KONVERSI IAIN MENJADI UIN
Makalah disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Al-Quran dan Iptek
Dosen Pengampu: Luthfiyah S.Ag, MS.I
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini lembaga pendidikan Tinggi Islam Negeri memasuki
fase baru, yaitu suatu keadaan ruang lingkup program akademis yang dilaksanakan
dalam bentuk Institut tidak sesuai lagi dan perlu di kembangkan kepada ruang lingkup
program akdemis yang lebih luas dalam bentuk Universitas. Konversi Institut
menjadi Universitas ini sebenarnya sudah lama di rintis oleh para pendahulu
pendiri IAIN. Rencana pengembangan IAIN menjadi UIN kini semakin diintensifkan.
Namun bersamaan dengan itu masih terdapat berbagai kekhawatiran dan permasalahan
lainnya, yang perlu segera diatasi agar rencana konversi IAIN menjadi UIN itu
dapat di wujudkan. Perubahan itu sendiri tidaklah begitu sulit sepanjang pihak
yang berwenang setuju, tetapi yang amat penting dipertimbangkan adalah implikasi
dari perubahan itu, antara lain tenaga pengajar, fasilitas dan sarana, dana,
konsep keilmuan, dan banyak lagi yang lain. Semuanya menunggu pematangan untuk
berdirinya Universitas Islam Negeri, pembinaan dan perhatian terhadap IAIN
adalah suatu keharusan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
latar belakang dan tujuan konversi IAIN menjadi UIN?
B. Mengapa
perlu pengembangan program studi umum dari IAIN ke UIN?
C. Apa
dampak positif dan negetif konversi IAIN menjadi UIN?
III.
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang dan Tujuan Konversi IAIN menjadi UIN
Selama
ini IAIN hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Perkembanganya dimulai dari
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADAIA), berkembang menjadi Perguruan Tinggi Islam
(PTAIN), setelah itu berkembang lagi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Akhir-akhir ini dirasakan bentuk institut itu perlu dikembangkan lagi menjadi
universitas. Berikut beberapa alasan mengapa IAIN sebaiknya dikembangkan
menjadi UIN:
1. Kita
memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
Islam
adalah agama yang lengkap yang mencakupi seluruh sistem kehidupan. Islam tidak
hanya berisi tuntunan tentang kepercayaan dan peribadatan ritual melainkan juga
tuntunan dalam hal mengatur urusan selain itu. Itu berarti setiap muslim harus
mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ini dapat dilakukan bila ia
belajar di universitas Islami.
Banyak
sekali masalah umat muslim yang tidak dapat di selesaikan secara sempurna
dengan hanya menggunakan teori-teori peengetahuan agama seperti selama ini.
Masalah-maslah itu baru dapat diselesaikan secara sempurna bia menggunakan juga
teori-teori pengetahuan umum. Untuk tujuan ini IAIN harus menjadi UIN.
2. Ilmu
agama memerlukan ilmu umum
Pada
IAIN dibuka banyak fakultas dan jurusan, semua jurusan itu adalah jurusan yang
mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Pendalaman ilmu agama Islam itu memerlukan
bantuan ilmu umum. Jadi untuk meningkatkan ilmu agama diperlukan bantuan ilmu
umum. Kebutuhan itu secara perlahan akan terpenuhi bila IAIN dikembangkan
menjadi UIN.
3. Meningkatkan
harga diri sarjana dan mahasiswa muslim
Masuknya
ilmu umum ke IAIN bila telah menjadi universitas akan dapat meningkatkan harga
diri sarjana dan mahasiswa muslim. Selama ini sarjana dan mahasiswa muslim
kurang dikenal di kalangan sarjana dan mahasiswa lainnya. Sebabanya antara lain
karena sarjana dan mahasiswa muslim hanya berkiprah dalam ilmu keagamaan,
khususnya islam. Bila IAIN dikembangkan menjadi universitas islami maka
lapangan kiprah sarjana dan mahasiswa muslim akan lebih luas.
4. Menghilangkan
paham dikotomi agama-umum
Dikotomi
antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum tidaklah sesuai dengan ajaran
Islam. Paham ini harus dihilangkan. Penyatuan kembali pengetahuan agama dan
pengetahuan umum dapat dilakukan secara sistematik di universitas islami.
5. Memenuhi
harapan masyarakat muslim
Banyak
sekali orangtua mahasiswa yang berharap anaknya menjadi sarjana dalam ilmu umum
yang memilki iman yang teguh dan mengetahui juga dasar-dasar agama Islam.
