesat..!!”.
Tidak
hanya itu, dosen-dosen setempat yang seharusnya bisa lebih bijak, namun juga tak
berbeda jauh dengan komentar oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab—meskipun
tetap ada beberapa dosen yang mampu memandang persoalan ini dengan analisis
yang lebih komprehensif. Bahkan mereka (dosen-dosen yang tak setuju) mengintimidasi
mahasiswa terkait, salah satunya dengan mengancam nilai jelek. Mereka masih
tertutup dengan orang beda agama, sehingga ketika melihat mahaisiwanya
berdialog, belajar bersama dengan lintas agama, mereka masih tabu.
Asumsi
saya, mungkin mereka tidak pernah dengar cerita Nabi Muhammad yang menjalin
hubungan dengon orang non Islam dengan sangat harmonis. hh
Setelah
semua diklarifikasi, baik dari pihak peserta Intervite Journey, dosen, pastur yang mamandu Misa, dan oknum yang meng-update status, akhirnya disimpulkan
bahwa semuanya hanyalah salah paham. Dari sini dapat kita petik pelajaran,
untuk jangan kegabah mengambil keputusan. Bisa jadi apa yang kita yakini
kebenarannya, justru sebuah kesesatan/kesalahan. Hal lain yang tak kalah
penting adalah, perlunya menanamkan sikap toleransi, agar seseorang sadar bahwa
yang berbeda belum tentu salah.
***
Di
Vihara Budhagaya Watugong Semarang saya banyak mendapatkan pelajaran. Pelajaran
bagaimana hidup berdampingan dengan orang non Islam, buktinya saya tidak diusir
saat berkunjunhg di vihara. Saling menghargai tanpa adanya diskriminasi dan
intervensi. Saya juga sempat berbincang dengan wanita beragama Budha di sebelah
belakang ruang Dhammasala (tempat peribadatan umat Budha). Rasanya, ya
biasa-biasa saja, seperti halnya berbicara dengan teman sendiri. Selain belajar
toleransi, di sana juga belajar bagaimana merekatkan persaudaraan, baik sesama
maupun dengan non muslim.
Kita juga bisa memanfaatkan keelokan arsitektur Tiongkok ini dengan berfoto bareng-bareng. Banyak ikon menarik untuk menjadi objek bidikan kamera. Salah satu ikon terkenal di Vihara ini yaitu Pagoda Avalokitesvara (Metta Karuna) yang diresmikan pada tanggal 14 Juli 2006 oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto, saat itu. Ternyata, Pagoda yang memiliki tinggi 45 meter dengan tujuh tingkat ini dinyatakan oleh MURI sebagai Pagoda tertinggi di Indonesia. Keren kan.
Kita juga bisa memanfaatkan keelokan arsitektur Tiongkok ini dengan berfoto bareng-bareng. Banyak ikon menarik untuk menjadi objek bidikan kamera. Salah satu ikon terkenal di Vihara ini yaitu Pagoda Avalokitesvara (Metta Karuna) yang diresmikan pada tanggal 14 Juli 2006 oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto, saat itu. Ternyata, Pagoda yang memiliki tinggi 45 meter dengan tujuh tingkat ini dinyatakan oleh MURI sebagai Pagoda tertinggi di Indonesia. Keren kan.
Setelah
lama mengitari seluruh areal Vihara, akhirnya saya, Nikmah, Wirda, Riza, Riska,
Fitri, Fatkhiyyah, dan Ngaenal, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Masjid
Baiturrahman, Semarang. Kala itu waktu sudah cukup sore, sehingga berniat untuk
Salat Ashar di masjid yang terletak di kawasan Simpang Lima tersebut. Setelah
itu, masih banyak kegiatan yang kami lakukan hingga menjelang tengah malam. Ada
hal-hal lain yang tak kalah menarik, semoga bisa saya ceritakan di lain
kesempatan. (@Baihaqi_Annizar)
2 komentar:
Hidup bertoleransi di negara multikultur dan multietnis seperti Indonesia ini sangat diperlukan agar tercipta kerukunan. Salam kenal.
Salam kenal juga
Terimakasih, ini lagi belajar menuju itu...
Post a Comment