BAI
AS-SALAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Fikih Muamalah
Dosen
Pengampu: Bapak Ali Mukhtar
Disusun
oleh:
Iza Firdiyanah Rizqi (133111012)
Baihaqi (133111013)
Rizqi Ainunhayati (133111014)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 3A
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Rasulullah
SAW memberikan tuntunan, bahwa salah satu cara yang paling baik dan utama untuk
mencukupi kebutuhan hidup adalah lewat hasil pekerjaan dan usaha sendiri. Hal itu sebagaimana sabda
beliau “Tidaklah seseorang diantara kamu
makan suatu makanan lebih baik dari pada memakan hasil keringat sendiri” (HR. Baihaqi). Salah satu bentuk
pekerjaan yang dicontohkan nabi yaitu jual beli dalam kehidupan sehari-hari.
Saking
banyaknya dimensi jual beli, agama Islam-pun juga mengaturnya. Ada macam-macam
jual beli yang sejalan dengan syariat Islam, ada pula yang tidak sejalan. Salah
satu contoh yang sesuai syariat Islam yaitu Bai’
as-Salam yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah
disepakati dan dengan pembayaran tunai diawal. Adapun terkait dengan ruang
lingkup yang lainnya, maka pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahasanya.
Selamat menikmati...
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian Bai’assalam?
B. Apa saja syarat sahnya al-salam?
C. Apa saja contoh Bai’assalam?
D. Bagaimana manfaat transaksaksi
Bai’assalam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bai’ assalam
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha'
(الإعطاء) dan at-taslif
(التسليف).
Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil
al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit. Sedangkan
secara istilah syariah, akad salam
sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).
Jual-beli barang yang disebutkan
sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan
saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan
istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam
adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang
didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang
ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga
waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[1]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual
beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[2]
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh”
(Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan
didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli.
Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh
kepada uang dari harga barang.[3]
Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan
terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.[4]
Landasan syariah transaksi bai’
as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Di dalam kitab suci
al-Qur’an terdapat pada surat al-Baqarah ayat 282, yaitu:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ....
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[5]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya....[6]
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual
beli salam, dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah
menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.[7]
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan
keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’
as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu
tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia
lalu membaca ayat tersebut.[8]
Landasan
yang kedua adalah Hadist, yaitu:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ:
قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda:
"Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat
Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan
sesuatu."[9]
B.
Syarat Sahnya Al-Salam
Syarat-syarat
Akad
1. Menyatakan sighot, ijab dan qobul dengan
sighot yang telah disebutkan.
2. Pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan
harta.
Syarat
sah Perjanjian
1. Pembayaran dilakukan di majelis akad
sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan
2. Pihak pemesan secara kusus berhak
menetukan tempat penyerahan barang pesanan, jika ia membayar ongkos kirim
barang. Bila tidak memberikan ongkos kirim, maka pemesan tidak berhak menetukan
tempat penyerahan.
3. Akad salam secara kredit disyaratkan
tenggangnya harus diketahui.
Syarat
barang pesanan
1. Barang pesanan harus jelas jenis,
bentuk, kadar dan sifatnya.
2. Barang pesanan dapat diketahui kadarnya,
baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan per biji atau ukuran panjang
dengan satuan yang dapat di ketahui.
3. Barang pesanan harus berupa utang atau
sesuatu yang menjadi tanggungan.
4. Barang pesanan dapat diserahkan begitu
jatuh tempo penyerahan.[10]
C.
Aplikasi Salam pada sejumlah barang
1.
Barang Setengah Jadi
a.
Hewan
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh Salam pada hewan bagaimanapun keadannya. Hanafiyah berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas.
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh Salam pada hewan bagaimanapun keadannya. Hanafiyah berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas.
Para jumhur ulama,
mengatakan boleh salam pada hewan diqiyaskan pada bolehnya hutang padanya.
Jumhur berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Muslim. Dan hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tadi tidak kuat
b.
Daging dan Tulangnya
Hanfiyah tidak membolehkan
salam pada daging dengan tulangnya karena mengandung jahalah yang dapat
menyebabkan perselisihan dalam dua hal yaitu gemuk atau kurusnya.
Jumhur Ulama
mengatakan boleh salam pada daging dan tulangnya dengan syarat menetapkan
sifat, jenis dan ukurannya.
c.