Harapan itu besar kemungkinan dapat dipenuhi bila anaknya belajar di
universitas islami.
6. Memenuhi
kebutuhan lapangan kerja
Sekarang
ini, di Indonesia, banyak lapangan kerja yang spesifik Islami. Lapangan kerja
itu membutuhkan tenaga kerja muslim yang ahli di bidang itu. Di lapangan
ekonomi misalnya sudah ada bank islami. Bank islami itu berhubungan dengan
perekonomian islami. Lembaga pendidikan islami sebaiknya mampu menghasilkan
tenaga kerja yang menguasai teori-teori ekonomi islami. Tenaga itu dapat
dihasilkan oleh universitas islami.[1]
B. Pengembangan
Program Studi Umum dari IAIN menjadi UIN
Akhir-akhir
ini banyak masyarakat yang mempertanyakan program studi umum di lingkungan
IAIN. Pertanyaan yang biasa dimunculkan adalah untuk apa program studi tersebut
dibuka dan dikembangkan didalamnya, apakah tidak cukup hanya mengurusi
bidang-bidang keagamaan saja sesuai dengan institusinya atau departemen yang
mengurusinya, yaitu Departemen Agama.
Pertanyaan
tersebut perlu dicarikan argumentasi dan landasan-landasannya, agar masyarakat
dapat memahami eksistensinya serta tidak terjadi misunderstanding (salah paham). Pembukaan program studi umum di
IAIN setidak-tidaknya dilandasi oleh 4 aspek, yaitu: normatif-teologis;
filosofis; historik; dan adanya kritik terhadap eksistensi IAIN yang menuntut
pengembangan kelembagaan di lingkungan departemen agama itu sendiri.
1. Landasan
Normatif-Teologis
Dilihat
dari aspek normatif-teologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan pada
pemeluknya untuk memasuki Islam secara kaffah
(menyeluruh) sebagai lawan dari ber-Islam yang parsial.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
(QS. al-Baqarah: 208).
Islam
yang kaffah menggaris bawahi terwadahinya berbagai aspek kehidupan dalam
Islam. Pengembangan IAIN dengan demikian, bertolak dari suatu pandangan bahwa pendidikan
tinggi Islam merupakan suatu wahana pengembangan pandangan hidup yang islami,
untuk dimanifestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidupnya (manual
maupun mental-sosial) selaras dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang
keahliannya masing-masing. Pandangan ini berimplikasi pada pendidikan Islam
yang berorientasi pada peningkatan kualitas iman dan taqwa, atau bahkan imam
bagi orang yang bertaqwa. Taqwa ini terwujud dalam dua sikap yaitu itba’ syari’at Allah dan itba’ sunnattillah.
Sikap
orang itba’ syari’at Allah, ditandai
dengan: (1) senantiasa membaca dan memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar
yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-sunnah; (2) berusaha
menghayatinya sambil memposisikan diri sebagai pelaku ajaran Islam yang loyal,
disamping sebagai pemikir, penalar dan pengkaji; (3) memiliki commitment yang
tinggi terhadap ajaran Islam; dan (4) siap berdedikasi dalam rangka menegakkan
ajaran dan nilai-nilai Islam yang rahmatan
li al-‘alamin. Sedangkan sikap orang yang itba’ sunnatillah ditandai dengan: (1) senantiasa membaca dan
memahami fenomena alam, fenomena fisik dan psikhis, dan fenomena
sosial-historis, serta fenomena lainnya; (2) memposisikan diri sebagai
pengamat, pengkaji atau researcher
(peneliti), sehingga memiliki daya analisis yang tajam, kritis dan dinamis
dalam memahami fenomena yang ada disekitarnya; (3) senantiasa berusaha
membangun kepekaan intelektual serta kepekaan informasi; dan (4) karena
masing-masing orang mempunyai bakat, kemampuan dan minat tertentu, maka dalam itba’ sunnatillah perlu disesuaikan
dengan kemampuan dan keahlian masing-masing, sehingga terwujudlah kematangan
profesionalisme.
2. Landasan
Filosofis
Dilihat
dari aspek filosofis, paradigma
pendidikan Islam adalah sebagai upaya pengembangan pandangan hidup Islami, yang
diwujudkan dalam sikap hidup dan dimanifestasikan dalam keterampilan hidup
sehari-hari. Kehidupan yang Islami menggarisbawahi perlunya bangunan ontologi, epistomologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan yang tidak
hanya meyakini kebenaran sensual-indrawi, rasional-logik, dan etik-insani,
tetapi juga mengakui dan meyakini kebenaran transendental atau kebenaran
intuitif.
