Thursday, August 31, 2017

Makalah Bai As-Salam

BAI AS-SALAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fikih Muamalah
Dosen Pengampu: Bapak Ali Mukhtar


Disusun oleh:
Iza Firdiyanah Rizqi   (133111012)
Baihaqi                        (133111013)
Rizqi Ainunhayati       (133111014)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 3A
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
I.            PENDAHULUAN
Rasulullah SAW memberikan tuntunan, bahwa salah satu cara yang paling baik dan utama untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah lewat hasil pekerjaan dan  usaha sendiri. Hal itu sebagaimana sabda beliau “Tidaklah seseorang diantara kamu makan suatu makanan lebih baik dari pada memakan hasil keringat sendiri(HR. Baihaqi). Salah satu bentuk pekerjaan yang dicontohkan nabi yaitu jual beli dalam kehidupan sehari-hari.
Saking banyaknya dimensi jual beli, agama Islam-pun juga mengaturnya. Ada macam-macam jual beli yang sejalan dengan syariat Islam, ada pula yang tidak sejalan. Salah satu contoh yang sesuai syariat Islam yaitu Bai’ as-Salam yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai diawal. Adapun terkait dengan ruang lingkup yang lainnya, maka pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahasanya.
Selamat menikmati...
II.         RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Bai’assalam?
B.     Apa saja syarat sahnya al-salam?
C.     Apa saja contoh Bai’assalam?
D.    Bagaimana manfaat transaksaksi Bai’assalam?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bai’ assalam
Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف).  Keduanya  bermakna  pemberian. Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit. Sedangkan secara  istilah syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli barang yang disebutkan  sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf. Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[1]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[2]
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang.[3] Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.[4]
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Di dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada surat al-Baqarah ayat 282, yaitu:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ....
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[5] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....[6]
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam, dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.[7]
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.[8]
Landasan yang kedua adalah Hadist, yaitu:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[9]
B.     Syarat Sahnya Al-Salam
Syarat-syarat Akad
1.      Menyatakan sighot, ijab dan qobul dengan sighot yang telah disebutkan.
2.      Pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Syarat sah Perjanjian
1.      Pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan
2.      Pihak pemesan secara kusus berhak menetukan tempat penyerahan barang pesanan, jika ia membayar ongkos kirim barang. Bila tidak memberikan ongkos kirim, maka pemesan tidak berhak menetukan tempat penyerahan.
3.      Akad salam secara kredit disyaratkan tenggangnya harus diketahui.
Syarat barang pesanan
1.      Barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar dan sifatnya.
2.      Barang pesanan dapat diketahui kadarnya, baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan per biji atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat di ketahui.
3.      Barang pesanan harus berupa utang atau sesuatu yang menjadi tanggungan.
4.      Barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.[10]

C.    Aplikasi Salam pada sejumlah barang
1.      Barang Setengah Jadi
a.       Hewan
Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh Salam pada hewan bagaimanapun keadannya. Hanafiyah berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas.
Para jumhur ulama, mengatakan boleh salam pada hewan diqiyaskan pada bolehnya hutang padanya. Jumhur berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Muslim. Dan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tadi tidak kuat
b.      Daging dan Tulangnya
Hanfiyah tidak membolehkan salam pada daging dengan tulangnya karena mengandung jahalah yang dapat menyebabkan perselisihan dalam dua hal yaitu gemuk atau kurusnya.
Jumhur Ulama mengatakan boleh salam pada daging dan tulangnya dengan syarat menetapkan sifat, jenis dan ukurannya.
c.       Ikan
Hanafiyah membolehkan salam pada ikan akan tetapi dengan takaran yang berbeda antara ikan yang kecil dan ikan yang besar. Pada ikan yang kecil digunakan takaran dan timbangan untuk mengukurnya. Sedangkan pada ikan yang besar boleh digunakan timbangan apapun.
Menurut Jumhur, boleh melakukan salam pada ikan, seperti bolehnya salam pada hewan.
2.      Barang yang Sudah Jadi
a.       Pakaian
Hanafiyah tidak membolehkan salam pada pakaian karena jenis pakaian yang termasuk benda berbilang.
Sedangkan jumhur membolehkannya.
b.      Perabot
Hanafiyah berpendapat tidak boleh salam pada perabot baik yang bisa dipindahkan ataupun tidak. Karena ada perbedaan jauh antara kedua jenis barang ini. Tapi, boleh dengan menggunakan alat penimbang yang biasa digunakan oleh pedagang, dalam hal ini tidak ada perbedaan. Hukum inijuga berlaku pada kayu bakar, tidak boleh dengan ikatan, tapi boleh dengan timbangan.

D.    Manfaat transaksi Bai’assalam
Keistimewaan Bai’ Salam
-          Penjual (muslam ilaih) mendapatkan surplus uang (kelebihan).
-          Pembeli atau pemesan (muslam) mendapatkan barang murah karena pembayaran yang dilakukan dimuka.
-          Menggerakkan sector riil untuk ekonomi ummat.
Kekurangannya
-          Penjual (muslam ilaih) beranggungjawab penuh atas kerusakan barang yang dipesan sebelum diserahkan kepada pembeli atau pemesan (muslam).
-          Salah satu pihak baik penjual atau pemesan akan mengalami kerugian ketika terjadi inflasi.
Masalah-masalah yang Biasa Terjadi pada Bai’ Salam
-          Perselisihan dalam menentukan harga.
-          Mengambil gadaian atau tanggungan.
-          Mengenai hokum menjual barang pesanan sebelum diterima.

IV.             KESIMPULAN
Bai' as-Salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as-Salam yang berarti penyerahan, atau as-Salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as-Salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang pemakalah susun. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri, serta dapat mempertebal iman dan taqwa kita kepada Allah SWT yang telah memberikan kita akal pikiran sehingga kita dapat mempelajariapa yang telah diciptakan oleh-Nya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam menyusun ataupun ketika menyampaikan makalah ini. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak tentu kami butuhkan demi memperbaiki makalah kami berikutnya. Terima kasih.




[1] Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), h. 26
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 90.
[3] Ibrahim bin Fatih bin Abd Al-Muqtadir, Uang Haram, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 21
[4] M. Fahin Khan, Essays in Islamic Economics, (Nigeria: The Islamic Foundation, 1995), h. 32.
[5] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
[6] Al-Quran al-Karim.
[7] Abdurrahman al-Jaziry. Kitab Al-fiqh, (Beirut: Darul fikri, 2004), h. 244.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, (Jakarta, 2006), h. 131
[9] Abu al-Walid M ibnu Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.
[10]  Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii, (Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010), hal. 26-36.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More