Ikan
Hanafiyah membolehkan salam pada ikan akan tetapi dengan takaran yang berbeda antara ikan yang kecil dan ikan yang besar. Pada ikan yang kecil digunakan takaran dan timbangan untuk mengukurnya. Sedangkan pada ikan yang besar boleh digunakan timbangan apapun.
Menurut Jumhur, boleh melakukan salam pada ikan, seperti bolehnya salam pada hewan.
Hanafiyah membolehkan salam pada ikan akan tetapi dengan takaran yang berbeda antara ikan yang kecil dan ikan yang besar. Pada ikan yang kecil digunakan takaran dan timbangan untuk mengukurnya. Sedangkan pada ikan yang besar boleh digunakan timbangan apapun.
Menurut Jumhur, boleh melakukan salam pada ikan, seperti bolehnya salam pada hewan.
2.
Barang yang Sudah Jadi
a.
Pakaian
Hanafiyah tidak membolehkan salam pada pakaian karena jenis pakaian yang termasuk benda berbilang.
Hanafiyah tidak membolehkan salam pada pakaian karena jenis pakaian yang termasuk benda berbilang.
Sedangkan jumhur membolehkannya.
b.
Perabot
Hanafiyah berpendapat tidak boleh salam pada perabot baik yang bisa dipindahkan ataupun tidak. Karena ada perbedaan jauh antara kedua jenis barang ini. Tapi, boleh dengan menggunakan alat penimbang yang biasa digunakan oleh pedagang, dalam hal ini tidak ada perbedaan. Hukum inijuga berlaku pada kayu bakar, tidak boleh dengan ikatan, tapi boleh dengan timbangan.
Hanafiyah berpendapat tidak boleh salam pada perabot baik yang bisa dipindahkan ataupun tidak. Karena ada perbedaan jauh antara kedua jenis barang ini. Tapi, boleh dengan menggunakan alat penimbang yang biasa digunakan oleh pedagang, dalam hal ini tidak ada perbedaan. Hukum inijuga berlaku pada kayu bakar, tidak boleh dengan ikatan, tapi boleh dengan timbangan.
D.
Manfaat transaksi Bai’assalam
Keistimewaan
Bai’ Salam
-
Penjual
(muslam ilaih) mendapatkan surplus uang (kelebihan).
-
Pembeli
atau pemesan (muslam) mendapatkan barang murah karena pembayaran yang dilakukan
dimuka.
-
Menggerakkan
sector riil untuk ekonomi ummat.
Kekurangannya
-
Penjual
(muslam ilaih) beranggungjawab penuh atas kerusakan barang yang dipesan sebelum
diserahkan kepada pembeli atau pemesan (muslam).
-
Salah
satu pihak baik penjual atau pemesan akan mengalami kerugian ketika terjadi
inflasi.
Masalah-masalah yang
Biasa Terjadi pada Bai’ Salam
-
Perselisihan
dalam menentukan harga.
-
Mengambil
gadaian atau tanggungan.
-
Mengenai
hokum menjual barang pesanan sebelum diterima.
IV.
KESIMPULAN
Bai' as-Salam artinya pembelian barang yang diserahkan
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus
dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang,
dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as-Salam yang
berarti penyerahan, atau as-Salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama'
telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as-Salam harus dilakukan di muka
atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Telah
diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu
dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang
dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria.
Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh
kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka
berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan tidak terjadi
percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang pemakalah susun. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah
sendiri, serta dapat mempertebal iman dan taqwa kita kepada Allah SWT yang
telah memberikan kita akal pikiran sehingga kita dapat mempelajariapa yang
telah diciptakan oleh-Nya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
menyusun ataupun ketika menyampaikan makalah ini. Maka dari itu kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak tentu kami butuhkan demi memperbaiki
makalah kami berikutnya. Terima kasih.
[1] Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar,
(Beirut: Darul Fikr, 2008), h. 26
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 90.
[3] Ibrahim bin Fatih bin
Abd Al-Muqtadir, Uang Haram, (Jakarta:
Amzah, 2006), h. 21
[4] M. Fahin Khan, Essays in Islamic Economics, (Nigeria: The Islamic Foundation,
1995), h. 32.
[6] Al-Quran al-Karim.
[7] Abdurrahman al-Jaziry. Kitab Al-fiqh, (Beirut: Darul fikri,
2004), h. 244.
[8] Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama &
Cendekiawan, (Jakarta, 2006), h. 131
[9] Abu al-Walid M ibnu
Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.
[10] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii, (Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010), hal. 26-36.
0 komentar:
Post a Comment