Secara
ontologis, ilmu pengetahuan agaknya
bersifat netral, dalam arti ia tidak dapat bersifat Islami, kapitalis,
sosialis, komunis dan lain-lain. Tetapi, ketika menjelaskam perubahan yang ada
atau yang akan terjadi, dan/atau menerangkan cara memanfaatkan hukum alam dan
mengarahkannya ke arah tertentu, maka ilmu pengetahuan tidak benar bersifat
netral. Atas dasar inilah, maka ilmu pengetahuan tidak hanya mengajarkan “yang
ada” (existence) yang dalam hal ini
dapat disebut netral, tetapi juga mengajarkan “yang akan ada” (will exist), bagaimana mempergunakan hakekat
alam semesta dan hukum-hukumnya atau temuan-temuan ilmu pengetahuan, serta
bagaimana mengarahkannya ke arah tertentu. Dalam hal ini, ada dua pilihan
yaitu, pilihan illahi (kebenaran) atau pilihan manusiawi (hawa nafsu).
Pengembangan
pendidikan islam, dengan demikian, bertolak dari konstruk pemikiran atau
epistemologi bahwa yang vertikal
(ajaran dan nilai-nilai ilahi) merupakan sumber konsultasi, sentral dan
didudukan sebagai ayat, furqan, hudan, dan rahmah. Sedangkan yang horizontal (pendapat, konsep, teori,
temuan-temuan ilmu pengetahuan dari sarjana muslim atau non muslim, dan
sebagainya) berada dalam posisi sejajar yang saling terjadi sharing ideas,
untuk selanjutnya dikonsultasikan pada ajaran dan nilai-nilai ilahi, terutama
yang menyangkut will exist atau
dimensi aksiologis.
3. Landasan
Historik
Dilihat
dari aspek historik, secara garis
besar sejarah Islam,
menurut Harun Nasution (1995) dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu: periode
klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern ( 1800 M s.d sekarang). Dalam
realitas sejarahnya, periode klasik menggambarkan masa kejayaan keemasan atau
kemajuan dunia Islam;
masa pertengahan menggambarkan masa kemunduran dunia Islam; dan periode modern
menggambarkan masa kebangkitan dunia Islam.
Dengan
menyimak pengalaman historik tersebut, maka pengembangan berbagai program studi
umum di PTI berusaha menangkap ibrah serta mengembangkan nilai-nilai, sikap dan
cara berpikir dan perilaku ulama (ilmuan), karena hal itu dianggap mampu
menghadapi tantangan yang makin banyak dan ruwet, yang ditimbulkan oleh
kemajuan IPTEK dan perubahan sosial yang begitu pesat. Sebagai implikasinya,
sistem pendidikan yang dibangun dan dikembangkan lewat IAIN merupakan perpaduan
yang sistematis dan integral antara itba’
syari’ah Allah dan itba’ sunnatillah
dalam struktur kurikulumnya, sehingga diharapkan mampu menghasilkan ulama yang
bersikap rasional dan profesional, berpandangan luas, berbudi pekerti luhur,
pengetahuannya tidak terbatas pada “ilmu keagamaan” saja, tetapi juga mencakup
“ilmu pengetahuan umum”, serta mampu berdiri sendiri (mandiri).[2]
4. Kritik
Terhadap pengembangan
Ilmu
Pengetahuan
yang diajarkan di IAIN dan UIN
Selama
ini kajian yang berkembang di IAIN, sebagai mana tercermin dalam fakultas-fakultas
dan jurusan-jurusan yang ada, hanya terbatas pada pengembangan Ilmu Pengetahuan agama Islam yang terkait langsung dengan itba’ syari’ah Allah. Pengembangan
semacam itu ternyata telah mendapat kritik, yaitu bahwa paradigma yang
mendasari IAIN dewasa ini dianggap kurang relevan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan tuntutan pembangunan nasional, karena bersifat sangat sektoral, hanya
memenuhi satu sektor tertentu dalam kehidupan Islam di indonesia, yaitu
memenuhi kebutuhan akan sarjana-sarjana yang mendapatkan pengetahuan tinggi
mengenai agama islam. IAIN dengan paradigmanya dipandang tidak memungkinkan
untuk melahirkan manusian-manusia yang kompetitif dalam era globalisasi yang
didominasi oleh Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, sehingga IAIN dituntut untuk
dapat melahirkan manusia-manusia yang mengisi IPTEK dan sekaligus hiup dalam
nilai-nilai agama (Islam).
