Monday, April 6, 2015

Pro-Kontra Kasus Semen Rembang

Doc.Internet.
DEWASA ini Pulau Jawa sedang mengalami masa kritis jika dilihat dari buruknya daya dukung terhadap lingkungan dan tingginya konflik agrariya. Ironisnya izin-izin penambangan masih terus eksis dengan mengonversi daerah tangkapan air, hutan, dan kawasan pertanian. Begitulah gambaran kesenjangan sosial yang diungkapkan oleh Gunretno, seorang yang gigih dan tetap kukuh mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya dari para pemilik modal yang ingin mendirikan Pabrik Semen di daerahnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Hendro Sangkoyo, peneliti pada School of Democratic Economics menyatakan, dari tahun 2003-2013, izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa mencapai 1.000-an dengan total wilayah yang akan dikonversi 471.378 hektar. Data tersebut belum termasuk lahan yang dikuasai blok minyak, calon tapak semen, ekstraksi perusahaan air, konversi untuk properti dan kawasan industri baru, serta infrastruktur industri internasional.

Melihat konversi lahan besar-besaran tersebut, situasi Jawa ke depan bisa dipastikan makin mengerikan dan sangat rentan konflik. Apalagi jika melihat 50 persen penduduk Indonesia adalah tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap masuknya industri ekstraktif di Jawa berpotensi bersinggungan dengan masyarakat. Contohnya, konflik terkait pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang dan Pati, Jawa Tengah. Akibatnya, terdapat dua kubu yang saling berseteru. Pihak ‘kontra’ (para petani) yang tidak setuju, melawan pihak ‘pro’ yang sepakat dengan pendirian pabriki semen.

Argumen pihak Pro Semen

Menurut Waid, warga Timbranan, Rembang, menuturkan, alasan mereka setuju dengan pendirian pabrik semen yaitu dengan mempertimbangkan daya serap tenaga kerja yang tinggi. ”Dulu itu banyak pengangguran didesa kami, sekarang baru saja pabrik semen mulai didirikan, itu rekruitmen pekerjanya sudah banyak, kalau didesa saya sudah hampir mencapai 80 persen,” ungkapnya ketika diwawancarai saat melakukan aksi dukung semen di Pengadilan dan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis (2/4).

Waid yang mengatasnamakan wakil dari pihak Pro Semen menambahkan, alasan lainnya yakni, jika menilik masa lalu, di desa Timbranan banyak sekali pengangguran. Bahkan tidak sedikit dari kaum muda yang kerap melakukan hal anarkis dan mencuri. Maka wajar jika ada tawaran kerja yang menjanjikan, bagi mereka adalah sebuah peluang yang baik. ”Anak muda kan terus terang saja tidak suka sama bertani, mereka semua ingin merubah hidupnya,” tuturnya.

Adapun alasan tentang pembelaan dampak yang ditimbulkan dari pendirian Pabrik Semen, Waid menegaskan, ia sudah kenal lama di dunia pertambangan, buktinya lahan-lahan dekat pertambangan masih bisa subur, saat panen masih bisa mencapai hasil yang cukup memuaskan. ”Pokoknya alasan yang tepat bagi kami, kita kan kebetulan masih muda-muda, jadi kami butuh kerja,” tandasnya.

Argumen pihak Kontra

Menanggapai hal tersebut, Gunretno yang merupakan warga penolak Pabrik Semen menjelaskan, jika selama ini pihak Pro Semen mengatakan bahwa adanya pabrik semen dapat menyerap tenaga kerja, maka baginya hitungan mereka tidak komprehensif. Ia berani mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja yang diperhitungkan masih sangat sedikit dan sangat tidak sebanding dengan apa yang telah direbut kaum kapital. ”Aku wani ngomong, ora ono sak pucuk  kuku irenge karo peyerapan tenaga kerja di kawasan pertanian,” tegasnya.

Tambahnya, jika melihat contoh yang ada, kasus semen di Pati, rencananya akan menggunakan batu kapur 2025 hektar, tanah liat 663 hektar, kemudian, lahan yang diperlukan untuk calon tapak pabrik seluas 180 hektar. Jika diakumulasi hampir mencapai 2900 hektar. ”Kepemilikan lahan pertanian semakin sedikit. Jika sudah diambil segitu, maka semakin habis tanahnya. Ini ancaman tentang kepemilikan tanah,” keluhnya.

Tentang penyerapan tenaga kerja, Kang Gun, sapaan akrabnya, mengklarifikasi, dari luas lahan 900 hektar calon pertambangan semen, akan menyerap tenaga kerja sebanyak 1600 orang untuk tahap konstruksi (membangun jalan, membangun pabrik, dll). ”Jika pabriknya sudah jadi, maka tenaga kerja (1600 orang yang senang karena mendapat pekerjaan baru tersebut) tidak diperlukan lagi,” paparnya.

Pasca operasional tersebut, tambahnya, hanya akan dibutuhkan sebanyak 800 orang untuk bekerja. Dari total 800 orang ini, pastinya yang diserap adalah usia produktif dan yang mempunyai ijazah. Padahal jika dihitung-hitung, hampir dari 200 hektar lahan tersebut adalah milik warga dari dua kecamatan. ”Dari sini muncul pertanyaan, berapakah usia produktif di dua kecamatan? Di serap 800 orang, maka tidak ada 2 persennya yang terserap, itu belum dibandingkan dengan hilangnya lahan kerja yang menyerap tenaga kerja,” tandasnya.

Berdasarkan evaluasi ekonomi Kang Gun, pertambangan itu tidak bisa menghidupi dua generasi manusia, dalam kata lain proyeksinya hanya dalam skala jangka pendek. Contoh saja Semen Gresik, sekarang sudah tidak berlokasi di daerah Gresik, tapi pindah ke Tuban, Jawa Timur, walaupun namanya sampai sekarang tetap Semen Gresik. ”Pertanyaanya, apakah ada kondisi reklamasi disitu? Tidak ada,” tegas Kang Gun.

Bentuk reklamasinya hanya sebatas penjualan tanah dengan harga murah, kemudian di dirikan perumahan-perumahan. Tetapi kondisi udara di Gresik tetap panas, karena masih ada dampak bekas pertambangan semen. “Jadi tidak masuk akal jika ada yang mengatakan pabrik semen itu mampu mengelola lingkungan,” tandasnya.

Tulisan ini pernah di muat di lpmedukasi.com


0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More