Doc.Internet. |
DEWASA ini Pulau Jawa sedang mengalami masa kritis jika
dilihat dari buruknya daya dukung terhadap lingkungan dan tingginya konflik
agrariya. Ironisnya izin-izin penambangan masih terus eksis dengan mengonversi
daerah tangkapan air, hutan, dan kawasan pertanian. Begitulah gambaran
kesenjangan sosial yang diungkapkan oleh Gunretno, seorang yang gigih dan tetap
kukuh mempertahankan tanah warisan nenek moyangnya dari para pemilik modal yang
ingin mendirikan Pabrik Semen di daerahnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Hendro Sangkoyo,
peneliti pada School of Democratic Economics menyatakan, dari tahun 2003-2013, izin
usaha pertambangan (IUP) di Jawa mencapai 1.000-an dengan total wilayah yang
akan dikonversi 471.378 hektar. Data tersebut belum termasuk lahan yang
dikuasai blok minyak, calon tapak semen, ekstraksi perusahaan air, konversi
untuk properti dan kawasan industri baru, serta infrastruktur industri
internasional.
Melihat konversi lahan besar-besaran tersebut, situasi Jawa
ke depan bisa dipastikan makin mengerikan dan sangat rentan konflik. Apalagi jika
melihat 50 persen penduduk Indonesia adalah tinggal di Pulau Jawa sehingga
setiap masuknya industri ekstraktif di Jawa berpotensi bersinggungan dengan
masyarakat. Contohnya, konflik terkait pembangunan pabrik Semen Indonesia di
Rembang dan Pati, Jawa Tengah. Akibatnya, terdapat dua kubu yang saling
berseteru. Pihak ‘kontra’ (para petani) yang tidak setuju, melawan pihak ‘pro’
yang sepakat dengan pendirian pabriki semen.
Argumen pihak Pro Semen
Menurut Waid, warga Timbranan, Rembang, menuturkan, alasan
mereka setuju dengan pendirian pabrik semen yaitu dengan mempertimbangkan daya
serap tenaga kerja yang tinggi. ”Dulu itu banyak pengangguran didesa kami,
sekarang baru saja pabrik semen mulai didirikan, itu rekruitmen pekerjanya
sudah banyak, kalau didesa saya sudah hampir mencapai 80 persen,” ungkapnya
ketika diwawancarai saat melakukan aksi dukung semen di Pengadilan dan Tata
Usaha Negara (PTUN) Semarang, Kamis (2/4).
Waid yang mengatasnamakan wakil dari pihak Pro Semen menambahkan,
alasan lainnya yakni, jika menilik masa lalu, di desa Timbranan banyak sekali
pengangguran. Bahkan tidak sedikit dari kaum muda yang kerap melakukan hal
anarkis dan mencuri. Maka wajar jika ada tawaran kerja yang menjanjikan, bagi
mereka adalah sebuah peluang yang baik. ”Anak muda kan terus terang saja tidak
suka sama bertani, mereka semua ingin merubah hidupnya,” tuturnya.
Adapun alasan tentang pembelaan dampak yang ditimbulkan dari
pendirian Pabrik Semen, Waid menegaskan, ia sudah kenal lama di dunia
pertambangan, buktinya lahan-lahan dekat pertambangan masih bisa subur, saat
panen masih bisa mencapai hasil yang cukup memuaskan. ”Pokoknya alasan yang
tepat bagi kami, kita kan kebetulan masih muda-muda, jadi kami butuh kerja,” tandasnya.
Argumen pihak Kontra
Menanggapai hal tersebut, Gunretno yang merupakan warga
penolak Pabrik Semen menjelaskan, jika selama ini pihak Pro Semen mengatakan
bahwa adanya pabrik semen dapat menyerap tenaga kerja, maka baginya hitungan
mereka tidak komprehensif. Ia berani mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja
yang diperhitungkan masih sangat sedikit dan sangat tidak sebanding dengan apa
yang telah direbut kaum kapital. ”Aku
wani ngomong, ora ono sak pucuk kuku
irenge karo peyerapan tenaga kerja di kawasan pertanian,” tegasnya.
Tambahnya, jika melihat contoh yang ada, kasus semen di Pati,
rencananya akan menggunakan batu kapur 2025 hektar, tanah liat 663 hektar, kemudian,
lahan yang diperlukan untuk calon tapak pabrik seluas 180 hektar. Jika diakumulasi
hampir mencapai 2900 hektar. ”Kepemilikan lahan pertanian semakin sedikit. Jika
sudah diambil segitu, maka semakin habis tanahnya. Ini ancaman tentang
kepemilikan tanah,” keluhnya.
Tentang penyerapan tenaga kerja, Kang Gun, sapaan akrabnya, mengklarifikasi,
dari luas lahan 900 hektar calon pertambangan semen, akan menyerap tenaga kerja
sebanyak 1600 orang untuk tahap konstruksi (membangun jalan, membangun pabrik,
dll). ”Jika pabriknya sudah jadi, maka tenaga kerja (1600 orang yang senang
karena mendapat pekerjaan baru tersebut) tidak diperlukan lagi,” paparnya.
Pasca operasional tersebut, tambahnya, hanya akan dibutuhkan
sebanyak 800 orang untuk bekerja. Dari total 800 orang ini, pastinya yang
diserap adalah usia produktif dan yang mempunyai ijazah. Padahal jika
dihitung-hitung, hampir dari 200 hektar lahan tersebut adalah milik warga dari
dua kecamatan. ”Dari sini muncul pertanyaan, berapakah usia produktif di dua
kecamatan? Di serap 800 orang, maka tidak ada 2 persennya yang terserap, itu
belum dibandingkan dengan hilangnya lahan kerja yang menyerap tenaga kerja,”
tandasnya.
Berdasarkan evaluasi ekonomi Kang Gun, pertambangan itu tidak
bisa menghidupi dua generasi manusia, dalam kata lain proyeksinya hanya dalam
skala jangka pendek. Contoh saja Semen Gresik, sekarang sudah tidak berlokasi
di daerah Gresik, tapi pindah ke Tuban, Jawa Timur, walaupun namanya sampai
sekarang tetap Semen Gresik. ”Pertanyaanya, apakah ada kondisi reklamasi
disitu? Tidak ada,” tegas Kang Gun.
Bentuk reklamasinya hanya sebatas penjualan tanah dengan
harga murah, kemudian di dirikan perumahan-perumahan. Tetapi kondisi udara di Gresik
tetap panas, karena masih ada dampak bekas pertambangan semen. “Jadi tidak
masuk akal jika ada yang mengatakan pabrik semen itu mampu mengelola
lingkungan,” tandasnya.
Tulisan ini pernah di muat di lpmedukasi.com
Tulisan ini pernah di muat di lpmedukasi.com
0 komentar:
Post a Comment