Kritik
tersebut menggaris bawahi perlunya IAIN pada dataran operasional dibangun agar
lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh bidang keahlian,
serta berada pada seluruh strata kehidupan dan keahlian. Dengan kata lain, agar
lulusan IAIN mampu berkiprah dalam forum manapun, maka perlu dikembangkan
bidang-bidang tugas fardlu kifayah yang meiputi penyiapan calon-calon ulama,
teknolog, psikolog, budayawan atau satrawan, ekonom, dan lain-lain yang
berspektif Islam.
Pengembangan
studi umum di IAIN merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawabnya untuk
menyiapkan calon-calon sarjana atau tenaga kependidikan yang memiliki komitmen
akademis-religius atau personal dan profesional religius. Kenyataan tersebut
menggarisbawahi perlunya pemahaman kembali tentang pengertian studi Islam di
IAIN, sebagai program studi-program studi. Suasana atau lingkungan religius di
lembaga pendidikan, yang pada gilirannya akan berdampak pada pengembangan
pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup yang berspektif Islami dalam
konteks keindonesiaan, akan sulit tercipta jika tidak didukung oleh seperangkat
sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang mampu mengembangkan
nilai-nilai islam. Ini semua merupakan tantangan bagi IAIN untuk menyiapkan
calon-calon sarjana yang disiapkan melalui suasana lingkungan yang kondusif
bagi pengembangan nilai-nilai Islam,
salah satu caranya dengan mengembangkan program Ma’had (pesantren).[3]
C. Dampak
Positif dan Negatif Konversi IAIN menjadi UIN
1. Dampak Positif
a. Perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang dan kesempatan bagi
lulusan Madrasah Aliyah. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan jenis
pendidikan pada Madrasah Aliyah. Pada masa lalu Madrasah Aliyah merupakan
Sekolah agama, tapi masa sekarang Madrasah Aliyah sudah menjadi sekolah umum
yang bernuansa agama. Dengan kata lain, muatan mata pelajaran umum pada
Madrasah Aliyah sekarang lebih dominan dibandingkan muatan pelajaran agama pada
Madrasah Aliyah di masa sebelumnya.
b. Perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang dan kesempatan bagi
sekolah menengah Umum (SMU) untuk belajar di UIN. Karena IAIN selama ini secara
Umum hanya menampung tamatan Madrasah Aliyah dan pondok pesantren atau sekolah
berbasis agama lainya dan belum banyak memberikan peluang bagi tamatan SMU.
Dengan demikian perubahan IAIN menjadi UIN ini mengemban Misi pemberdayaan umat
untuk masa depan. Hal ini sejalan dengan fikiran Alvin Toffler yang mengatakan
bahwa semua proses pendidikan adalah suatu kegiatan yang lahir dari suatu
pandangan ke massa depan, bahkan membentuk gambaran masa depan, atau dengan
pesan Nabi Muhammad SAW yang mengingatkan bahwa generasi muda sekarang hendaknya
di didik sesuai dengan prinsip bahwa mereka akan hidup pada zamanya sendiri
bukan pada zaman kita.
c.
Dengan pendirian Universitas Negri
(UIN) di satu sisi merupakan wujud keagamaan para elit muslim pengambil kebijakan
atas ketidaksesuaianya lagi IAIN dalam memasuki era Globalisasi, tetapi disisi
lain merupakan realisasi kesadaran makna Pendidikan Islam yang luas mencakup
berbagai bidang keilmuan dan tidak dikotomis anatara ilmu pengatuhuan agama dan
umum. Hal ini ditundukkan dengan konsep pengembangan kurikulum IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan interkonektif,
yang dimaksudkan untuk membangun kurikulum yang inklusif dan humanis. Melalui
perubahan IAIN menjadi UIN maka dapat dilakukan apa yang disebut sebagai
islamisasi, spiritualisasi, atau integrasi antara ilmu pngetahuan. Yaitu, upaya
saling mendekatkan diri antara satu dan lainya. Sarjana Ilmu agama diberi
wawasan ilmu pengetahuan umum, dan sarjana ilmu pengetahuan umum di beri
wawasan ilmu agama. Dengan demikian, terciptalah intelek yang ulama, dan ulama
yang intelek.
d.
Alumni
UIN lebih terbuka kesempatan untuk mobilitas vertikal ketimbang alumni
IAIN dan lebih beragam lapangan kerja yang bisa dimasuki mereka[4].
Selama ini para lulusan atau sarjana IAIN sebagian besar hanya bekerja di
departemen agama RI, dan kalaupun mereka bekerja di departemen atau Instansi
lainya, namun bidang pekerjaannya tetap, yaitu bidang keagamaan. Masih jarang
atau mungkin belum ada sarjana IAIN yang menjandi direktur sebuah Bank,
direktur Pertamina, direktur Industri, dan jabatan-jabatan strategis non
keagamaan lainnya. Jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi oleh lulusan
lembaga pendidikan tinggi non IAIN, seperti ITB, UGM, dan UI. Jabatan tersebut
nantinya dapat pula diisi oleh para sarjana IAIN jika IAIN sudah berubah
menjadi UIN. Dalam hubungan ini kita dapat mengatakan bahwa jika
jabatan-jabatan non keagamaan tersebut dapat diisi oleh tamatan UIN, maka
diharapkan akan memiliki nilai plus, yaitu karena para sarjana tamatan UIN ini
selain menguasai bidang keahlian dan keilmuan yang dibutuhkan lapangan kerja,
juga dasar memilki dasar agama yang kuat, yang pada gilirannya dapat memperkuat
akhlak dan moral pekerjaan.
2.
Dampak Negatif
a. Diranah perguruan tinggi semacam UIN mahasiswa yang diterima ironisnya
lebih banyak berasal dari SMA dibandingkan dari MA. Sedangkan dari SMA lebih
berminat di fakultas ilmu umum dibandingkan fakultas ilmu agama. Nantinya
fakultas-fakultas seperti Ushuludin, Dakwah, Adab tidak banyak peminatnya,
bahkan fakultas agama akan tersisihkan dengan adanya fakultas umum.
b.
Lulusan pesantren dengan ijazah
pesantren yang tidak dikenal tidak bisa melanjutkan ke UIN, kondisi semacam ini
meneguhkan kenyataan banyaknya Mahasiswa UIN yang tidak mampu mebaca kitab
arab.
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan
diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Alasan mengapa IAIN sebaiknya
dikembangkan menjadi UIN:
a. Kita
memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
b. Ilmu
agama memerlukan ilmu umum
c. Meningkatkan
harga diri sarjana dan mahasiswa muslim
d. Menghilangkan
paham dikotomi agama-umum
e. Memenuhi
kebutuhan lapangan kerja
f. Memenuhi
harapan masyarakat muslim
2. Pengembangan
program studi umum dari IAIN menjadi UIN
a. Landasan
Normatif-Teologis
Dilihat dari aspek
normatif-teologis, doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan pada pemeluknya
untuk memasuki Islam secara kaffah
(menyeluruh) sebagai lawan dari ber-Islam yang parsial.
b. Landasan
Filosofis
Dilihat dari aspek filosofis,
paradigma pendidikan Islam adalah sebagai upaya pengembangan pandangan hidup
Islami,
c. Landasan
Historik
Dilihat dari aspek historik, secara garis besar sejarah
islam, menurut Harun Nasution (1995) dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu:
periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern ( 1800 M s.d sekarang).
3. Pengembangan
program studi umum dari IAIN menjadi UIN
Pengembangan studi umum
di IAIN merupakan perwujudan dari rasa tanggungjawabnya untuk menyiapkan
calon-calon sarjana atau tenaga kependidikan yang memiliki komitmen
akademis-religius atau personal dan profesional religius.
4.
Dampak positif dan negatif konversi IAIN
menjadi UIN
a.
Dampak positifnya yaitu: Perubahan
IAIN menjadi UIN
-
memberikan peluang dan kesempatan bagi lulusan
Madrasah aliyah.
-
Menjadikan lulusannya mudah diterima dimanapun dan lebih dihargai Ijazahnya
daripada IAIN, dan tidak dibedakan antara luusan dari Universitas Umum dengan
UIN.
b.
Dampak negatifnya yaitu: Diranah perguruan tinggi
semacam UIN
-
mahasiswa yang diterima ironisnya
lebih banyak berasal dari SMA dibandingkan dari MA.
-
Tidak banyak alumni UIN tidak bisa membaca kitab klasik mereka kebanyakan
hanya bisa membaca buku terjemahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Haidar
Putra, Daulani. Sejarah Pertumbuhan dan Pebaruanpendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta:
Kencana,2009.
Muhaimin. Pemikiran Dan
Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Muhaimin.
Wacana Pengenbangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004.
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2008.
0 komentar:
Post a Comment